(14). Lean pergi?

206 30 0
                                    

      Mifta, Kharis, dan Ari berjalan menuju ke rumah. Dahi Ari sedikit mengernyit melihat sebuah mobil hitam berhenti di depan gerbang. Juga seorang berseragam polisi yang nampak melihat ke sekeliling.

      "Polisi?" Gumam Ari. Ari menerka-nerka ada gerangan apa seorang polisi mengunjungi rumah kos ini. Saking asik berfikir ia sampai tak sadar sudah berjalan semakin mendekati polisi itu.

       "Mas Hazel? Tumben datang?" Tanya Mifta yang berhasil membuyarkan lamunan Ari. Ari agak heran melihat Mifta nampak begitu akrab dengan pria yang ia tebak seorang kepala polisi itu.

      "Mau nyari Jilan. Jilan dimana?" Hazel celingukan mencari sosok sang adik. Tatapannya tak sengaja bertabrakan dengan tatapan Kharis dan Ari.

      "Jilan masih dibelakang. Oh iya, mari masuk kita ngobrol didalam," Mifta bergerak membuka gerbang dan mengajak para tamunya masuk. Sungguh sebuah kebetulan wali kedua adiknya bisa datang bersama.

      Hazel, Kharis, dan Ari duduk di ruang tamu. Mifta pergi ke dapur membuat minum untuk Hazel dan sekalian menelfon karyawannya. Hazel dan Ari terlibat obrolan kecil sedangkan Kharis nampak tengah berfikir sambil sesekali menimpali pertanyaan Hazel untuknya.

      "Jadi mas ini kakaknya Jilan, sahabat putra saya?" Tanya Kharis setelah mendengar ucapan Hazel yang ingin menjumpai Jilan.

      "Iya, benar sekali. Saya kakaknya Jilan," jawab Hazel sambil tersenyum. Kharis mengernyit menyadari rona bahagia Hazel yang begitu kentara dalam senyumannya. Seolah ia begitu bahagia bisa menjadi seorang kakak dari Jilan.

      "Assalamu'alaikum," ucap Jilan dan Lean yang masuk duluan dengan Jilan yang menenteng satu kresek mangga. Dibelakangnya ada Haidar yang menggendong Azriel yang tengah memeluk sebuah mangga besar. Lijen menyusul dengan Naren dipunggungnya. Entah apa yang terjadi dengan pemuda itu yang pasti dia nemplok di punggung Lijen sedang Rendra berjalan disampingnya sambil menenteng sendal Naren.

      "Eh, kak," sambut Jilan ragu saat nelihat Hazel tersenyum padanya. Jilan menyalami Hazel diikuti yang lainnya. Naren agak susah menyalami karena berada di gendongan Lijen.

      "Kenapa kok gendong-gendongan?" Tanya Hazel heran.

      "Jatuh, kesandung batu terus nyungsep di aspal," jawab Lijen seraya menbenarkan posisi Naren. Naren memukul punggung Lijen pelan karena malu. Selain Jilan dan Lean kembali ke atas. Sebelum naik Haidar sempat masuk ke kamar Mifta untuk mengambil kotak P3K. Sekalian ia juga membawa mangganya ke dapur.

      "Oh udah pulang," Mifta keluar dari dapur dengan membawa satu cangkir teh dan dua piring semangka dan mangga potong. Mifta meletakkan cangkir di depan Hazel dan duduk di sofa singel berhadapan dengan Hazel. Mereka mengobrol sebentar untuk sekedar basa-basi.

      "Baiklah tujuan kami kemari adalah ingin mengajak Lean pulang mas Mifta," ucap Ari to the point. Jilan mengusap tangan mungil Lean yang tengah meremat kuat sofa.

      "Mendadak sekali. Apa ada masalah yang terjadi?" Tanya Mifta heran. Pasalnya ia rasa Lean tak melakukan hal aneh selama disini. Ia juga rajin belajar pada waktunya.

      "Ah begini, jadi lusa saya akan pindah ke Cina menyusul putra sulung saya. Dan yah, Lean juga-"

       "Salah Lean apa lagi sekarang pi?" ucapan Kharis terpotong oleh suara lirih Lean yang tengah menunduk. Atmosfer seketika berubah sedikit tak enak. Mifta bisa melihat kekecewaan di mata Lean yang saat ini menatap lekat pada Kharis.

      "Lean dengarin papi dulu, nak," Kharis mencoba menjelaskan maksud ucapannya. Ia kesini bukan karena perjanjiannya dengan Lean tapi ia memang ingin mengajak Lean pindah ke Cina, berkumpul bersama putra pertamanya dan memulai semua dari awal disana. Ia ingin menebus semua kesalahannya.

Series Of Kosan Mas MiftaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang