Senyuman gadis dengan rambut diikat satu itu terbit ketika melihat kertas hasil ujian latihan di tangannya. Perkembangan ini cukup bagus semenjak ia lebih giat belajar. Ia juga harus berterimakasih pada Lio yang dengan sukarela mengajarkan berbagai macam pelajaran yang tak ia pahami di kelas. Teya berlari keluar kelas hingga membuat Garce ikut berlari untuk mengejar anak itu. "Teya! Mau kemana?!" teriak Grace."Kelas Lio!"
"HAH?! INI BELUM JAM ISTIRAHAT!" teriak Grace.
Teya tak memedulikan hal itu. Ia tetep menerobos ingin menuju kelas 9C untuk menemui Lio, sahabat Zean. Pembagian kelas tak berdasarkan kepintaran namun diacak secara adil jadi taka da kelas unggulan. Pintu kelas terbuka dengan suara keras lantaran pintu kayu tersebut tertabrak dengan lapisan besi didepannya. Seluruh isi kelas langsung terdiam dan menengok ke arah sumber suara. "Lio! Eyaa dapet nilai 80 latihan minggu ini!" teriak Teya, mengibarkan kertas hasil ujiannya setinggi-tingginya.
Seorang anak laki-laki langsung terlihat panik. Suara bangku didorong kebelakang berbunyi disaat keheningan terjadi. Bukan Lio yang berdiri, namun Alzean. Kembaran teya satu itu berhasil dibuat malu akibat kelakukan Teya yang ceroboh. Zean berjalan dengan tatapan datar, laki-laki itu tersenyum pada guru yang sedang mengajar lantas menarik tangan Teya. Bersamaan dengan itu, Teya melotot saat melihat perempuan paruh baya sedang memegang spidol di depan kelas. Ia terdiam kaku, ia tak menyadari keberadaan guru didepan kelas. Lebih tepatnya, tak terpikir olehnya karena rasa bahagia ini.
"Abang?! Eyaa dapet 80, nih! Liat...!" ujar Teya sambil membentangkan kertas di depan wajah Zean.
Zean menarik Teya untuk keluar dari kelasnya. "Cukup, Jamilah. Lo bikin gue malu. Muka gue mau ditaruh Dimana, Ya?" tanya Zean. Laki-laki itu berkacak pinggang menatap adiknya yang kini terdiam sambil menatap kertas ujiannya.
"Semua gak ada yang peduli sama Eyaa...padahal kan ini usaha Eya belajar siang dan malam," gerutunya.
Zean mendelik pada Grace yang terlihat pura-pura takt ahu. Perempuan itu malah sibuk mengusir sesuatu di tembok sekolah menggunakan tangannya. "Peduli, Ya Allah...tapi gak nerobos kelas gue juga. Udah, sana! Bentar lagi jam istirahat. Nanti gue ajak Lio ke kantin. Sana lo, hama!" ujar Zean sembari mengusap pucuk kepala Teya, mengusir adiknya dengan halus.
"Grace! Kok gak bilang kalau belum jam istirahat? Malu, tahu,' gerutu teya.
Grace menggaruk kepala belakangnya yang tak gatal. "Aku udah bilang, tapi kamu budeg. Lagian main masuk aja. Bisa-bisa besok kamu viral, Ya. Nanti judul beritanya, 'seorang siswi nekat menerobos kelas demi sang pujaan hati' HAHAH!" ujar Grace, sedikit meledek.
Pipi Teya bersemu merah. Ia menggigit bibir bawahnya lantas mengalihkan pandangan. "Semua orang juga tahu kalau Zean itu kembaran aku," ujar Teya, mengalihkan pembicaraan.
"Bukan Zean, tapi Lio."
"Grace!"
Teya tersenyum kemudian berlari mengejar Grace yang juga berlari sambil tertawa. Mereka berlari mengelilingi lapangan sampai dahi dan leher mereka dipenuhi keringat. Setiap orang yang melihat sampai terheran-heran karena siang ini, matahari tepat berada diatas kepala mereka.
****
Seseorang mematik sebuah rokok yang terselip di bibirnya. Rambut lebatnya berurai menyentuh telingnya akibat angin yang berhembus, seakan-akan mengetahui apa yang sedang terbakar di dalam hati pemuda itu. Damarez duduk dengan menyandarkan bagian punggungnya pada dinding. Ditemani sebatang rokok dan pikiran yang sedang kalut, laki-laki itu memandang sebuah rumah besar berpagar hitam. Mulutnya masih sibuk menghisap dan menghembuskan asap, matanya menatap tajam.