Selamat Tinggal

29 8 0
                                    

Happy ever after...

Seluruh akhir dari kisah-kisah mengerikan dalam dongeng yang diceritakan ibuku berakhir bahagia, setidaknya. Putri tidur yang bangun karena ciuman sang pangeran, gadis debu yang berakhir dipinang seorang pangeran, atau seorang raja yang lepas dari kutukan wajah buruk rupa karena telah menemukan cinta sejatinya. Biar kuingat-ingat, bagaimana mereka bisa selamat dari mara bahaya? Keajaiban.

Seseorang yang sudah terpeleset dari tubir dan seharusnya tercabik-cabik batu karang di lautan bisa selamat begitu saja di dalam cerita. Entah karena ada naga yang tiba-tiba terbang dan mendapatkan tubuhnya, atau tongkat ibu peri yang mengeluarkan keajaiban agar tubuh yang jatuh tadi tidak lantas menyentuh dasar. Itu bisa saja terjadi. Sayangnya, hidup ini bukanlah dongeng. Tak ada keajaiban yang bisa kupikirkan akan menolongku hari ini. Setidaknya dalam pikiranku. Berharap? Tentu. Tapi, sepertinya, entahlah!

Hari ini anak-anak badung berbau susu sapi itu kembali merundungku. Tak cukup dengan lumpur dan kotoran sapi yang menimpa kepalaku, kini mereka juga ingin bermain-main dengan tubuhku. Menguji kekuatan? Mungkin.

Meskipun aku laki-laki, sungguh tak ada anak berusia sebelas tahun mampu berkutik dari kenakalan anak-anak yang berusia empat tahun di atasnya. Anak-anak besar itu mengikat kedua kakiku serta kedua tanganku ke belakang. Aku tidak menurut, tapi tidak bisa melawan juga. Tepat setelah tubuhku terkunci, mereka menyeretku ke tepian sungai besar dengan air deras berwarna toska muda tak jauh dari desa.

Tak jauh, tapi tidak cukup dekat juga untuk suaraku didengar oleh orang-orang desa. Padahal mulutku terbuka lebar untuk berteriak minta tolong dan mengumpati anak-anak besar yang merundungku.

“Diam!” bentak salah satu anak itu.

“Kupukul kau jika berteriak sekali lagi,” timpal yang lain.

Aku tidak bisa menahan untuk tidak ketawa mendengar ancamannya itu. Mungkin dia sedang mabuk hingga tidak ingat bahwa sedari tadi aku sudah dipukuli. Jadi apa bedanya?

“Kenapa kau ketawa? Kau bosan hidup, hah?”

“Aku bosan berada di dekat anak-anak dungu seperti kalian,” jawabku.

Mulutku berdebam ketika salah satu anak kembali memukul wajahku. Kurasakan cairan asin tembaga mengalir di dalam mulutku hingga membuatku terbatuk karna jijik. Aku tak akan menelannya, jadi kubiarkan itu mengalir keluar dari sudut bibirku.

Tiba-tiba seorang anak yang bertubuh paling besar merenggut baju bagian belakangku dan mencondongkan tubuhku ke atas sungai. Aku setengah mati menjaga keseimbangan kakiku agar tidak terpeleset rumput hijau basah di bawah sana. Ya, aku tidak mau jatuh ke air. Aku akan mati, tentu saja.

“Ada permintaan terakhir?” tanya anak yang menahan tubuhku.

“Pertanyaan bodoh apa itu? Kau bahkan hanya minum susu yang didapatkan setelah kakakmu memerah sapi milik saudagar. Miskin!” umpatku.

Jujur saja, aku marah sekali. Aku tahu hanya dipermainkan saat ini. Jadi, merengek pun tak ada gunanya. Bukan berarti aku pasrah saja akan dilempar ke sungai. Namun, aku juga tak tahu harus berbuat apa. Berbuat apa pun juga tak ada gunanya.

“Jangan berusaha melihat kami. Lihat sungainya, lihat!” kata anak yang sama.

Anak tubuh paling besar itu mempermainkan tubuhku untuk terus condong ke air. Bisa kurasakan makian dari mulutku juga mulai membakar emosinya. Amarahku sendiri mulai tertukar dengan ketakutan. Ketakutan akan sungai lebar nan indah di depanku. Sungai yang karena kecantikannya membuatku sering berkunjung, bermain, dan berenang di dalamnya. Karena itulah aku tahu betapa dalam sungai itu. Dengan keadaan tubuhku yang terikat sekarang, mustahil bagiku mengarungi sungai ini. Bahkan jika aku memilih diam agar tubuhku mengapung, aliran sungai deras di depan sana tak akan membiarkanku melakukan itu.

“Sungguh, kalau kau macam-macam padaku, Evan, aku tak akan membiarkanmu hidup tenang!” kataku setengah ngos-ngosan. Nafasku tidak teratur setelah melihat luasnya sungai di bawahku.

“Kenapa? Kau akan kembali sebagai hantu?” tanya Evan. Meskipun dia berkata persis di belakang kepalaku, aku bisa mendengar suaranya bercampur dengan seringai.

“Lepaskan aku atau kalian semua tidak akan lolos!” ancamku lagi.

Aku berharap mereka melepaskanku walaupun itu tidak akan terjadi. Aku hanya bisa menggunakan mulutku sekarang, jadi apa pun akan kukatakan sebisanya. Dan, mereka akhirnya benar-benar melepaskanku. Melepaskan tubuhku, bukan ikatannya. Sial!
Aku merasakan sentuhan air pada wajahku. Air itu dengan cepat membasahi sekujur tubuhku dan memelukku. Tubuhku timbul tenggelam di dalam air, tergulung-gulung, dan terseret arus dengan cepat.

Tangan dan kakiku benar-benar tak lepas dari ikatannya. Yang bisa bekerja saat ini hanya mata dan mulutku, pun tidak jelas. Aku tak tahu di mana anak-anak tadi berada. Mataku tak bisa memburu mereka. Sekarang, mulutku pun tak bisa mengatakan apa-apa karena seluruh wajahku sudah berada di bawah air.

Tak lama lagi. Tak lama. Meskipun aku bisa berenang, aku tahu betul apa yang terjadi kepada orang tidak bisa berenang yang masuk ke dalam air. Mati. Sesederhana itu. Dan kini, aku betul-betul dalam keadaan seperti orang yang tak bisa berenang. Aku akan tenggelam.

Sisa-sisa kesadaranku adalah ruang tunggu. Aku mengutuk anak-anak itu di dalam air. Suaraku tak keluar ketika aku mengatakan kutukan-kutukan itu dengan amarah yang paling tinggi dalam hidupku. Tentu saja. Yang ada, air-air ikut masuk ke mulutku dan membuatku tersedak. Ya, aku sudah menduganya. Aku juga tidak menghindarinya.

Air sungai ini sudah memasuki tubuhku entah berapa lama. Tubuhku tersedak, tercekik, hingga kesadaranku memudar. Inikah akhirnya?

Aku mulai melamun, atau bermimpi? Berkhayal? Entah. Andai saja pagi tadi aku tak datang ke sungai ini. Andai aku cukup kuat untuk melawan perundung-perundung itu. Andai aku masih hidup untuk ganti melempar mereka ke dalam sungai. Sudahlah.

Tubuhku terasa ringan. Kelopak mataku sudah memaksa untuk tertidur. Penglihatanku sudah lebih dulu pudar dan menghitam. Hal terakhir yang bisa kurasakan adalah tubuhku yang dibuai arus dalam sungai. Berputar ke sana ke mari, terguling perlahan, bahkan terbawa gelombang. Rasanya lembut dan dingin. Seperti terbang di udara yang kencang.

Oh, tidak! Ini waktunya. Selamat tinggal!

Darian's FraudTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang