•• ༻❁༺ ••
Ini tampak lebih baik saat mendapati Ajeng tengah menyibukkan dirinya di dapur bersama peralatan memasak. Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi di mana suasana pun hampir terang di luar sana. Spatula diayun gesit dengan kedua tangannya, mengaduk-aduk nasi goreng seafood kesukaan suaminya dengan ekstra sambal dan kacang polong. Abimana si penyuka makanan pedas tak biasa menolak bahan pendamping lainnya asalkan terasa cocok di lidahnya. Apalagi dia begitu menikmati beragam makanan yang pernah dimasak istrinya tersebut.
"Rajinnya istri Mas--" Seperti hobi dia yang sudah-sudah, memeluk dari belakang bukanlah hal baru di antara mereka. Abimana tahu-tahu menghampiri Ajeng ke dapur usai mempersiapkan dirinya dalam setelan kantor.
"Loh, kok udah bangun, Mas?" Ajeng melirik ke samping, menemukan wajah suaminya bersandar di pundak dia sambil memejamkan mata. "Adek pikir Mas libur. Maaf, ya. Kalau tahu Mas kerja, Adek siapkan dulu tadi jasnya."
"Mas juga maunya libur sebentar, entah satu atau dua hari. Mas masih kangen sama Adek, maunya nempel begini. Kenapa ya, Dek? Rasanya bukan cuma Adek aja yang clingy, Mas juga senang kita dekat-dekat begini."
"Terus, kenapa dari kemarin tetap pergi ke kantor?"
"Mas 'kan udah kasih tau alasannya, sayang. Dimas butuh Mas buat tandatangan laporan. Dan setengah jam lalu si Alvian telepon. Dia minta supaya hari ini kita berdua tetap ke kantor untuk membahas hasil kerja selama di Kalimantan. Kalau bukan karena panggilan dia, pasti Mas udah balik tidur habis subuh tadi.
"Tangannya, Mas! Jangan merayap ke mana-mana, dong. Spatula yang Adek pegang bisa jatuh." Itu sebab Abimana telah benar-benar mengganggu pergerakannya saat dengan sengaja mengusap-usap perut Ajeng hingga ke pinggang.
"Kira-kira kapan ya Dek lahirannya?"
"Mas udah enggak sabar?"
"Banget, Dek. Kepingin punya teman main sepulang kerja. Asyik ya kayaknya, begitu sampai di rumah disambut sama bayi semok menggemaskan."
"Semok?!"
"Iya. Ibunya 'kan padat berisi, kemungkinan anaknya juga."
"Kalau kekar seperti Mas?!"
"Memangnya ada bayi kekar? Apa di dalam rahim kamu ada gym?"
"Apaan, deh Mas! Jangan ngaco, ih!" Abimana sekadar mesem-mesem sembari sedikit merapatkan tubuhnya, mengendus berkali-kali leher jenjang istrinya ini.
"Mas duduk dulu bisa enggak, sih? Ganggu Adek soalnya. Ini nasi gorengnya udah matang, Adek mau ambil piring." Ajeng berdecak kecil ketika tak menjumpai respons berarti dari suaminya. Setelah sekali tarikan napasnya mengudara rendah, dia pun kembali berkata, "Sayang, bisa ke pinggir dulu enggak? Ini istrinya mau menghidangkan sarapan." Alih-alih langsung mengikuti interupsi tersebut, Abimana justru menyempatkan diri untuk mendaratkan satu kecupan di pipi Ajeng.
"Iya, deh. Mas yang ngalah--kopinya mana, sayang?"
"Dilihat baik-baik, Mas enggak perhatiin meja 'kan? Padahal kopinya ada di samping Mas."
"Ah, iya benar--habisnya ke dua mata Mas ini enggak bisa lama-lama berjauhan dari Adek."
"Geli tahu, Mas. Gombalannya garing. Setiap hari Mas ke kantor dan kita berpisah sepanjang kurang lebih sepuluh jam. Itu yang Mas bilang enggak sanggup jauh-jauh dari Adek?"
Sepiring nasi goreng seafood turun di hadapan Abimana, menyusul sepiring lauk berisi telur mata sapi dan ayam goreng. Ajeng tidak meninggalkan selada, terong hijau, mentimun untuk turut disajikan. Kendati menjelang dua tahun dia menetap di Ibu Kota, tak pula dia melupakan kebiasaan di rumah orang tuanya yang kerap melengkapi menu dengan bermacam lalapan.
"Terpaksa, sayang. Mas enggak keberatan kok setiap hari pergi ke kantor bareng Adek. Malah Mas bakal tambah semangat dan bergairah, mau lembur juga tancap gas kalau Adek ada di samping Mas."
"Bukan begitu juga konsepnya, Mas. Sekarang Adek 'kan sudah punya rutinitas baru. Ini aja setelah Mas pergi ke kantor, Adek mau belanja bahan-bahan untuk kue sekalian cetakannya."
"Sendirian?" Abimana mulai menyuapkan nasi goreng ke mulutnya, menggigit paha ayam krispi nan gurih sambil mengamati betapa cantik cara makan istrinya. Itu menurut dia. Kata Abimana; Ajeng adalah bumil paling imut dan manis yang pernah dia jumpai. Mana ada perempuan hamil mukanya kayak balita, cuma Ajeng satu-satunya di mata dia.
"Bareng Oliv, Mas. Kalau dia jadi datang, sih. Tapi, Adek udah ajak Mumu juga untuk jaga-jaga. Siapa tahu Oliv tiba-tiba berhalangan."
"Ya udah, tetap hati-hati, ya. Mas enggak mau dengar kabar jelek apapun dari Adek, atau Mas enggak mengizinkan Adek keluar lagi. Suruh Mumu aja yang belanja, Adek tinggal kasih daftar lengkap belanjaannya."
"Iya, Adek janji. Lagian ini juga solusi Adek biar pas persalinan nanti semuanya lancar. Adek takut si bayi keluarnya lama, terus malah kenapa-kenapa di dalam."
"Sstt! Omongan Adek!"
"Hanya wanti-wanti, Mas. Dokter bilang si bayi sehat, kok. Dan pertumbuhannya juga sangat bagus ... astaga, Mas! Adek hampir lupa menyampaikan pesan Ibu."
"Soal apa?" Makan dengan lahap, apresiasi Abimana terhadap usaha istrinya yang telah menghidangkan masakan terbaik untuk dia.
"Kak Juna bakal pulang ke Indonesia. Dengar dari Ibu dia mau ngenalin istrinya."
"Maksudnya si Arjuna?!"
"Iya, Mas."
"Kapan menikahnya?! Kenapa Mas enggak tahu?!"
"Menikahnya dadakan karena alasan yang waktu itu enggak bisa dia jelasin dengan gamblang. Adek sih cuma dengar pengakuan ibu, belum tahu versi Kak Juna gimana."
"Kapan sampainya?"
"Infonya sih minggu depan kalau enggak ada halangan. Jadi, kamis ini ayah dan ibu niatnya menginap di sini. Mas setuju enggak ya semisal kak Juna dan istrinya tinggal sama kita untuk sementara? Soalnya dia belum menemukan tempat tinggal yang pas sama selera dia dan istrinya. Mas tahu sendiri dia menetap di Prancis udah lama, kayaknya hampir tujuh tahun. Mas juga belum pernah ketemu, iya 'kan?"
"Lagian mau ketemu bagaimana? Dia sendiri enggak hadir di pernikahan kita."
"Maklum Mas, dia itu model Victoria Secret. Jadwalnya enggak bisa sembarangan diobrak-abrik. Tunggu, tunggu! Berarti, ini juga pertemuan pertama Mas dengan kak Juna 'kan?"
"Iya. Mas beneran enggak tau Arjuna tu kayak apa orangnya. Adek juga belum cerita lebih, selain memperlihatkan foto di waktu kalian masih SMA."
"Adek juga udah lama enggak ketemu, komunikasi pun jarang. Dia tu perginya tiba-tiba banget, Mas. Tamat SMA langsung mutusin merantau ke negara orang. Itu peristiwa yang menyakitkan buat kita semua, terutama ibu. Sebetulnya ibu enggak setuju dengan keputusan kak Juna menjadi model, harus menetap di Prancis pula. Empat tahun ibu kelihatan kosong, sering melamun dan sulit diajak bicara serius. Kadang pura-pura senyum, tapi matanya yang sembab bikin Adek tau segala kesedihan dia. Sejak itu ayah putuskan menerima tawaran rekannya untuk mencoba membangun bisnis kuliner Surabaya. Dan akhirnya kita semua berangsur-angsur terbiasa." Pemaparan panjang demikian serempak suapan terakhir dari piring suaminya. Abimana mengambil segelas air putih, meneguk nyaris tandas usai kopinya ditandaskan dahulu.
"Ini bukan waktunya sedih-sedih lagi 'kan, Dek?! Kita benahi kekecewaan di masa lalu, hubungan keluarga dieratkan. Mas siap membantu apa-apa yang Adek dan ayah ibu butuhkan--bilang ke mereka, tolong jangan sungkan! Mas pergi dulu, ya." Abimana beranjak untuk memeluk berikut mendaratkan ciuman singkat di pelipis istrinya. "Ingat pesan Mas ya, sayang. Adek baik-baik di rumah, di luar. Langsung hubungi Mas kalau terjadi apa-apa." Senyum Abimana mengembang bertepatan Ajeng mengangguk sukacita kepadanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dek Ajeng & Mas Abim
RomanceAjeng yang manja berpikir suaminya selalu memenuhi segala permintaan dia. Abimana punya banyak cinta untuk diberikan kepada istri tersayangnya ini tanpa tega menolak. Telanjur terlena justru menjerumuskan Ajeng ke dalam masalah besar dan genting. Di...