•• ༻❁༺ ••
Siang ini matahari bersinar sembunyi-sembunyi. Kepingan tipis awan putih berserakan menghiasi langit. Masih dalam rutinitas serupa, Ajeng bersama Cahyani juga Olivia tengah menyelesaikan persiapan akhir untuk pesanan kue. Sesekali dia menyeka peluh di pelipisnya.
"Kalau kamu mulai cape, ada baiknya pesanan dihentikan dulu beberapa hari ini. Ibu lihat semenjak hari pertama kamu terus mendapat pesanan. Kehamilan kamu perlu diperhatikan juga, Ajeng." Cahyani menasihati secara halus sambil memasukkan satu persatu kue tart mini ke dalam keranjang.
"Iya, Bu. Yang Ajeng siapkan ini pesanan terakhir. Ajeng juga udah mutusin untuk enggak ambil pesanan dulu sampe minggu depan. Kasihan Oliv, Ibu. Dia ini enggak mau ngomong apa-apa, padahal sendirinya butuh istirahat. Kalau suaminya tau, mungkin Ajeng bakalan diinterogasi."
"Aku cuma sedikit membantu. Lagi pula, bosan terus-menerus di rumah. Enggak ada kegiatan yang produktif kayak begini. Bikin kue bareng sama Ibu dan kamu tuh rasanya seru, Jeng. Makanya aku enggak keberatan sama sekali." Olivia menyahut seraya dia pun turut menyusun kue-kue.
"Bu, mending Ibu rebahan di kamar deh kayaknya," cetus Ajeng usai mendengar Cahyani mengerang keras. "Pasti Ibu lelah itu," sambung Ajeng lagi. Tampak mengkhawatirkan ekspresi ibunya.
"Ibu enggak apa-apa, Nak. Ibu justru mencemaskan kalian--Ibu doakan agar kalian berdua senantiasa diberi kesehatan sama Gusti Allah. Dan Ajeng, Ibu bangga kamu telah memperlihatkan perubahan yang baik."
"Ajeng malu kalau mengingat kesalahan itu lagi, Bu. Ajeng janji ke Ibu dan Mas Abim supaya Ajeng bisa memberikan contoh yang benar ke anak-anak Ajeng kelak." Harapan Ajeng terucap sambil dia sempat mengusap lembut perutnya.
"Ibu senang sekali mendengarnya," tanggap Cahyani sembari melepas senyum kelegaan. "Nak Oliv ... Ibu sungguh berterimakasih padamu. Kamu memang teman yang baik untuk Ajeng. Semoga pertemanan kalian bisa bertahan sampai tua nanti." Perkataan Cahyani terdengar menenteramkan hati.
"Jangan bikin Ajeng sedih, Ibu," keluh Ajeng seakan dia tengah merengek. Reaksinya itu kontan menyebabkan Olivia cekikikan geli.
"Sepertinya ada yang datang." Cahyani menginterupsi sambil memandang lurus ke pintu depan.
"Biar Ajeng aja yang melihatnya, Bu." Kemudian, Ajeng mengayun langkah menuju pintu guna memastikan siapa yang datang.
-----
"Hai, Jeng. Kamu apa kabar?"
"Kalian?!" Ajeng terperangah, kaget saat menyaksikan ketiga temannya datang tanpa kabar. Tak berselang lama dia sedikit membungkukkan badannya, membalas salam mereka. "Ada perlu apa? Ehm... begini, sebelumnya aku minta maaf jika kedatangan kalian ke sini untuk mengajakku pergi bersama kalian, aku enggak bisa. Sekarang aku sangat sibuk. Banyak pekerjaan yang harus
Aku lakukan. Sekali lagi maafkan aku." Ajeng menuturkan hati-hati, nada bicaranya bernada rendah agar tidak menyinggung ketiga temannya itu."Bukan, Jeng. Kami enggak bermaksud untuk pergi ke mana-mana atau pun mengajak kamu." Gisca buru-buru menyahut seraya mengibas-ngibaskan tangannya. "Kami menemui kamu karena ingin meminta maaf," timpal Gisca dengan wajah merunduk malu.
"Minta maaf? Tapi, soal apa?" tanya Ajeng heran. Dahinya kini berkerut.
"Boleh kami menjelaskannya di dalam? Hanya sebentar." Lisa pun menambahi, "Ajeng, please ..." Sedikit desakan halus oleh Lisa ketika dia menatap penuh harap pada Ajeng yang sepertinya tidak menyukai kedatangan mereka.
"Tentu, aku sampai lupa menyuruh kalian masuk," kata Ajeng merasa canggung, mempersilakan ketiga temannya; menuntun mereka ke ruang tamu. "Duduklah, akan aku buatkan teh untuk kalian."
"Enggak usah, Jeng. Kami enggak mau merepotkan kamu."
"Gisca benar, Ajeng. Bukankah kamu bilang sedang banyak pekerjaan?" Lisa menegaskan pernyataan Ajeng semula, hingga si empu berbalik dan mengambil posisi duduk di antara mereka.
"Baiklah kalau itu mau kalian." Agaknya Ajeng pun memang enggan berbasa-basi dengan teman-temannya.
"Jes, buruan bilang!" Lisa menyikut lengan Jeslyn seraya menatap malas. Di antara mereka bertiga Jeslyn cukup keberatan atas ide yang mereka sepakati ini. Tadinya dia tidak ingin ikut, namun Gisca dan Lisa memaksanya dengan upaya cukup keras.
"Ajeng, mengenai kejadian waktu itu. Kami semua memohon maaf, terutama aku--akulah yang mengirim pesan ke suami kamu." Jeslyn mengakui dengan air muka nan lesu. "Aku kesal banget sama kamu, aku merasa kamu udah mengganggu kesenangan kita di sana. Kamu merengek minta pulang, sementara aku udah bayar mahal buat vila dan acaranya."
"Kami temani kamu ke sini bukan untuk berdongeng. Hentikan cerita yang malu-maluin itu, Jes! Kepalaku langsung pusing setiap kali mengingatnya." Detik berikut Gisca menghardik saking dongkolnya terhadap perkataan Jeslyn yang terkesan tidak sungguh-sungguh menyesali perbuatannya.
"Aku ambil HP kamu pas kamu ke kamar mandi. Kebetulan enggak dikunci, jadi aku langsung aja ke pesan. Tapi, sumpah demi apapun, Aku enggak berniat untuk sengaja membawa kamu ke dalam masalah. Aku benar-benar bingung dan marah."
Pengakuan Jeslyn itu menyebabkan Ajeng mendengkus. "Aku berterimakasih untuk niat baik kalian ... daripada menempatkan kalian sebagai sumber masalah, aku justru sadar bahwa semua itu adalah kesalahanku sendiri. Aku yang tetap nekat memilih ikut kalian walau Mas Abim udah melarang. Untung enggak terjadi apa-apa pada bayi kami." Refleks lagi jemari Ajeng mengelus-elus perutnya. "Aku maafin kalian semua." Senyumnya yang cantik seolah mempertegas sesal dan kerelaan di hatinya.
"Kamu memang teman yang baik, Ajeng." Lalu, Gisca tidak tahan untuk menunjukkan kelegaan di wajahnya. "Aku juga ingin menghentikan semua ini, aku pikir udah cukup main-mainnya. Menjadi model memang merupakan impian terbesarku, namun aku juga perlu mempertimbangkan kesehatan mentalku. Belum apa-apa, aku udah enggak tahan sama tuduhan-tuduhan negatif yang datang ke aku."
"Aku juga ikut kamu, Gis. Aku takut suamiku mencium perbuatan kita tempo hari. Kami memang jarang bertemu. Tapi, aku enggak bisa membayangkan andai dia memiliki perempuan lain di luar." Lisa menanggapi sama. Jelas sekali Ajeng pun tak mengira mereka akan merespons demikian.
"Kamu berhenti jadi model?!" Jeslyn memekik. Dia tidak sadari itu akibat kepalang kaget atas berita yang didengarnya.
"Setelah kontrakku habis, Jes. Untungnya aku enggak buru-buru ambil kontrak panjang. Cuma setahun aja, itupun skala proyeknya relatif kecil. Yang penting aku enggak difinalti."
"Tapi, Gis. Kamu kok dadakan banget?! Apa enggak sayang membuang begitu aja mimpi yang udah di depan mata?!"
"Tunanganku enggak kasih izin, Lis. Dia minta aku skip semua pekerjaan di permodelan."
"Loh, itu sama aja dia mengatur kamu."
"Asalkan dia mau jadi pasangan yang baik buat aku, aku siap berkorban, sekalipun itu impian aku."
Di sisi lain Ajeng mendesah pelan. Setelah diam sedari tadi, dia pun menanggapi, "Masih beruntung karena akhirnya kalian semua juga sadar. Aku enggak mau terlalu banyak berkata-kata, situasi kita sama 'kan? Aku harap hubungan kalian selalu baik dan damai."
"Ji, ada siapa?" Cahyani menginterupsi obrolan mereka. Dia dan Olivia menyusul usai menyadari Ajeng tak kunjung kembali ke dapur.
"Ibu, Oliv. Kenalin, mereka ini teman-teman aku."
-----
"Lo siap pulang, enggak?"
Abimana sekadar tersenyum dan mengangguk. "Tapi, kita harus kembali lagi dalam sebulan ke depan. Kita perlu tau gimana respons masyarakat di sini," kata Abimana.
"Iya, iya, gue paham kok maksud Lo. Masalahnya, sekarang ini udah saatnya kita pulang. Sebulan di rantau, gue kangen banget sama istri gue. Istri Lo juga bakal seneng melihat Lo pulang. Dia selalu mengeluh ke Oliv gara-gara Lo enggak mau menelepon dia."
"Aku juga rindu sama dia. Aku pikir sebulan cukup untuk menyadarkan Ajeng dari kesalahannya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Dek Ajeng & Mas Abim
RomanceAjeng yang manja berpikir suaminya selalu memenuhi segala permintaan dia. Abimana punya banyak cinta untuk diberikan kepada istri tersayangnya ini tanpa tega menolak. Telanjur terlena justru menjerumuskan Ajeng ke dalam masalah besar dan genting. Di...