"Papa capek sama kelakuan kamu! Kamu belum genap setahun sekolah di sana, tapi ulah kamu banyak! Papa malu tiap datang ke sekolah kamu!"
"Ares udah bilang, Papa gak perlu datang. Urus urusan Papa, ini urusan Ares."
"Heran Papa sama kamu. Ini gara-gara kamu bergaul sama temen-temen kamu yang berandalan itu, jadi begini."
"Stop bilang temen Ares berandalan."
"Kenyataannya begitu. Dari Junior High School sampai sekarang Senior High School, Papa lihat temen kamu yang sama. Sama berandalannya. Gak ada pembawaan positif, selalu aja bikin ulah."
Laki-laki yang bernama Ares itu hanya mencebikkan mulutnya. Setiap hari dirinya mendapat cibiran dari Alex, sang papa. Namun Ares tak ambil pusing, ia menjawab asal dan tak peduli.
Semenjak kehilangan sosok wanita di keluarga itu, ayah dan anak laki-laki itu berseteru tiap harinya. Ada saja onar yang dibuat oleh anak laki-laki itu.
Di kamar, Ares merebahkan tubuhnya seraya menerawang ke langit-langit kamar. Ia memikirkan kehidupannya yang begitu monoton baginya. Pagi sekolah, pulang sekolah kena omel Alex, malamnya berdiam diri di kamar, kadang bermain dengan temannya hingga larut malam.
Hingga tak sadar, matanya yang indah itu terpejam dan lelap dalam tidurnya. Sungguh wajahnya yang tertidur kini terlihat tenang. Bulu mata yang lentik, alisnya yang sempurna dengan hidung yang terpahat indah dan bibir tebal yang berwarna merah muda.
Tok! Tok! Tok!
"Kak Ares! Kak Ares lagi apa?"
Dengan mata yang memberat, ia paksakan untuk membuka. Ia mendengar suara gadis yang sedang mengetuk pintu kamarnya.
"Lagi tidur, kenapa?" Ares menjawab dengan sedikit berteriak tanpa mengubah posisinya dari tidurnya.
"Aku boleh masuk gak?" tanya gadis itu. Ares berdehem tanda memperbolehkan.
Setibanya di kamar Ares dengan nuansa black-grey, gadis mungil itu duduk di single sofa yang berada di sana.
"Ayo belajar."
Dua kata yang dilontarkan gadis itu sukses membuat Ares mengerang. Gadis itu yang mendengarnya hanya mendengus pelan.
"Nanti malam aja kenapa sih? Gue ngantuk banget." Ares menjawab sambil menguap. "Jangan rajin-rajin jadi bocah."
Gadis yang duduk di sofa itu mencebikkan mulutnya lucu. Gadis itu sungguh tau kebiasaan jelek Ares, yaitu menunda-nunda pekerjaan. Tapi berbeda dengan Ares, kalau bisa nanti kenapa harus sekarang, begitu jawabannya.
"Beneran ya, nanti malam? Awas sampai main lagi, aku aduin."
"Aduin siapa?"
"Guruku."
Seketika kamar seluas itu menggema akibat tawa renyah yang keluar dari mulut Ares. Laki-laki itu langsung duduk dan menatap gadis itu yang masih duduk di single sofa.
"Heh, bocah! Gue gak takut sama guru lo." Ares menggelengkan kepalanya pelan.
"Yaudah, pokoknya nanti malam. Kalau ingkar janji, aku doain jodohnya Kak Ares makin jauh."
"Iya, bawel. Sana keluar, gue mau mandi."
"Gak percaya." Gadis itu berjalan menuju ranjang. Ia menyodorkan jari kelingkingnya pada Ares. "Janji dulu."
"Ya ampun, Ayesh." Ares tersenyum dengan kelakuan gadis itu. Ia menyodorkan jari kelingkingnya, tandanya ia berjanji. "Udah, sana keluar."
Gadis bernama Ayesh itu melenggang pergi setelah membuat janji kelingking dengan kakaknya. Bocah berusia dua belas tahun itu selalu mengajak Ares untuk belajar bersama. Wajar saja, jika Ayesh selalu mendapatkan nilai tertinggi di sekolahnya.
Berbeda dengan Ares. Laki-laki itu tergolong murid yang cerdas namun ia tak menunjukkannya saja. Kelakuannya saja yang dinilai jelek oleh orang-orang, untuk otaknya cukup juara!
Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul tujuh. Ares akan pergi ke kamar sebelahnya, yaitu kamar Ayesh. Sesuai janjinya sore tadi, ia akan belajar bersama Ayesh.
"Lo udah makan belum?"
Sesampainya di kamar Ayesh, Ares duduk di ranjang. Sedangkan yang punya kamar, duduk di meja belajarnya. Fokus menatap buku-buku yang tergeletak di sana.
"Udah."
"Sendirian?"
"Aku lagi belajar, jangan tanya terus. Tadi makan sama papa." Ares beroh-ria.
Satu jam lamanya mengajari Ayesh belajar, Ares masih di kamar Ayesh. Ia bermain game di atas ranjang, sedangkan Ayesh membereskan bukunya dan menyiapkan tasnya untuk dibawa ke sekolah esok hari.
"Aku mau tidur."
"Sini." Tanpa menatap lawan bicaranya, Ares hanya menepuk bagian ranjang yang kosong di sebelahnya.
"Gak. Mau tidur sendiri."
"Sepuluh menit gue pergi." Ayesh mengangguk. Tubuh mungilnya ia baringkan di sebelah tubuh jenjang Ares.
Lima menit terdiam, Ares pikir gadis di sebelahnya itu sudah terlelap. Nyatanya tidak. Matanya berkedip lucu menghadap ke arah langit-langit kamar.
"Gue kira udah tidur," celetuk Ares.
"Gak bisa tidur."
"Kenapa?" Ares memfokuskan pada Ayesh, bahkan benda pipihnya kini ia letakkan di atas nakas.
"Aku pengen punya temen."
Ares mengernyit bingung. "Temen lo banyak di sekolah."
Ayesh berdehem. "Di rumah gak ada temen, aku sendirian."
"Ada gue?" Ares menunjuk dirinya.
Lagi-lagi Ayesh berdehem, "Iya, bener. Tapi gak ada perempuannya. Ada sih, masa iya aku ajakin main bi Tia."
Ares seakan paham dengan kalimat Ayesh. Jawabannya cuma satu, gadis itu rindu dengan mendiang ibunya. Ares pun tak kalah rindunya, ia setiap saat selalu terpikirkan sosok ibunya itu.
"Hm. Gue temenin sampai tidur."
Begitu singkatnya keseharian laki-laki itu. Ia berusaha menjadi sosok yang terbaik bagi Ayesh. Setelah ibunya tiada, Ares sebisa mungkin menemani Ayesh. Meskipun dirinya dan Alex tidak akur. Ayesh tau itu. Namun gadis itu, tak ingin membuka suara. Biarlah menjadi urusan orang dewasa, katanya.
Namun Ayesh mengharapkan, suatu saat nanti ia bisa memiliki keluarga yang harmonis. Dan tentunya hidup bersama kakaknya itu. Begitu sebaliknya, Ares mengharapkan Ayesh hidup bahagia. Sebisa mungkin, ia akan menuruti perintah gadis itu dan menjadi saudara laki-laki yang terbaik.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTARES
Teen FictionAntares Gevian Helmi. Remaja laki-laki yang berusia 16 tahun ini, lahir dari keluarga yang cukup terpandang. Ayahnya yang memiliki sebuah perusahaan terbilang cukup sukses. Sedangkan ibunya? Beliau sudah meninggal dunia sejak Antares menginjak usia...