☆☆☆
"Gak bisa main dia. Lukanya sih nggak parah, cuma kudu bedrest lah minimal seharian. Dipunggung ada lebam juga soalnya,"
"Trus gimana? Pake tim baru?"
"Kata Badai sih, gitu. Diga juga gak enak, tapi ya gimana. Musibah siapa yang tau,"
"Bagus, Restu, sama Hengki aja yang turun. Mereka mainnya lumayan,"
"Ngikut aja gue mah. Pamit, ya? Laper!"
Hanin yang tak sengaja menguping pembicaraan Kanzi dan Ammar, memunculkan diri sesaat setelah Ammar pergi. Kedua tangannya bertaut didepan tubuh dengan wajah tertunduk.
"Diga gimana, Zi?"
Rasa bersalah Hanin sudah bercokol sejak mendengar ringisan Diga di perpustakaan. Menjadi semakin kuat mengetahui Diga gagal mengikuti pertandingan basket sore ini.
"Diga baik-baik aja kok, Nin." Tangan Kanzi terulur mengusap bahu Hanin ringan, "Dia juga bilang gak usah ngerasa bersalah. Karena emang Bukan salah lo,"
"Tapi tetep aja, kan ..." Hanin menggeleng tak mampu meneruskan ucapannya. "Sekarang dia dimana?"
"Udah pulang. Tadi mau ketemu lo dulu rencananya, tapi keburu dijemput."
Hanin mengangguk seadanya. Sedetik kemudian dia tersadar bahwa tangan Kanzi masih berada dibahunya ntah cowok itu sadari atau tidak. Refleks Hanin mundur satu langkah.
"Eh! Sorry, Nin, sorry!" Kanzi mengusap kedua telapak tangannya mengatasi kecanggungan. Ntah karena apa, dia merasa Hanin yang saat ini berdiri dihadapannya bukan lagi Hanin yang sama.
"Udah selesai nyusunnya?" Tanya Kanzi memecah kecanggungan. "Ada yang perlu dibantuin lagi?"
Hanin menggeleng. Wajahnya masih muram dan cemas.
"Nin," Suara berat Kanzi terdengar lagi, "Makasih ya,"
Hanin mengernyit tak paham.
"Makasih karna masih milih gue sebagai tempat lo minta tolong."
Oh, karna itu. Jujur Hanin terpaksa. Yang lebih dulu tertangkap oleh mata saat dia berlari panik hanya Kanzi.
Jadi ngomong-ngomong, Hanin gak sengaja milih Kanzi.
Kebetulan doang.
Tak ingin membuat suasana semakin buruk, Kanzi pamit pergi. Sempat menoleh beberapa kali pada Hanin yang tampak menimbang-nimbang sesuatu. Dan Kanzi tak butuh waktu lama untuk sekedar berbalik kearah cewek itu saat hanin memanggilnya.
"Kenapa, Nin?"
Hanin menggosok leher belakangnya dengan senyum paksa. Melirik Kanzi yang masih menunggu ia berucap, lalu dalam satu tarikan napas dia mengatasi rasa gengsi didada.
"Boleh minta nomor Diga, nggak?"
***
Diga tak masuk dua hari. Ntah separah apa cederanya, Hanin tak punya cukup keberanian untuk bertanya. Jadi dia hanya menunggu dengan segala pemikiran abstrak.
Untunglah, hari ini cowok itu menampakkan diri.
Hanin berdiri didepan kelas. Bersandar didinding, memperhatikan Diga yang berjalan dari arah parkiran. Cowok itu mengenakan hoodie abu gelap dengan kepala tertutup kupluk. Tas punggungnya hanya disampirkan dibahu
"Woi bro!"
Punggung Diga ditepuk Ammar. Hanin ikut meringis melihat Diga mendesis menahan sakit. Ammar yang tersadar, buru-buru memohon ampun. Cowok itu berlutut, menangkup kedua tangan didepan dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
MHS Series #1 : Just Feel It
Teen Fiction2023 "Gue gak capek. Karna emang, selama ini gak ngarepin apa-apa." "Padahal tinggal bilang, kenapa malah ngilang." "Harusnya gue gak confess waktu itu." "Makasih, ya. Gue pamit," "Ajarin gue jatuh cinta, bisa?" ◇◇◇ "Don't asking, just feel it." ◇◇◇...