BAB 2: Dua Hati di Depan Harin

7 0 0
                                    

Ramai sekali kedai kopi hari ini, padahal bukan weekend. Aku juga heran, kenapa belakangan ini banyak orang-orang sibuk yang datang ke sini? Kedai kopi sudah seperti kantor saja. Eksistensi kami sebagai kopi sudah tidak lagi melekat dengan aktivitas ngobrol santai dengan candaan yang selalu menimbulkan tawa haha hihi.

Kopi adalah pelengkap kesibukan duniawi orang-orang yang gila kerja dan gila pengetahuan. Salahkah? Huft, kopi-kopi yang lain mungkin juga merasakan penat diajak berpikir oleh yang meminumnya. Kopi-kopi seperti aku ini juga ingin sekali diajak bersenda-gurau dengan membicarakan topik obrolan yang santai. Seperti menertawakan permasalahan hidup, menertawakan kebodohan-kebodohan masa lalu, atau membahas gosip-gosip terbaru dari artis ibu kota.

Harin, pemesanku hari ini adalah salah satu manusia yang menumpahkan keruwetan hidupnya kepada kopi-kopi sepertiku. Aku tahu, dia juga sebenarnya sering datang ke sini untuk bersantai dan membaca buku novelnya. Tapi, aduh! Dia belakangan ini tidak pernah lagi membaca novel-novel romansa khas remaja yang ceritanya selalu membuat senyum-senyum sendiri. Beberapa bulan terakhir ini dia membaca Norweigian Wood karya Haruki Murakami.

"Itu kan novel romansa," protesku kepada si Kopi Susu Gula Aren yang memang selalu dipesan Harin ketika dia ingin bersantai.

"Iya betul. Tapi memangnya kau sudah membacanya? Sudah tahu akhir ceritanya?" Jawab si Kopi Susu Gula Aren dengan antusias.

"Belum sih, Harin tidak pernah memesanku ketika dia sedang membaca novel."

"Dia membaca itu sudah hampir dua bulan, kurasa ceritanya benar-benar gila! Aku tidak sabar untuk mengetahui bagaimana akhir dari Naoko dan Watanabe itu," si Kopi Susu Gula Aren menjadi sangat bersemangat menceritakan novel yang sedang dibaca Harin. Aku jadi ikut penasaran.

***

"Selamat datang, Kak. Silakan, ingin pesan apa?" Salam selamat datang itu kembali terdengar setelah hening selama kurang lebih 30 menit. Pertanda ada pengunjung baru.

Aku dapat melihatnya dengan jelas dari jendela kaca besar ini siapa pengunjung baru itu. Ada dua orang. Seorang laki-laki dengan rambut ikal, berkacamata, memakai kemeja kotak-kotak dengan campuran warna putih, hitam, dan abu-abu, dipadukan dengan celana jeans hitam, dan memakai sandal berbahan karet. Tubuhnya cukup tinggi dan memiliki kumis tipis yang menghiasi wajahnya.

Di samping laki-laki itu ada perempuan yang terlihat begitu mungil. Mungkin tingginya sama seperti Harin, hanya karena perempuan itu berdiri dekat di samping laki-laki yang tinggi jadi membuatnya terlihat lebih mungil. Rambutnya dikuncir kuda, berpakaian sangat sederhana, hanya memakai kaos putih polos, kardigan cokelat tua, dan celana yang senada, namun lebih muda warnanya. Beda dengan si laki-laki, perempuan mungil itu memakai sepatu putih yang sudah cukup banyak melekat tanah di sampingnya.

Setelah selesai memesan, mereka masuk ke dalam kedai dan duduk tepat di depan Harin. Harin berada di dalam ruangan khusus dengan meja yang lebih besar dari meja-meja lainnya. Ruangan itu tersekat oleh jendela kaca yang besar, sehingga bisa melihat ke luar atau melihat sibuknya barista meracik pesanan kopi. Tepat di depan jendela kaca itu, diletakkan kursi-kursi untuk pelanggan yang memesan kopi untuk dibawa pulang. Laki-laki dan perempuan itu duduk di sana.

Seperti yang aku kira sebelumnya, mereka berdua adalah sepasang kekasih yang sedang saling mencintai. Melihat bahasa tubuh dan senyum yang sering tampak di wajah keduanya, sungguh hangat rasanya. Bahkan aku yang penuh es batu ini ikut merasakan kehangatan percakapannya, meskipun dari ruangan ini sama sekali tidak bisa kudengar.

Kontras sekali dengan perempuan yang memesanku hari ini, Harin. Dia begitu jatuh cinta dengan kesendiriannya, namun sejak tiga hari yang lalu ada yang berubah dengan perasaannya. Mungkinkah Harin sedang jatuh cinta lagi? Atau cinta yang telah dikuburnya dalam-dalam kini perlahan mulai dia gali kembali. Wah, aku penasaran sekali. Sudah lama Harin tidak pernah berpikir sekeras ini perihal hubungan antara laki-laki dan perempuan yang menurutnya begitu ruwet dan tidak pernah ingin dia jalani kembali.

***

Aku tersenyum.

Tiba-tiba saja aku tersenyum melihat pemandangan yang seharusnya membuatku kesal. Ada dua sosok manusia yang sedang jatuh cinta duduk tepat di depanku. Aku tidak mengenal mereka, tapi aku terasa begitu mengenal apa yang sedang terjadi di antara mereka.

Hubungan antara laki-laki dan perempuan seperti itu sering kali membuatku merasa bahwa siapa pun yang menjalaninya akan merasa menyesal suatu hari nanti. Hidup sebagai individu saja sudah repot, apa lagi harus berbagi masalah dengan individu lain yang aduh masih kupikirkan saja lelahnya sudah sangat terasa. Tapi hari ini, hatiku begitu hangat dan merasa senang melihat dua orang yang sedang jatuh cinta itu. Aku merasa mereka beruntung bisa merasakan itu. Sedangkan aku juga beruntung pernah merasakannya.

Aku masih tersenyum.

Pemandangan yang lucu (?) ini membuatku tersenyum tak henti-hentinya. Beruntung sekali ada yang bisa diajak ke kedai kopi sore-sore begini walaupun salah satunya tidak bisa minum kopi, misalnya. Mereka berkali-kali tertawa, menertawakan hal yang sama tentunya. Beruntung sekali ada yang diajak menertawakan hal-hal konyol yang sering Tuhan kirim di dunia untuk membuat manusia menertawakannya.

Melihat interaksi dua manusia di depanku ini membuat rasa kasihan perlahan-lahan mulai muncul. Sial! Mengapa bisa aku kembali lagi mengasihani diri sendiri? Mengapa aku rindu jatuh cinta? Mengapa aku rindu merasakan hal-hal kecil dan sederhana yang bisa membuatku bahagia? Tapi rasa takutku masih jauh lebih besar dari pada rasa inginku.

***

Harin masih terus tersenyum memandangi dua orang yang sedang jatuh cinta itu. Namun, matanya tidak pernah bisa berbohong. Ada kesedihan yang begitu dalam sedang Harin sembunyikan dari dirinya sendiri.

Slrupp!

Tangannya mulai bergetar. Harin sangat bersungguh-sungguh dalam menyembunyikan rasa takutnya. Harin mulai merasa cemas. Melihat kehangatan sepasang kekasih itu membuat Harin kembali dikerubungi rasa cemas yang berlebihan. Pikirannya mulai merangkai skenario-skenario buruk yang akan terjadi apabila dirinya jatuh cinta lagi. Ada satu lagi perasaan baru yang muncul dalam pikiran Harin, dia tidak lagi merasa pantas untuk dicintai.***

Hazelnut Latte & Questionable ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang