Sampai Jumpa

13 7 0
                                    

Bau potongan-potongan rumput yang segar mirip seperti aroma tanah yang dibasahi hujan. Jika bisa dirasakan dengan lidah, sepertinya rasanya manis. Tapi siapa juga yang akan memakan rumput?

Karena sibuk membaui rumput-rumput itu, dadaku jadi sesak. Sangat sesak sehingga membuatku terbatuk-batuk. Aku terbatuk cukup lama karena leherku sangat penuh, seperti ada yang mengganjal di sana. Mengganggu.

Gangguan itu membuat mataku setengah terjaga. Kegelapan yang kudapatkan saat menutup mata perlahan-lahan mulai disinari cahaya. Kesadaranku pun mulai kembali. Kulihat samar jumputan-jumputan rumput berdiri di depan mataku. Saat bayangan mataku mulai jelas, saat itu juga aku terperanjat untuk memuntahkan sesuatu dari dalam leherku.

Air. Benar-benar hanya air. Aku sibuk memuntahkannya tanpa memperhatikan keadaan di sekitarku. Aku melakukannya cukup lama, muntah-batuk-terengah-engah, begitu terus hingga beberapa menit selanjutnya. Setelah kupikir semua air yang melewati leherku telah habis, aku kembali meringkuk terengah-engah.

Di mana ini?

Aku meringkuk lemas di atas rerumputan, di bawah langit yang ditutupi awan kelabu. Beberapa kali aku mendengar gemuruh dari atas sana. Akan hujan kah? Atau baru hujan?

Jika tidak kurasakan pegal dan perih tubuhku di mana-mana tentu aku akan bangkit dan pulang ke rumah. Sayangnya aku tidak bisa, sepertinya. Nanti dulu, mungkin aku butuh waktu untuk sekedar duduk. Jadi, untuk sementara aku akan seperti ini.

“Darian!” seru seseorang memanggil namaku. Suara itu sayup-sayup terdengar bersamaan dengan suara arus sungai yang mengalir deras.

Seseorang menemukanku!

Kepalaku yang kugerakkan mati-matian tidak bergerak sama sekali. Hanya muncul getaran-getaran yang terlalu kupaksakan agar kepala ini mau menoleh. Aku ingin lihat siapa yang datang.
“Darian!” Suara itu semakin dekat.

Adrian!

“Darian! Apa yang kau lakukan di sini?”

Adrian muncul tepat di depan wajahku dengan air wajah yang khawatir. Tanpa sadar, aku menangkap tangannya yang sedang menggoyangkan bahuku. Saat itu, semua ingatan tentang kejadian yang membuatku terkapar si sini muncul.

Loh, tanganku tidak terikat?

Aku ingat beberapa saat sebelum kesadaranku hilang, Evan dan teman-temannya mengikat kaki dan tanganku. Mereka memukuliku kemudian melemparku ke dalam sungai. Aku tidak mengingat apa pun setelah itu. Sepetinya, aku pingsan di dalam air. Dan sisanya hanya beberapa kilatan sebelum aku sadar saat ini.

“Bawa aku pulang,” kataku. Rupanya suaraku juga serak dan hilang timbul.

Aku tidak tahu apa yang Adrian pikirkan. Yang jelas dia segera meletakanku di punggungnya lalu berlari kencang entah ke mana. Aku minta pulang, seharusnya dia memang membawaku ke rumah.

“Kau dari mana saja?” tanya Adrian.

“Entahlah,” jawabku. Selain karena aku yang memang tidak tahu bagaimana bisa berakhir tertidur di atas tanah, sepertinya jika kuceritakan tentang perundunganku sebelumnya, aku juga akan kesulitan. Mungkin aku akan menceritakannya lain kali, mungkin.

“Mama sudah mencarimu selama dua hari. Selama itu dia menangis terus,” jelas Adrian.

Mataku yang sedari tadi buka tutup karena lelah sekarang terbuka tajam karena terkejut. Bagaimana bisa selama itu? “Jadi, aku keluar selama dua hari?”

“Ya,” jawab Adrian.

“Evan sialan!”

Langkah kaki Adrian melambat. Dia tidak berhenti, tapi sepertinya ia ingin mendengarkan ceritaku lebih dulu. “Sudah kuduga. Kali ini juga Evan?” tanya Adrian.

“Katakan padaku bagaimana caraku memberitahu Mama?” kataku.

“Seharusnya katakan saja,” kata Adrian. “Kalau kau tanya dia akan percaya atau tidak, aku juga tidak tahu.”

“Kalau menurutmu?” tanyaku.

“Mungkin percaya,” jawab Adrian. “Tapi entahlah apa yang akan ia lakukan.”

“Menurutmu Mama akan melakukan apa?”

“Menurutku tidak ada,” sahut Adrian.

Menurutku juga tidak.

Sejujurnya aku tak ingin Merepotkan Mama lagi. Yang kusebut Mama adalah gadis tua yang telah menyerahkan hidupnya kepada kami, yatim piatu negara. Anak-anak prajurit yang kehilangan orang tuanya karena perang. Seperti kami, Mama pun dulu demikian.

Mama tak menikah, kurasa bukan karena dia tak ingin. Namun, karena tak ada yang menginginkannya. Meski putri seorang penunggang kuda, kami tidaklah punya apa-apa. Kasta tinggallah kasta. Kasta tanpa harta, apa gunanya? Kami rendah.

“Sebaiknya tak usah beri tahu Mama. Dia punya banyak anak untun diurusi. Aku tak bisa membiarkannya diganggu oleh urusanku dan Evan terus menerus,” kataku.

“Ah! Jadi kau hanya akan menggangguku terus untuk urusan ini?” Adrian tergelak.

Aku membalas gelakannya sambil meletakkan kepalaku di bahunya. “Aku lelah,” kataku. “Dan lapar.”

***

Adrian memberiku sepotong roti dan segelas susu. Setelah mengganti seluruh pakaianku, aku tak berselera untuk berkeliaran di lorong-lorong panti. Aku hanya duduk dan melamun di atas ranjang. Ada sesuatu yang menggangguku. Bagaimana aku bisa naik ke darat?

“Jangan melamun, habiskan!” ujar Adrian.

Aku mendesis sambil mencari cara bagaimana caraku bertanya pada Adrian bahwa suatu hal yang aneh aku bisa kembali ke darat. Seharusnya aku sudah mati di dalam air. Mungkin tubuhku juga sudah mengendap di dasar bendungan. Tapi, aku masih hidup sampai sekarang.

“Ada apa?” tanya Adrian.

Aku memperhatikan kedua pergelangan tanganku. Benar ada bekas goresan tambang. Hari itu benar-benar nyata. Aku tidak bermimpi. Wajahku juga masih ngilu karena babak belur dihajar tempo hari. Aku benar-benar dihajar.

“Apa Evan mengangkatku setelah menjatuhkanku ke sungai?” gumamku.

“Bisa jadi. Lagi pula, membunuhmu juga bisa jadi masalah,” kata Adrian.

“Bukankah lebih bermasalah jika membiarkan buruanmu lepas?”

Adrian mengedikkan bahunya.

“Dia belum cukup mempermainkanku rupanya,” gumamku. “Dia akan merundungku lagi karena hanya aku yang bisa dia permainkan.”

“Kalau begitu jangan sampai berpapasan dengannya lagi,” ujar Adrian.

Aku berdecak mendengar itu. Aku lemah, tapi aku tidak sudi lari untuk menghindari orang semacam Evan. Kadang, lari dalam pertarungan itu adalah hal yang bijak. Tapi, jika lawanku hanya seorang itu, maka selamanya aku akan melarikan diri. Aku bahkan tidak punya kesempatan untuk bertambah kuat.

Hari demi hari aku memikirkan itu. Aku belum sama sekali bertemu Evan, tapi namanya saja sudah membuatku terganggu seperti ini. Aku tak bisa diam saja. Sekarang, entah berada di kelas yang mana, menjadi kuat itu sebuah keharusan. Aku tak bisa menghadapi hidupku sendiri jika menghadapi Evan saja tidak bisa.

Ya, harus kulakukan!

“Apa yang kau lakukan, Darian?”

Adrian memergokiku mengemasi barang-barang di tengah kegelapan malam. Aku terkejut untuk sesaat. Namun, selama yang memergokiku bukan Mama, itu bukanlah masalah.

“Aku akan pergi,” kataku.

“Jangan bercanda, Darian!” seru Adrian. “Mama akan menangis darah kalau kau melakukan itu.”

Gerakan tanganku melambat saat mendengar kalimat terakhir Adrian. Mungkin yang dia katakan benar. Namun, aku juga tak selamanya akan bersama Mama. Kami, kami bahkan tidak akan bersama-sama Mama selamanya. Itu faktanya.

Saat menginjak usia empat belas tahun, kami akan dikembalikan kepada negara untuk menjadi penunggang kuda. Sayangnya, negara hanya mengambil anak yang kuat dan berbakat. Bukan rahasia bahwa sisa anak yang tak terpilih akan menjadi budak. Aku tak ingin menyiapkan diriku yang lemah ini menjadi budak.

“Kalau aku menginjak usia empat belas tahun dengan diriku yang masih seperti ini, aku pasti akan diperbudak. Aku harus menjadi kuat Adrian. Aku akan mencari sesuatu di luar sana. Dan kau, kau jangan coba-coba melarangku pergi karna kau jauh lebih kuat dariku. Kau punya kesempatan untuk lolos menjadi penunggang kuda, sedangkan aku yang sekarang tidak,” kataku.

“Tak perlu jadi sangat kuat, itu tidak penting,” tepis Adrian.

“Penting!” sanggahku. Nada tinggiku tertahan agar tidak ada penghuni panti yang mendengar. “Adrian, tolonglah! Aku sudah pernah hampir mati karena aku lemah. Kau tak tahu itu. Kau tahu? Leherku tercekik di dalam air dan menabrak batuan sungai. Aku sudah merasakan sekarat. Tidak lagi,” kataku.

Adrian hanya membeku. Entah kenapa aku merasa Adrian sedih mendengar itu. Sepertinya ia merasa bersalah karena aku mendapatkan perundungan itu sementara dia tak bisa melakukan sesuatu.

“Sudahlah, itu bukan salahmu,” kataku.

“Kau benar-benar ingin meninggalkanku?”

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku sambil berdiri terpaku ke arah Adrian. Aku baru sadar, malam ini mungkin percakapan terakhirku dengan Adrian, anak yang telah bersamaku sejak kami masih balita. Kami tak punya ikatan darah, tapi kami sudah seperti saudara.

“Kalau aku sudah kuat, aku akan menemuimu lagi,” kataku.

“Sungguh?”

Aku mengangguk. Menyadari tak ada percakapan lagi yang akan kami bicarakan, aku pun menyambut tubuh Adrian untuk memeluknya. Aku tak akan melihat anak ini untuk waktu yang lama. Namun, aku akan mencarinya lagi. Aku berjanji.

“Aku tak sabar untuk melihatmu menjadi penunggang kuda,” kataku. “Saat aku kembali saat menjadi kuat nanti, mari kita berkuda bersama-sama!”

Malam itu, Adrian jadi membantuku berkemas. Ia menyiapkan perbekalan. Ia menasihatiku macam-macam. Saat dini hari, ia kemudian mengantarku ke halaman, berpamitan, dan memberikan kaus kakinya sebagai kenang-kenangan. Aku tak bisa memberinya apa-apa, karena semua yang kuberikan ditolaknya. “Kau lebih membutuhkannya,” katanya. Bahkan aku malah memberinya tugas untuk mengurus kepergianku jika Mama mencari. Entah bagaimana anak itu akan mengatasinya.

“Pergilah! Jangan lupa untuk kembali!” kata Adrian sambil melambaikan tangan.

Kalau soal perpisahan sebenarnya hatiku agak goyah, tapi aku tak akan memperlihatkannya pada Adrian. Aku tidak boleh terlihat lemah walau dalam perasaan pun. Akhirnya aku hanya melambaikan tangan tanpa mengucapkan apa-apa dan segera berbalik, berjalan membelakangi Adrian, menjauhi panti, terus berjalan dalam kegelapan.

Sampai jumpa, Adrian!

Darian's FraudTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang