Akhwat Baperan Vs Ikhwan Berperan

23 4 0
                                    

“Kukuruyuuuuk”, suara ayam jago membangunkanku. Mengingatkanku bahwa hari ini adalah Hari Senin. Hari dimana hampir setiap pelajar atau mahasiswa dapat dikatakan ‘malas’ untuk memulai kegiatannya. Aku pun begitu. Rasanya sangat malas untuk beranjak dari tempat tidur. Seperti kebanyakan alayers yang membuat snap WA ‘gravitasi kasur sangat kuat’. “Ah ya, aku belum sholat subuh rupanya”, kalimat itu seolah menggerakkanku untuk bangun. Ku paksakan tubuhku melangkah ke kamar mandi dan berwudlu. Seperti biasa aku menggelar sajadah menghadap kiblat. Dalam sholatku, aku selalu terbayang sesuatu. Tak pernah khusyuk. Cewek baperan sepertiku tak jarang terlintas di pikiran tentang jodoh.
“Lidya!!! Ayo berangkat kuliaahh!”, lamunanku terbuyar oleh suara cempreng itu lagi. Fatimah atau Ima. Dia sahabatku sejak kenal di perkuliahan. Entah aku yang terlalu kuper atau memang tidak ada yang cocok denganku, memang hanya dia sahabatku.

Aku Lidya. Seorang cewek biasa yang sedang berjuang menuju S1. Sekarang aku memasuki semester 2, dimana aku harus mulai berorganisasi. Susah bagi cewek kuper sepertiku untuk membaur bahkan berorganisasi. Malas rasanya. Lantaran tuntutan beasiswa, terpaksa aku mengikuti salah satu organisasi yang aku hanya ikut karena Ima ikut. “Ah memang kuper aku ini! Organisasi saja ngikut teman. Ngga ada pilihan lain apa! Rohis pula. Tak sesuai sekali dengan kepribadianku ini..”, suara batinku setiap aku mengingat aku ini anak rohis sekarang. Tak boleh pakai celana jeans lah, tak boleh bonceng cewek cowok lah, tak boleh...ah sudahlah, toh aku sekarang juga anak rohis. Suka atau tak suka harus kujalani. Tak merugikan juga.

Hari ini adalah bukan hari Senin biasa. Sore ini adalah pertemuan pertama anggota rohis baru dengan anggota lama. Aku dan Ima segera menuju tempat pertemuan. Sampai di sana, betapa terkejutnya aku. Cowok di rohis beda, mereka pendiam. Aku mau menyapa pun mereka malah seolah melempar muka. Senyum pun sangat irit, sangat berbeda dengan cowok kebanyakan.

“Imaaaa.. gimana aku bisa tahan di rohis kalau keadaannya kaya gini?” teriakku ke Ima.

“Apaan sih Lid. Ayolah, berubah. Jangan hanya mikirin cowok mulu, perbaiki tujuan kamu mengikuti rohis ini.” Ima tersenyum simpul.

Obrolanku dan Ima terhenti saat seorang cowok menghampiri kami. Ikhwan maksudku. Panggilan yang biasa bagi cowok di rohis. Sepertinya dia adalah semester 4. Dia tampangnya biasa saja, tidak terlalu tinggi juga, tetapi pendiam. Hmm ya, semua ikhwan pendiam menurutku. Ternyata aku salah, dia hanya lewat. Aku berusaha ramah dengan tersenyum kepadanya, tetapi dia hanya diam tanpa membalas senyumku.

“Hihihi enaknya dikacangin. Makanya jangan genit to”, Ima menertawaiku.

“Aku hanya berusaha ramah. Kamu kan tau aku orangnya kuper. Ga gaul!”, balasku ngotot.

Karena urusan kami sudah selesai, kami memutuskan untuk pulang. Saat berjalan pulang, aku sempatkan menoleh ke belakang melihat ikhwan cuek tadi karena aku masih penasaran. Tak disangka! Betapa terkejutnya aku, dia pun menoleh ke arahku. Wajah kami saling bertatapan dan dia tersenyum simpul. Aku segera membalikkan badanku, sungguh momen yang tidak tepat. Aku memegangi dadaku yang berdetak sangat kencang. Dasar Lidya! Disenyumi dia begitu saja sudah meleleh, bagaimana jika dilamar olehnya nanti. “Ah apa sih aku ini? Menghayal saja bisanya.”, batinku.

***

Hari-hariku berlalu seperti biasa. Dengan tugas, kuliah, kegiatan, makan, minum, mandi, buat snap WA, buka instagram, dan kegiatan alayku yang lainnya. Hari ini adalah jadwalku mengikuti seminar. Sebenarnya malas mengikuti seminar ini, tetapi karena aku penasaran dengan guest star nya maka aku mengikutinya. Mengajak Ima tentunya, seperti biasa. Rupanya seminar ini menarik dengan beberapa hiburannya. Tak biasanya aku mengikuti susunan acara seminar dengan khidmat. Saat yang ditunggu telah tiba. MC segera menyambutnya “Inilah dia guest star kita hari ini. Muhammad Irsya! Beri tepuk tangan yang meriah!”. Gemuruh tepuk tangan peserta seminar sangat antusias dalam menyambut guest star tersebut. Aku penasaran siapa itu Muhammad Irsya yang katanya mahasiswa yang sering memenangkan lomba. Betapa terkejutnya aku, untuk kesekian kalinya aku terkejut. Ikhwan cuek yang kemarin adalah Mahasiswa berprestasi? Muhammad Irsya namanya? Aku begitu terkejut sehingga tidak bisa melepaskan pandanganku padanya. Dia sepertinya tidak sengaja melihatku duduk sebagai peserta seminar. Untuk kesekian kali aku dibuat terkejut olehnya. Kali ini dia tersenyum sambil menundukkan kepalanya kepadaku. Kembali aku memegang dadaku yang berdetak sangat kencang. Aku hanya terdiam dan istighfar dalam hati, mengingat aku ini sudah menjadi anggota rohis sekarang. Maka aku juga harus menjaga pandanganku dan sikapku.

Akhirnya seminar pun sudah terlaksana. Mas Irsya sungguh membuatku kagum, dia berprestasi, sholeh, idaman pokoknya. Walaupun itu menurut pandanganku secara sekilas. Namun, aku pun sadar aku hanya bisa mengaguminya, tak mungkin bisa lebih dekat dengannya. “Ah apa sih Lidya menghayal mulu hobinya. Kuliah dulu yang benar baru mikirin begituan hmm..”, batinku. Tak terasa aku dan Ima sudah sampai kos. Lelah rasanya mengikuti seminar seharian ini, tetapi lelahku tak terasa karena senyum dari Mas Irsya tadi. Tlingtung tlingtung, nada pesan WA ku berbunyi. Huft! Sudah kuduga rupanya pesan undangan syuro (rapat) lagi. Kuletakkan HP ku lagi dan berbaring sembari menunggu adzan maghrib. Tlingtung tlingtung, berbunyi lagi dan dari nomor yang sama.

Assalamu’alaikum dek Lidya, ini saya Irsya. Hanya ingin menyampaikan kesalahpahaman yang kemarin. Afwan dek, saya gagal fokus kalau ada yang menyapa saya kemarin hehe.

Sontak aku terbangun dan terkejut.

Aku pun dengan cepat membalasnya.

Wa’alaikumsalam mas. Gapapa mas, saya paham kok hehe.

***

Percakapanku dan Mas Irsya berlanjut tidak hari ini saja, tetapi juga pada hari-hari berikutnya. Selain pintar dan senang berorganisasi, Mas Irsya juga ramah, humoris, dan baik. Namun, tetap saja ada unsur kecuekannya. Kami memang tidak setiap hari komunikasi, tetapi tidak jarang kami saling komen story dan bercanda. Aku pun tidak tahu hubungan apa yang ada antara aku dan Mas Irsya, yang aku tahu kami dekat. Aku tidak menyangka akan sedekat ini dengannya. Kadang aku merasa tidak pantas jika disandingkan dengannya. Aku akhwat baperan yang tidak sepintar dia, sedangkan dia sangat berperan baik di perkuliahan maupun organisasi. Kami hanya bertemu jika ada acara rohis dan syuro saja. Itu pun hanya sekadar saling sapa. Tidak heran jika anak rohis tidak mencurigai kedekatan kami. Beberapa kali aku sempat berpikir apakah yang kulakukan ini salah? Tapi sangat sulit menghindarinya, aku sudah terlanjur terlibat dalam hubungan ini.

Saat ini hubunganku dengan Mas Irsya baik-baik saja sampai Mas Irsya mengajakku bertemu di cafe untuk membicarakan sesuatu yang penting. Jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Entah apa yang ingin dia bicarakan sampai mengajakku bertemu. Aku langsung bersiap-siap untuk bertemu Mas Irsya. Aku datang ke cafe yang dia sebutkan. Rupanya dia sudah menunggu disana. Aku segera menghampirinya dan menyapanya. Disana kami berdua makan dan berbincang-bincang. Setelah selesai, akhirnya dia bicara.

“Dek, mas ingin bicara serius. Emm, mas merasa hubungan ini salah, kamu pasti juga pernah merasa demikian. Memang rasa cinta adalah fitrah manusia. Namun, jika kelanjutan hubungannya seperti ini maka kita akan membuka pintu dosa dek. Mas tahu mas juga salah dalam hal ini, tetapi sekarang mas sadar mas takut menyakiti adek jika hubungan ini berlanjut. Mas belum siap menjanjikan apa-apa ke adek. Jadi, lebih baik kita hentikan chatan kita yang berlebihan mulai hari ini ya, bukan menjadi orang yang saling tidak kenal, tetap menjadi diri kita yang saling menyapa jika bertemu. Mas hanya ingin kita mengurangi komunikasi kita yang seperti itu dek, tetap komunikasi jika ada perlu saja. Jika Alloh berkehendak kita berjodoh, maka suatu saat Alloh akan mempertemukan kita. Bukan maksud mas mengatakan seperti ini untuk menyakiti adek. Sekali lagi mas minta maaf.”

Panjang lebar Mas Irsya mengatakan itu semua. Aku hanya terdiam mendengarkan apa perkataannya. Tanpa sadar air mataku mengalir membasahi pipi. Aku tak kuasa menahannya, sampai aku tak bisa membalas perkataan Mas Irsya. Namun, perlahan kuucap dengan tersenyum simpul sambil tetap menangis.

“Iya mas, aku paham. Maaf..”.

Lalu, aku ke kasir dan pergi meninggalkan Mas Irsya. Sampai di kos, aku tak kuasa menahan tangis. Aku menangis sejadi-jadinya. Ima yang tahu masalahku hanya bisa menenangkanku. Tlingtung tlingtung, suara pesan WA darinya.

Dek, maaf sudah bikin kamu nangis. Mas tidak bermaksud menyakitimu. Maafkan mas ya dek. Terkadang demi merasakan keindahan sebuah pelangi kita harus merasakan dinginnya tetesan air hujan.

Rasanya memang sakit, tetapi itu memang keputusan yang terbaik. Aku menangis bukan karena menolak keputusannya, aku hanya butuh waktu untuk menenangkan diriku dan memahaminya.

***

Hari demi hari berlalu dengan normal. Aku dan Mas Irsya masih saling sapa dengan baik walaupun tidak seperti dulu. Dari peristiwa ini aku menyadari bahwa semua keputusan yang Mas Irsya ambil memang keputusan terbaik dan aku memahaminya sekarang. Aku bersyukur kepada-Mu Ya Alloh.

Kilil's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang