BAB 3: Questionable Things

5 0 0
                                    

Semoga kalian selalu berbahagia seperti ini. Selalu bisa saling mencintai di antara segala kekurangan dan luka yang dibawa masing-masing. Penerimaan yang tulus akan membuat kalian selalu bersama, di samping kekuatan yang paling dahsyat bernama takdir. Jika memang sesungguhnya kalian hanya digariskan Tuhan tidak sampai di tahap abadi, maka tetaplah bersyukur karena pernah ada dalam kehangatan yang sedang diinginkan oleh orang lain. Termasuk, aku.

Abadilah dalam gurauan konyol tidak masuk akal yang diabadikan dengan tawa paling bahagia yang pernah kulihat itu. Selalu berada dalam kesederhanaan dan kejujuran dalam menjadi diri sendiri. Semoga saja kalian saling mencintai dalam kejujuran, mencintai sosok yang utuh sebagai sebenar-benarnya manusia. Semoga di antara kalian tidak ada yang sedang memainkan peran untuk menjadi manusia paling sempurna agar tetap dicintai.

Aku meletakkan harapan-harapanku tentang cinta sejati kepada dua orang asing yang mungkin hanya bisa kutemui hari ini. Naluriku secara tulus mendoakan kebahagiaan mereka. Dua orang yang sedang jatuh cinta.

***

"Percaya atau tidak itu terserah kepadamu, Rin. Tapi aku memang tidak pernah berniat meninggalkanmu seperti itu. Kau tahu,  enam tahun yang lalu aku masih seorang remaja yang terlalu banyak mau dan berambisi ini itu, lalu akhirnya kecewa dengan ambisi-ambisi yang terlalu berlebihan itu. Aku malu jika harus selalu bersamamu. Jadi aku memutuskan untuk menjauh dan pergi tanpa sepatah kata pun, iya, itu sangat gegabah dan egois.

"Ini salahku. Aku sungguh-sungguh meminta maaf telah membuatmu ada di dalam situasi yang sulit selama ini. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan lagi, aku minta maaf."

Aku tahu dia tidak sedang mencari alasan atau pembenaran atas kesalahannya. Aku tahu dia jujur mengatakan itu semua. Oleh karena itu, sekali lagi aku kembali merasakan kesedihan dan penyesalan atas semua prasangka yang aku buat atas kepergiannya.

Sekitar enam tahun yang lalu, ketika aku baru memulai semester genap pada tahun pertama kuliah. Tiba-tiba saja, tanpa ada alasan satu pun, Surya menghilang begitu saja dari hidupku. Sejak saat itu, aku berada di dalam kondisi yang tidak baik. Rasa kehilangan yang begitu dalam membuatku tidak bisa merasakan apa-apa selain sedih, kecewa, dan bersalah. Aku hanya bisa memahami perasaan itu. Sesingkat itu aku dan Surya berakhir. Ini memang tidak adil dengan waktu yang sudah kuhabiskan bersama dengannya.

Kepergian Surya yang mendadak dan tanpa mengatakan alasan apa pun kepadaku, membuatku menerka-nerka sendiri tentang apa yang salah di antara kami. Jawaban paling logis saat itu adalah semua ini terjadi karena kesalahanku. Aku yang terlalu sibuk mengurus banyak hal hingga mengesampingkan komunikasi dengannya. Apa lagi saat itu, kami berada di kota yang berbeda. Kata orang, kunci hubungan yang baik adalah komunikasi, kan? Ya sudah, berarti ini memang kesalahanku. Prasangka ini yang aku imani sampai hari ketika Surya menjelaskan semuanya.

"Sudahlah. Sudah enam tahun berlalu, aku hampir melupakan itu semua. Secara sadar aku sudah sangat memaafkanmu, tapi ada bagian dari diriku yang masih belum sembuh dari luka itu."

Hanya itu yang bisa kukatakan pada Surya hari itu. Aku bahkan tak pernah sampai hati mengutarakan segala kekecewaan dan kesedihan yang aku pendam selama enam tahun ini kepada Surya. Entah kenapa aku tidak ingin Surya merasakan perasaan bersalah seperti yang pernah aku rasakan dulu, walaupun akhirnya itu terbukti hanya sekedar prasangka. Aku malah merasa sedih melihat Surya mengakui kesalahannya, aku takut dia akan merasa terbebani dengan ini semua.

***

Harin masih saja tidak mau mengerti dirinya sendiri. Dia selalu melarikan diri dari rasa kesepian yang sesungguhnya sudah mengakar jauh di dalam hatinya. Dia tidak pernah mau terlihat membutuhkan orang lain untuk kebahagiannya. Dia terlalu percaya diri atas kesendiriannya.

Doa-doanya itu adalah bentuk pelepasan akan rasa ingin yang besar di dalam dirinya. Dia ingin dicintai kembali, tapi dia juga merasa tidak pantas untuk dicintai kembali. Dia ingin merasakan kehangatan berbagi tawa dan sedih seperti dua orang yang tadi duduk di depannya. Dia ingin dicintai sebagai Harin, bukan karena segala kehebatan yang melekat padanya.

Soal Surya, Harin masih menyimpan perasaan yang mungkin bisa disebut cinta. Memang tidak seperti enam tahun yang lalu, namun rasa itu masih menyisakan kerak-keraknya di dalam hati Harin. Itulah alasan kenapa dia tidak sanggup memaki dan memukul Surya yang memang seenaknya sendiri meninggalkannya enam tahun lalu. Harin juga masih menyimpan banyak pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya mampu dia tanyakan kepada Surya hari itu. Tapi Harin memilih untuk menyimpan pertanyaan itu karena rasa khawatirnya yang masih begitu besar terhadap Surya.

Harin ingin tahu apakah dia selama ini membuat Surya tidak bahagia. Harin ingin tahu apakah dulu Surya betul-betul mencintainya. Harin ingin tahu apakah selama ini hanya dirinya yang merasa kehilangan. Harin ingin tahu apakah Surya saat ini sudah benar-benar melupakannya. Harin ingin tahu apakah alasan Surya tiba-tiba saja mau bertemu setelah pergi seenaknya. Harin juga ingin mengatakan bahwa dirinya sungguh hancur ketika Surya pergi, begitu hancur hingga saat ini masih tak bisa utuh lagi.

Namun, Harin tetaplah Harin. Pertanyaan itu hanya dilahapnya sendiri, sehingga hatinya masih terbebani begitu banyak hal. Harin, sesulit itukah menumpahkan perasaanmu kepada orang lain? Aku ini cuma kopi, aku tidak bisa membantumu. Hati dan pikiranmu sudah terlalu penuh akan hal-hal yang kausimpan sendiri. Bukankah sudah sepatutnya kau membuka semuanya kepada orang lain.

Pertanyaan dan pernyataanmu tentang Surya itu, segera katakan padanya. Sudah cukup enam tahun itu berlalu dengan berat, masih mau kau tambah lagi? Harin, cobalah untuk mempercayai orang lain lagi. Suatu saat, kau pasti akan dicintai kembali. Dicintai sebagai dirimu sendiri. Sebagai Harin. Harin yang utuh.

***

Hazelnut Latte & Questionable ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang