Chapter 7 : Final

193 20 6
                                    

.

.

.

"Kamu benar-benar mau membuang semuanya?"

Shania menganggukkan kepalanya sambil terus melemparkan semua pakaian terbuka miliknya ke dalam kantong sampah. Bahkan pakaian yang tidak terbuka-pun dia lemparkan karena menurutnya itu bukan gaya yang biasa dia pakai.

"Tapi yang ini masih bagus," komentar Liona sambil mengambil tube dress hitam. Dia mengulurkannya dan memasangkan dress itu didepan tubuh kekasihnya untuk melihat kecocokan dress itu.

"Itu jelek," kata Shania sambil melirik pakaian itu sekilas.

Liona hendak memberitahunya bahwa kekasihnya masih bisa menyimpannya, tapi dia berhenti dan menatap Shania, "Apa kamu pernah memakai ini saat keluar dengan teman-temanmu?"

Shania mengerucutkan bibirnya dan hanya menatap Liona. Meskipun dia tidak mengatakan apa-apa, kekasihnya itu tahu apa jawabannya. Dan tentu Liona tidak menyukainya. Shania bisa mengetahuinya dari kerutan di wajah kekasihnya.

"Tapi hanya sekali," Shania mencoba memberitahunya, supaya dia tidak terlalu marah. "My friends really wanted to—" dia berhenti dan membuat tanda kutip dengan dua jarinya, "—'slut it up' and so they made me wear this."

"Aku tidak menyukainya," kata Liona terus terang sekarang, sambil melemparkan pakaian minim itu ke tumpukan pakaian lain yang akan mereka buang.

Shania berdiri di depan lemari pakaiannya sambil menatapnya sendu, berharap Liona tidak marah padanya dia hanya diam menunggu kekasihnya mengatakan sesuatu. Liona meliriknya saat dia menyadari Shania hanya diam dan tidak kembali memilah pakaiannya. Liona mengangkat alisnya seolah bertanya ada apa?

"Aku menjaga diriku sendiri," kata gadis itu dengan suara kecil. Liona tidak mengatakan apa-apa saat dia membuang muka, tidak terlalu mempercayainya. Jadi Shania mengatakan ini untuk meyakinkan Liona bahwa dia melakukannya. “Aku tetap waspada dan hanya melepaskannya saat aku bersamamu di penghujung malam.”

Liona meliriknya, "I still don't understand why you hung out with them. They sound like jerks."

"They were—are," Shania mengoreksi dirinya sendiri.

Liona berbalik menghadap Shania untuk melihat ekspresi penyesalan di wajahnya dan dia merasakan sedikit rasa bersalah di hatinya karena mengungkit teman-teman kekasihnya itu.

"But being with them made me feel older. And I wanted to be older because you were older."

Liona mengerutkan kening, tidak begitu memahami logikanya. "Why?" Dia memperhatikan rona merah muda di pipi kekasihnya.

Shania mengerucutkan bibirnya dan bergumam, "Karena kupikir kamu hanya menyukai gadis yang lebih tua." Dia berbalik dan memainkan ujung dress yang dipegangnya. "Kamu hanya berkencan dengan gadis yang lebih tua sebelumnya."

"Ya, tapi..." Liona berhenti karena dia menyadari bahwa dia tidak tahu bagaimana harus membantah pernyataan itu padahal itu benar.

Gadis mungil itu tersenyum kecut padanya. "Dan kamu punya teman-temanmu sendiri di kampus. Aku harus menunjukkan padamu kalau kamu bukan satu-satunya teman yang aku punya."

"Kamu bisa saja menemukan teman-teman lain yang lebih baik dari mereka."

Shania mengangkat bahu, "Mereka yang lebih dulu mendekatiku. Dan dengan kamu menghabiskan waktu bersama teman-temanmu yang lain, aku mengisi kekosongan itu dengan berada bersama mereka."

"Ya Tuhan, kitty sayang," erang Liona sambil menjatuhkan celana ditangannya untuk memeluk gadis kesayangannya.

Shania tertawa pelan di dadanya, membalas pelukan sang kekasih. Liona bergumam dengan nada menyesal, “Maafkan aku. Semuanya terjadi karena aku.”

Rest Your Love On MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang