Chapter 5

147 18 6
                                    

.

.

.

Liona menyadari bahwa jembatan yang perlahan dan hati-hati ia bangun antara dirinya dan sahabatnya telah hancur tak berarti apa-apa lagi.

Shania terus-menerus keluar, tidak pernah benar-benar pulang ke rumah kecuali di pagi hari saat Liona pergi bekerja dan dia selalu keluar rumah sebelum Liona pulang. Baginya, Shania seperti menghindarinya. Namun Liona tahu bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali memberinya ruang. Dia pernah di situasi ini sebelumnya dan dia tahu bahwa tindakan terbaik pada dasarnya adalah tidak melakukan apapun. Terakhir kali dia mencoba mendekatinya, Shania mendorongnya lebih jauh sehingga jarak antara mereka berdua semakin bertambah. Dia hanya tidak ingin hal itu terjadi lagi, jadi Liona menjaga jarak.

Terkadang, dia meninggalkan pesan di pintu rumahnya sebelum berangkat kerja, memberitahu Shania bahwa dia telah membelikannya coklat atau kue favoritnya dari kafe yang jauh dari kota. Jantungnya akan selalu berdegup kencang setiap kali dia pulang ke rumah dan melihat bahwa surat itu hilang, begitu pula makanan apa pun yang dia beli untuknya.

Pada hari Sabtu pagi, Liona dibangunkan oleh dering ponselnya. Dia menjawabnya dengan ragu dan langsung membuka matanya saat mendengar sahabatnya menangis melalui telepon.

"Lio...," isak Shania dari panggilan itu.

Liona segera duduk, jantungnya berdebar kencang sekarang, "Ada apa, kitty? Kamu dimana?"

"Aku—" Shania berhenti sejenak sebelum berkata bukan pada Liona, tapi pada orang lain yang ada bersamanya, "Tidak, terima kasih. Aku baik-baik saja."

Sebenarnya Shania sama sekali tidak terdengar baik-baik saja. Liona sudah mengambil kunci mobilnya ketika sahabatnya mulai berbicara lagi.

"Liona."

Jantungnya seolah berhenti, "Ya?"
Liona menunggu jawaban Shania sambil menahan nafas.

"I hate you," kata Shania dengan suara yang sepenuhnya sadar.

Liona menghentikan langkahnya, hanya terdiam ditempatnya, suhu tubuhnya naik beberapa angka desimal seiring dengan jantungnya yang hancur. Sudah 15 detik berlalu tanpa ada perkataan di antara mereka sebelum gadis mungil itu terdengar terisak lagi.

"Where are you?" Tanya Liona berusaha tetap tenang.

Tidak peduli betapa Shania membencinya, dia tetap harus memastikannya aman karena dia sangat yakin Shania saat ini sedang mabuk.

"I don't want you to come!" Shania membentaknya,  gadis itu tiba-tiba marah.

"Jangan datang mencari— Hei!"

Liona hampir tersandung karena terburu-buru berlari menuruni tangga. Ia sempat bertanya-tanya apakah nenek moyangnya pernah memiliki riwayat serangan jantung dan sulit bernapas dengan jantung yang berdebar kencang di dada.

"Dia ada di Playground Bar dan dia mabuk," terdengar pelan suara seorang wanita.

"Siapa kamu?" Tanya Liona.

"Bartender dan pemilik Playground Bar. Apa kamu pacarnya?"

Liona membuka mulutnya untuk menjawab tapi dia malah terdiam. Itu membuatnya merasa sedikit lucu tapi rasanya menyenangkan dipanggil pacarnya.

"Berhenti! Jangan beri tahu dia di mana aku berada!" Liona mendengar sahabatnya memekik, "Ryuna—"

"Hah... tidur saja, bocah," gumam wanita yang menyandera telepon gadis itu.

Liona dapat mendengar Shania meronta-ronta di sana tetapi bartender itu dengan cepat berkata, "Cepat datang ke sini atau dia mungkin akan membakar barku."

Rest Your Love On MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang