Yang hilang

5 0 0
                                    

.

Semakin sadar nggak sih, semakin hari, kamu merasa ada aja yang hilang? ada aja yang pergi dari kehidupanmu?

Bahkan di usia kamu saat ini, mungkin temanmu hanya bisa dihitung oleh ke lima jarimu. Jika begitu, kita sama.

Sewaktu sekolah menengah atas, barangkali adalah momen dimana kita banyak memiliki teman dan hubungan pertemanan saat itu benar-benar menyenangkan, lalu kita masuk universitas, di sana lebih menyenangkan lagi, karena lingkup manusia yang kamu temui semakin meluas dan beragam, mulai dari latar belakang yang berbeda, suku, bahkan agama.

Tapi, ada juga yang memilih fokus hanya untuk belajar saja di universitas, tidak organisasi, tidak juga mencoba untuk membangun networking sendiri. 

Ada juga yang mulai menyadari, bahwa pertemanan di sekolah dan di kampus itu berbeda. Ketika di sekolah, kita cenderung merasa hubungan itu penuh ketulusan dan tanpa kepura-puraan, kita ada karena kita memang ingin bersama, karena kita suka bersama dan karena mereka lah orangnya.

Tapi ketika masuk dunia kampus, kita mulai bisa menilai mana teman yang hanya datang ketika ada perlunya, ketika ingin memanfaatkan kita, atau bahkan ketika hanya ingin meminta jawaban dari soal-soal ujian take home saja.

Semakin kesini, kamu pun akhirnya memilih untuk berjuang sendiri. Merelakan teman-teman mu di kampus untuk berjalan sendiri-sendiri, karena toh pada realitasnya kampus, walau masuk bersama, tapi belum tentu lulus bersama bukan?

Apalagi kamu tahu, bahwa teman yang sebenar-benarnya dirimu adalah orang-orang yang kini telah hilang, dalam artian mereka yang kini berpisah denganmu, teman masa sekolahmu, teman masa kecilmu. Akhirnya, kamu hanya bisa tersenyum kecut dan menerima bahwa teman sekampus memang tidak se-asyik itu.

Setelah kamu bergelut dengan skripsi, banyak teman-temanmu pula yang mulai menyusulmu, atau barangkali mereka ada yang sudah mendahuluimu duduk dipanggung wisuda. Mereka dengan start masing-masing, karena alasan masing-masing yang akhirnya menjadi penyebab mengapa kalian masuk kampus bersama, belajar bersama, namun lulus dengan waktu tidak sama.

Sayangnya, aku tidak secepat itu sadar. Dulu, aku masih merasa teman sekampusku adalah mereka yang terbaik, walau tidak bisa menggantikan teman masa-masa sekolahku yang asyik dan aku sangat menyayangi mereka bahkan hingga saat ini. 

Aku sadar, bahwa teman kampus hanyalah singgah, ketika saat momen wisuda, tidak ada satu pun dari kami berinisiatif untuk mengambil foto kenangan sekali pun. Bahkan, kami terpisah waktu itu dan sama sekali tidak berusaha bertemu satu sama lain. Hingga setelah momen kelulusan berakhir, mereka justru pergi entah kemana.

Mereka pergi dengan membawa mimpi, tanpa memberitahu apa-apa. Bahkan mereka pergi tanpa kata, barangkali aku pun sama di dunia mereka. Aku barangkali juga pergi tanpa kata. Walau sebenarnya aku amat sangat merindukan mereka dan pernah satu dua kali menanyakannya, walau aku tahu mereka tidak lagi sama.

Terkadang, aku merasa apakah hanya aku sendiri yang merasa? merasa kita adalah teman baik dan selamanya akan begitu. Tetap memberi kabar walau basa-basi dan tidak asyik, atau bahkan tidak nyambung dan garing, tapi setidaknya kita bersua walau lewat ketikan semata.

Kini bahkan, salah satu dari mereka telah mulai menikah, lalu memiliki keturunan. Mulailah kehidupan mereka hilang begitu saja, tanpa kabar dan tidak mengabari. 

Ada pun teman yang kini memilih mimpi untuk melanjutkan studi, mereka benar-benar sibuk dan hampir tidak ada waktu melayani pertanyaan dariku yang sepele, karena barangkali mereka hanya melayani pertanyaan, 'sudah sampai manakah tesismu? judul tesismu apa, bisakah saya bantu?'

Senja ini akhirnya menjadi renungan, ketika aku mendapati teman lamaku menelpon. Bukan untuk menanyakan kabar, justru hanya untuk mengatakan, kini cara bicaraku tidak nyambung dengan dia. Menurutnya aku tidak banyak paham akan topik yang ia bicarakan dan dia sangat terganggu dengan itu.

Aku tersenyum, bukan aku tidak paham dengan apa yang dibicarakan, aku hanya mengamati seberapa dia akan sabar menghadapi teman yang tidak lagi sama tingkat pendidikannya dengan dia. Ternyata, begitu hasilnya dan membuatku semakin sadar, bahwa barangkali jabatan, uang dan tingkat pendidikan, berhasil merubah seorang teman.

Menjadi merasa kehilangan, itulah yang  menyakitkan. Walau kita tidak benar-benar kehilangan. Tapi ini tentang, hadirnya diri yang tidak dianggap lagi, tentang diri yang tidak dihargai lagi dan tentang diri yang dibuat tidak pantas untuk membersamai. 

Merasa dilupakan walau tidak benar-benar dilupakan, karena ini tentang betapa  hal sepele mampu membuat dirinya lupa bahwa teman itu tidak harus selalu sempurna. Bahwa teman itu bisa saja tidak sependapat dengannya, bahwa teman itu dari dulu memang memiliki kekurangan itu. Ya, kadang kita maupun mereka lupa akan hal itu.

Senja membiarkan hal itu. Menjadi saksi kesekian kali, betapa malu dan sakit yang bersamaan itu hadir dalam diri. Ternyata benar kata pepatah, perkataan itu memang bisa lebih tajam dari sebilah pedang. Menjadi lebih menyakitkan dari luka yang ditaburi garam. Mengoyak perasaan yang semula utuh menjadi berantakan. Meretakkan hubungan yang awalnya sempurna dengan kekurangan, namun justru hancur karena keserakahan.

Yang hilang, biarkan. Mereka barangkali akan kembali, jika dirimu menjadi bagiannya. Namun, mereka tidak akan kembali, jika hadirmu bukanlah lagi menjadi harapan dan kehilanganmu justru sangat diinginkan. Tetaplah dengan dirimu yang kini, tersenyum menatap kehilangan, walau hatimu teriris parah dan darah dari perasaanmu berceceran kemana-mana. 

Ingat, yang pergi bukan berarti dia hilang, tapi yang hilang sudah pasti dia pergi dan tidak akan kembali. Kecuali, dia kembali rindu kepadamu dan takdir mau tidak mau mempertemukan kalian lagi, suatu hari nanti. 

AFTER ASRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang