BAB 4: Pulang pada Kesepian

4 0 0
                                    

Tinggal tiga kali teguk saja aku akan tersisa buliran-buliran saja. Es batu yang ada bersamaku tadi kini sudah sepenuhnya meleleh menjadi satu yang membuat rasaku menjadi semakin hambar dan encer. Harin masih saja terpaku dalam putaran pertanyaan-pertanyaan di kepalanya itu.

Tangannya benar berada di atas keyboard laptopnya, matanya juga menatap layar. Tapi pikirannya terjebak di antara masa lalu dan masa depan yang harus segera dia putuskan. Apakah setiap masa lalu itu selalu berbentuk luka yang perlu dilupakan? Tidak adakah masa lalu yang membahagiakan sehingga ketika itu dikenang akan menyenangkan? Bagaimana denganmu Harin? Ayolah, tidak mungkin semua kenanganmu tentang Surya itu selalu buruk.

Slurpp!

Tinggal dua teguk lagi. Akhirnya Harin mematikan laptopnya yang sudah sia-sia menghabiskan energi baterainya itu. Dia tidak menulis satu kata pun di draf naskah bukunya itu. Dia sibuk berdebat hebat dengan dirinya sendiri.

Ya, aku mendengar isi kepala dan isi hatinya yang bisa berubah silih berganti dengan begitu cepat. Aku juga bingung kenapa bisa Harin seperti itu. Perasaannya merasa sangat kesepian dan menginginkan seseorang yang bisa mencintainya. Tapi lain lagi dengan pikirannya yang mengatakan bahwa itu hanyalah perasaan sementara karena melihat dua pasangan tadi.

Lalu ada pula kekhawatiran terhadap hal-hal yang tidak pasti, huft Harin terlalu memikirkan banyak hal tidak penting. Dia merasa akan kembali ditinggalkan, tidak akan diterima sebagai dirinya sendiri, tidak akan menerima dukungan, hari-harinya akan bertambah lelah dengan perdebatan, tidak akan didengar keluh kesahnya, dan hal-hal buruk lainnya atas keinginannya untuk kembali membuka peluang akan sebuah hubungan romantis. Dia meyakinkan dirinya akan bisa menemukan kebahagiaan atas kesendiriannya. Rasa cemas dan ketakutan akan kesepian ini hanya hal remeh yang nanti pasti akan hilang. Dia merasa hanya perlu sedikit refreshing. Padahal sesungguhnya, Harin memang kesepian. Dia butuh rumah untuk pulang. Rumah yang dulu pernah menghilang dan membiarkannya hidup gelandangan.

Surya adalah rumah Harin yang hangat, dulu, sembilan tahun yang lalu, dan hancur pada enam tahun yang lalu. Tak ada gempa bumi, tak ada tanah longsor, tak ada banjir bandang penuh lumpur, rumah itu tiba-tiba saja hancur dan puing-puingnya juga ikut menghilang tak tersisa. Harin yang kala itu sedang menikmati tidurnya mendadak terbangun tanpa apa-apa yang tersisa. Hanya dirinya dan pakaian yang melekat pada tubuhnya.

Dia bertanya tetangganya tentang apa yang sudah terjadi dan tak ada satu pun jawaban yang pasti. Harin penuh ketakutan, satu-satunya yang patut disalahkan kala itu hanyalah dirinya sendiri. Butuh bertahun-tahun untuk Harin kembali membangun rumahnya itu karena pondasi kepercayaannya sudah ikut habis direnggut. Hingga akhirnya Harin kembali mendapat rumah bagi kesendiriannya yang terbuat dari anyaman batang bunga matahari dan beratap kertas yang penuh tulisan-tulisan kesedihannya. Rapuh. Sepi.

***

Kenapa Surya tidak mengatakan saja bahwa dia dulu sebenarnya membenciku. Atau mengatakan bahwa alasannya tiba-tiba menghilang karena tidak bahagia bersamaku. Bahkan lebih baik kalau dia meninggalkanku untuk perempuan lain yang jauh lebih baik dariku.

Aku masih belum bisa menerima kenyataan yang ada, sebuah jawaban yang sebenarnya aku tunggu ini ternyata tidak membuat hatiku lega. Rasa penyesalan dan rasa bersalahku kembali naik ke permukaan. Padahal tak ada yang pernah menyalahkanku dan keadaan sepenuhnya mengatakan bahwa semua ini bukan salahku. Tapi aku tetap menuding diriku sebagai pelaku atas kejadian enam tahun yang lalu.

Ah, ini sangat membebaniku. Tapi aku tidak akan pernah mengungkap ini pada Surya, Sudah, kubiarkan saja dia lega karena sudah meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Tidak akan kubebani dia dengan menceritakan apa yang sudah aku lalui selama ini. Mungkin dia juga kesulitan selama ini. Memang seharusnya sudah cukup, aku tidak perlu lagi mempertanyakan banyak hal kepadanya. Biarkan saja dia menjalani kehidupan yang dia inginkan. Aku pun akan menjalani kehidupan yang kuinginkan.

***

Sluuurrppp!!

Aku yang seharusnya habis dengan dua tegukan ternyata dihabiskan Harin dengan sekali teguk. Habis sudah. Kini aku sepenuhnya mengalir di dalam tubuh Harin dan mengetahui hal-hal yang dirahasiakannya dari dunia. Wah, Harin benar-benar berbakat menjadi mata-mata handal dengan kemampuan menyamarnya.

Dia sedang merapikan dan mengemas barang-barangnya dan akan segera meninggalkan kedai kopi ini. Beranjak dari kursi tempatnya duduk dan membuat sampahnya. Keluar dari kedai kopi menuju tempat parkir sambil menyapa ramah pada Bapak penjaga parkir.

"Pak, ini saya maju ya?" Tanya Harin karena sepeda motornya terapit sepeda motor lainnya di kanan, kiri, dan belakangnya.

"Iya, Mbak lewat depan saja. Mbaknya ke barat atau timur?"

"Barat, Pak." Jawab Harin sambil memberikan uang parkir.

"Monggo, Pak." Sapa Harin untuk terakhir kali sebelum dia benar-benar pergi meninggalkan kedai kopi ini. Bapak penjaga parkir mengantarkan kepergian Harin dari kedai kopi itu. Mereka saling lempar senyum sebelum akhirnya Harin melaju pulang.

***

Aku kini mampu menelisik Harin secara menyeluruh. Di perjalanannya pulang, dia membawa segala pertanyaan-pertanyaan di kepalanya dan membuat penuh pikirannya. Pendiriannya memutuskan untuk memendam semua pertanyaan-pertanyaan itu. Bagai bom waktu, tinggal menunggu saja semua beban itu meledak menghancurkan diri Harin dari dalam. Dia ini sudah hancur tapi masih saja mencemaskan orang yang pernah menghancurkannya.

Selama roda sepeda motornya berputar, Harin tak henti-hentinya menghela napas berat. Kepalamu itu tidak akan tiba-tiba kosong dengan mengeluarkan udara yang banyak itu, Rin. Aku tahu, kau sudah mengerti tentang apa yang harus kau lakukan untuk mengatasi ini semua. Tanyakan pada Surya hal-hal yang perlu kautanyakan itu. Ajak dia bertemu kembali. Tapi tidak mudah kan untukmu? Ya, aku sangat memahami itu, Rin. Tapi, ini juga tidak adil bagimu apabila terus menerus hidup di dalam rumahmu yang rapuh ini. Tidak perlukah kau memperbaikinya?

Harin, ketakutanmu ini sungguh mengganggu bukan? Suatu saat ini, bila kau sudah memahami dirimu sendiri sepenuhnya, maka tanyakan segala hal-hal yang ingin kautanyakan itu kepada Surya. Aku yakin, Surya akan menjawabnya dengan jujur. Bukankah dia memang selalu jujur padamu, Rin?

***

Hazelnut Latte & Questionable ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang