Matahari pagi terasa semakin menyengat kulit Ketika acara pengibaran sang merah putih dilaksanakan. Senin pagi, ialah hari yang paling tak disukai oleh siswa-siswi lantaran mereka harus berdiri selama kurang lebih 45 menit untuk mengikuti upacara bendera. Kehidmatan upacara semakin terasa kala paduan suara mulai mengumandangkan lagu kemerdekaan. Pasukan paskibraka dengan suara lantangnya, memberi komando untuk melakukan hormat.
Tak semua siswa hadir, semua kelas dipastikan sudah kosong karena osis yang bertugas akan mengecek semua kelas dan mencatat siapa saja yang tak mengikuti upacara. Terpantau tak ada yang bolos sampai suatu kejadian mengagetkan semua orang yang berada di lapangan. Semula perhatian mereka menuju ke sang merah putih yang sangat indah diterpa Mentari pagi, namun Ketika teriakan lantang yang bukan berasal dari komandan upacara itu terdengar, perhatian mereka teralihkan.
"BANGSAT!"
Teriakan seseorang menggelegar, bersamaan dengan tubuh seseorang yang terlempar ke sisi lapangan. Baju putih itu kini sudah dihiasi oleh noda berwarna coklat. Laki-laki itu langsung terbangun dan berlari berusaha menerjang lawannya. Sementara sang pelaku, tersenyum miring. Seseorang dengan name tag "Damarez A.R" tersebut Kembali melayangkan pukulan hingga membuat Devara terhuyung menghantam tembok. Ia tak juga berhenti walau kini OSIS sudah memburu dirinya.
"Segitu doang kemampuan lo, Rez? Pukul lagi, Sat!" bentak Devara didepan wajah Damarez yang sudah terlihat merah padam. Tak ragu, Damarez memberikan pukulan namun pergerakannya tertahan saat OSIS menarik tubuhnya menjauh. Ia dipandang sebagai seorang penjahat karena memukuli teman satu sekolahnya. Sementara Devara, kini, laki-laki itu diberi perhatian lebih lantaran lukanya lebih banyak dari Damarez. Secara samar-samar, Devara melayangkan senyuman miring pada Damarez.
Damarez tersenyum singkat, ia menaikkan alisnya. Laki-laki bertubuh tinggi dengan otot lengan besar tersebut menghempaskan tangan seseorang yang sedari tadi mengunci tubuhnya dengan mudah. Ia menaikkan jari tengahnya pada Devara kemudian pergi. Seorang OSIS menahannya, namun ia segera memberi tatapan menyala seraya berkata. "Minggir." Suaranya pelan namun nyaris membuat orang gemetar mendengarnya.
"Berhenti! Damarez Arbyshaka Raja. Kamu ikut ke ruangan saya. Dan...kamu juga, Sathya Devara Erricson!" bentak seorang guru yang mengepalai bidang kedisiplinan.
Damarez menghentikan langkahnya, ia menghembuskan napas dengan berat lalu membalikkan badan. "15 menit, Bu. Saya mau ke toilet," ujar Damarez. Semua anak OSIS menam pilkan wajah mengejek lantaran ia terkena batunya dan harus dipanggil menghadap guru BK.
"Tidak ada toleransi. Segera!"
Damarez berdecak. Ia menghampiri Bu Virda, laki-laki itu merogoh saku celananya. Mengambil satu benda pipih berwarna hitam lalu memberikan pada Bu Virda. "Hp saya, Bu. Sebagai jaminan kalua saya gak mungkin kabur." Setelah mengucapkan itu, Damarez berlangkah mundur, lalu berbalik arah. Sebagian anak OSIS memandangnya dengan heran karena termasuk sangat berani memberi penawaran pada Bu Virda, Sebagian berteriak dalam hati karena keringat di pelipis Damarez membuat laki-laki itu semakin terlihat keren.
****
"Aelah Mel...pelit amat. Bagi lah dikit!" Devara menarik rambut Panjang Damela. Seisi kantin langsung tertuju pada perkelahian bak kucing dan anjing tersebut. Devara selalu saja mengganggu Damela. Terkadang membuat Damela mengutuk laki-laki itu karena sangat jahil dan tak berperikemanusiaan.
"Deva anjing! Lepasin rambut gue!" bentak Damela.
"Bagi dulu. Gue lupa bawa duit, Mel. Sebagai teman yang baik, lo harusnya bagi duit ke gue," ujar Devara.