BAB 9. FAELLEY

3 1 0
                                    

-Ethan

Setelah sempat beradu argumen cukup alot dengan Logan, aku berhasil membuat lelaki itu meyakinkan Jenna dan Anthia untuk tidak perlu mengikatku bak hewan persembahan di kereta. Selain kedua wanita itu yang duduk mendampingiku mengendalikan barisan leowolf, ia beserta para prajurit mengikuti di kanan kiri dalam wujud wolfera.

Jenna cukup banyak berceloteh mengingatkanku beberapa hal tentang apa yang boleh dan sebaiknya tak dilakukan selama berada di Faelley. Aku tak punya masalah dengan hal itu, selain menahan diri untuk tidak mengambil alih kendali dari Anthia yang mengendalikan laju leowolf seperti kereta keledai.

Entah sudah berapa lama, aku tergagap, membuka mata, mendengar suara Jenna yang memanggil seraya mengguncang-guncangkan tubuhku. Kukerjapkan mata beberapa saat sebelum menyadari ekspresi yang sulit kubaca di wajah wanita itu.

"Kebiasaan tidurmu sekarang kenapa malah mirip dengan Axel, saudaramu? Kau biasanya mudah dibangunkan, Ace," gerutu Jenna setengah mendesis. "Bangun dan waspadalah. Jaga mulutmu. Kita sudah hampir tiba."

Aku memilih tak menjawab itu. Mataku segera mengedar samar begitu sadar kereta telah membawa kami semua memasuki sebuah hutan yang terlihat sekilas agak mirip dengan gambar di buku dongeng si Kembar Bungsu.

"Jika tak bisa mengendalikan mulutmu, sebaiknya kau pejamkan saja mata sampai tiba di tempat yang aman," gumam Anthia. Ia menoleh ke Jenna. "Tutup matanya jika perlu dengan kain ikat pinggangku."

Mendengar itu, aku sontak memejamkan mata kembali. "Tak perlu! Kupastikan tak akan melihat apa pun sampai dapat izin untuk membuka mata."

Tak kudengar suara apa pun lagi dari mereka. Kereta terus melaju tanpa kata.

Sekitar beberapa menit kemudian, kereta pun berhenti secara mendadak. Terdengar suara bisik-bisik antara Jenna dan Anthia yang sempat berdebat soal apa sebaiknya aku dibawa dengan cara diikat atau tidak.

"Aku bisa mendengar kalian," cetusku pelan bernada sebal. "Aku bisa berjalan sendiri dan janji tidak akan kabur dari sini jika itu yang kalian cemaskan."

"Baiklah. Buka matamu, kita sudah sampai. Tutup mulut, ikuti saja arahanku," ujar Anthia.

Aku pun membuka mata kembali. Kukerjap-kerjapkan beberapa kali sampai pandanganku mampu melihat dengan jelas kini.

Hanya terlihat kabut putih menghadang, menghampar, menyelimuti pemandangan. Keningku berkerut, tetapi sedapat mungkin aku menahan mulutku untuk tidak mengucap komentar atau mengajukan pertanyaan.

"Kita akan berjalan masuk ke dalam kabut," ujar Anthia. "Hanya Jenna dan Ace yang boleh ikut. Yang lain tunggu saja di sini."

Anthia dan Jenna pun menggiringku memasuki kabut. Aku berusaha bersikap tenang meski sebenarnya dalam hati merasa sedikit kalut.

Apa yang akan terjadi? Benakku sibuk membayangkan penampilan makhluk di balik kabut penuh misteri.

Begitu melewati kabut, kegelapan seketika menyambut, seiring pendaran cahaya warna-warni dari berbagai penjuru seakan menyerbu. Namun, aku tak begitu peduli soal itu. Karena, mataku begitu terfokus pada satu sosok lelaki tampan yang terlihat tengah menunggu.

Aku terus mengamatinya tanpa kedip seraya mengerutkan kening. Suasana sekitar terdengar begitu hening dan terasa asing.

Anthia menghentikan langkah, begitu juga Jenna, menyisakan sedikit jarak antara kami dengan sosok lelaki cantik itu. Mau tak mau, aku pun turut menghentikan langkahku.

Kulihat mereka berdua kompak menundukkan kepala di depan sosok tersebut. Aku terus mengawasi lelaki cantik berpenampilan ala toko aksesoris dan batu perhiasan itu tanpa kedip dengan alis bertaut.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THE REDWOOD CITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang