PROLOGUE

83 15 11
                                    

Ethereal Jewels adalah 12 batu permata paling indah, berfungsi membuka portal menuju beragam dimensi di penjuru semesta. Batu-batu permata yang dipahat langsung oleh entitas tinggi ini dikabarkan menunggu dengan sabar para pemilik mereka, yakni orang-orang terpilih dari berbagai penjuru dunia.

Prof. Slam O'Neill adalah arkeolog beruntung yang menemukan permata tersebut di sebuah pulau asing di tengah perairan Samudra Pasifik Utara. 12 permata disematkan pada perhiasan unik di atas 12 altar megah dalam sebuah reruntuhan tua. Menurut manuskrip purba, ritual dibutuhkan untuk membangkitkan kekuatan kedua belas batu permata tersebut, dan hanya yang beruntung dapat menyaksikannya.

Yah, begitulah kesimpulan yang kutangkap dari penjelasan profesor botak berkacamata kotak itu setelah selama lebih dari empat jam dia mengoceh tanpa henti.

Ceramah darinya hanya pelengkap kegiatan demi menambah wawasan kami, 13 orang asing, yang beruntung mendapat kesempatan berlibur di pulau asing bernama Moonstone. Sulit sekali mencari benang merah dari semua tamu undangan saat saling bertemu dan berkumpul di sana. Sebab, aku tak mengenali siapa pun, kecuali Evan, saudara kembarku, tentunya.

Yup, seharusnya saat itu aku tidak terlena oleh kemewahan liburan ini meski kemewahan bukanlah hal aneh di keluargaku. Kuakui, momen terakhir sebelum perpisahan biasanya selalu meninggalkan kesan bagi orang-orang tertentu. Namun, sungguh sulit rasanya melupakan malam itu.

Cukup aneh sebenarnya saat Profesor Botak Slam membagi perhiasan kuno berdasarkan batu dari bulan kelahiran kami semua. Beberapa menyukainya, tetapi aku merasakan hal berbeda. Sebab, milikku dan Evan hanyalah sepasang anting meski untungnya memiliki mata batu alexandrite, salah satu permata langka dan berharga, yang tentu saja harus kami bagi berdua.

Dengan bersinarnya bulan di atas kepala di malam Blue Moon, ditambah rapalan asing dari si Profesor Botak Gila, yang kami dapatkan kemudian adalah kekacauan. Seketika permata menyala, lalu sebuah lubang terbuka seperti sedang memelintir ruang dalam keriuhan.

Seandainya lebih cepat menyadari, mungkin aku tidak akan terhisap ke dalam lubang misteri penuh kegelapan. Karena, kini tidak hanya tempat asing yang menyapa, diriku pun seketika berada dalam tubuh yang sama sekali tidak kukenal, bersama sisa perhiasan bodoh di genggaman.

Beruntung sebelum lubang itu menelanku, teriakan si Profesor Botak Gila sempat tertangkap di indra pendengaran. "Berhasil! Hipotesisku benar! Batu-batu itu membuka portal menuju dimensi lain!"

Lihat saja. Aku pasti akan mencari jalan kembali dan membalas si Botak Gila itu.

THE REDWOOD CITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang