[5]

70 12 5
                                    

Kesadaranku pulih begitu tetesan air dingin menyentuh wajahku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kesadaranku pulih begitu tetesan air dingin menyentuh wajahku. Aku terbatuk pahit.

Telingaku terasa kering dan kepala terasa berat. Tubuhku nyeri serta basah kuyup oleh hujan barusan. Dinginnya menusuk tulang, membungkusku sepenuhnya di luar-dalam.

Aku terbaring miring, pipiku bersentuhan langsung dengan lantai basah. Tetesan air dari langit-langit berjatuhan teratur, membuatku gemetar. Di seluruh tubuhku terasa nyeri dan dingin. Kedua tanganku terikat kuat di belakang, membuatku merasa pengap sebab terjebak dalam kotak kayu berjeruji ini, tak bisa bergerak bebas. Sisa-sisa air hujan yang terus mengalir dari rambutku merembes hingga menempel di wajah yang gemetar. Bau lumpur dan basah memenuhi ruangan.

Hanya satu cahaya yang menerangi tempat ini, yaitu obor yang berada di sudut dinding di sebelah kiriku, menyala dengan keredupannya. Ia memberikan tampilan warna merah-oranye kepada seluruh ruangan yang dinding abu dan lantainya terdapat noda-noda merah lain. Aku ketakutan dan bingung, tetapi tak bisa mengeluarkan suara. Aku berusaha bergerak, mengeraskan kaki, mencoba menendang jeruji kayu yang membelenggu. Namun, upaya itu bak menjerat angin belaka; melakukan sesuatu yang sia-sia.

Hanya ada tiga jeruji kayu yang sejajar di sampingku, dan dua di antaranya kosong tampak berbekas noda darah. Selain obor, tidak ada yang menemaniku di dalam sini

Aku sedikit bergeser, berguling ke arah ujung jeruji kayu. Ada pintu kehitaman dan bobrok yang tertutup. Aku mencoba berteriak, tetapi hanya kebisuan yang menjawab. Aku tidak bisa bersuara, seharusnya aku sadar itu. Selamanya, sampai akhir hayat.

Di dalam keheningan, tiba-tiba pintu menjeblak terbuka.

Ada seseorang masuk. Ujung jubah hitamnya menggantung, menyapu ke lantai, dan sosok itu melangkah mendekat, lalu jongkok di depan jeruji kayu ini. Aku mengenali netranya ... Ayah .... Aku semakin meringkuk takut. Membayangkan serangkaian kejadian ia menjerat Sabda. Jantungku berdegup kencang.

Dilepasnya topeng sepenuhnya, hingga aku bisa melihat wajah ayah dengan jelas, penuh luka-luka gores dan sayat yang masih terdapat sisa darah. Di bawah cahaya redup obor, matanya penuh dengan rahasia dan kekhawatiran ketika kami bersitatap.

Dia membuka gembok di sudut ruangan dan meminta tegas, "Keluar!"

Aku semakin mundur. Takut dan kebingungan. Ayah ... mengapa ayah seperti ini?

Kuperhatikan dengan mata yang perih dan berair, pada gerakan mulutnya saat ia berbicara, "Lekas keluar, Bahar! Tidak ada waktu!"

Ayah tiba-tiba menarik ujung bajuku di bahu. Aku tergeser mendekat kepadanya. Kucoba memberontak, tetapi percuma. Ketika kami berada di luar, ayah cekatan memotong ikatan tali di tanganku dengan sesuatu yang tajam, dan sedikit nyeri menyakitkan kala benda itu mengiris telapak tanganku.

"Pergi!" bentaknya. Kilat-kilat amarah terbias di netranya. "Cepatlah, Bahar!"

Aku berdiri dan mulai melangkah ke luar tertatih. Luar lenganku bertumpu pada tembok, mempertahankan agar tubuhku tak jatuh sebab terasa sakit di mana-mana. Ada banyak pintu serupa, obor-obor yang redup tergantung di atasnya, menciptakan nuansa merah menyeramkan dari nyalanya bak melahap jiwa. Benteng Nippon ternyata lebih besar dari yang kukira saat melihat dari luar. Ketika saya berjalan melalui lorong dengan langkah tertatih dan kepala yang pening, teriakan kesakitan memecah keheningan, sayup-sayup terdengar dari pintu-pintu yang tertutup.

Sabda ... Jenar ... tunggu aku ....

Sampai akhirnya, aku tiba di ruangan yang berbeda. Tempat ini luas, diterangi oleh banyak pelita di dinding yang memancarkan cahaya merah, menciptakan suasana semerah darah yang mencekam.

Disekeliling, banyak warga desa tanpa dibalut selai pakaian dicambuk, ditendang, dan dipukul oleh orang-orang berjubah hitam. Tempat ini penuh dengan penderitaan. Teriakan kesakitan mengisi udara yang bercampur dengan bau darah. Aku melangkah pelan, dan orang-orang berjubah hitam itu menatapku dengan tajam. Mereka melepas topeng, wajah-wajah warga pribumi terlihat di sana. Urat leher menghitam, sampai gurat-gurat wajah. Mata mereka didominasi warna hitam dengan sorot kosong.

Beberapa di antaranya bergerak aneh. Jari-jemari mereka memanjang dengan kuku runcing. Cambuk di tangan menyatu dengan daging. Asap kegelapan pekat perlahan menguar dari badan. Seakan dibungkus energi gelap. Kemudian, orang-orang berjubah itu melangkah keluar melewatiku seolah aku tak ada di sana.

 Kemudian, orang-orang berjubah itu melangkah keluar melewatiku seolah aku tak ada di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Anak MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang