Pantengin terus akun instagram @thclwsch.id supaya ga ketinggalan informasi Damarez yang bakal terbit di awal tahun 2024! Dijamin ga nyesel baca versi buku!
****
Seseorang memasang jam tangan hitam di pergelangan kiri tangannya. Rambutnya yang setengah basah itu menambah kesan menyegarkan dari penampilan Damarez pagi ini. Satu persatu anak tangga terketuk oleh sepatu putih yang dikenakan Damarez. Laki-laki itu tak berekpresi apapun ketika melewati meja makan yang sudah diduduki oleh mama serta papanya. "Arez jalan, Ma-" Suaranya terputus begitu suara papanya menyapa telinganya.
"Duduk!" bentak Andrew.
Damarez memutar badannya. Ia menghela napas dengan berat seakan-akan perjuangan besar akan dilakukan ketika ia duduk bersama di meja makan tersebut. Ia menatap mamanya yang mengisyaratkan untuk ikut duduk bersama mereka. Mama Damarez mendekatkan jus jeruk lebih dekat untuk menawarkan minuman itu pada putranya.
Damarez menghela napas Panjang, ia akhirnya menarik kursi dan mengambil posisi duduk di sebelah Fransisca, mamanya. Laki-laki itu menyalakan ponselnya yang sudah mati sejak tadi malam, ia menerima roti gandum dengan selai coklat yang diberikan Fransisca. Tanpa memperhatikan sekeliling dan terkesan tak peduli dengan siapapun yang ada di sekelilingnya, Damarez memakan sarapannya.
"Pulang sekolah kamu langsung pulang! Gak usah kelayapan!"
Damarez sontak menengok dengan alis tertaut. "Apaan sih? Kan siang itu jatah Arez main. Mau kelar sekolah langsung balik kak, nongkrong dulu kek, itu bukan urusan papa!" ujar laki-laki itu dengan tegas.
Andrew menenguk kopi hitam pahit yang disajikan diatas meja, ia memandang putranya yang keras kepala itu. "Papa sudah carikan kamu guru les privat. Mulai nanti siang, setiap hari berselang seling, kamu akan belajar privat sepulang sekolah. Jangan coba-coba buat bolos," ujar Andrew.
Damarez langsung melongo dan terdiam. Selalu terjadi, papanya selalu mengatur hidupnya tanpa menanyakan pendapatnya lebih dulu. "Selalu aja gitu. Selalu gerak sendiri. Kapan terakhir kali papa nanya pendapat Arez?" cibir Damarez.
"6 Jam sekolah ditambah les privat. Udah gila kali!" sahutnya.
"Papa lakuin ini semua karena-"
"Karena papa sayang Arez? Karena papa nggak mau Arez salah jalan? Come on! Walaupun Arez gak ngikutin jejak papa, bukan berarti Arez gak bisa sukses. Aku akan sukses walaupun aku bukan orang nomor 1 di sekolah!"
"Wadah kita beda, Pa. Aku gak muat masuk ke dalam wadah papa. Begitu juga sebaliknya, papa juga gak mungkin muat masuk ke wadah Arez. Semua punya proporsinya. Seorang doctor harus diajarin gitu lagi?"
Fransisca mengusap rambut Damarez untuk menenangkan namun baru saja menyentuhnya, Damarez langsung menjauh. Ia menatap kartu bank miliknya yang sudah ada diatas meja. Sepertinya papanya berbaik hati untuk mengembalikan kartunya setelah ia melempar kartu tersebut kemarin malam. Ia mengambil tasnya lantas menjauh dari meja makan. Dengan motor besarnya, Damarez menyisiri jalan yang hari ini mendung. Ia tak paham mengada langit sangat mengerti perasannya, suasana mendung membuat udara semakin segar setidaknya paru-parunya bersorak Bahagia walaupun bertolak belakang dengan suasana hatinya saat ini.
*****
Damarez melipat kertas ulanganm harian miliknya yang bertuliskan angka 60. Sedikit lagi ia terbebas dari remedial, hal itu membuatnya sedikit geram. Laki-laki itu menyelesaikan lipatan pesawat pada kertas itu lalu melemparnya ke udara hingga melambung tinggi.
"Lo dapet berapa, Sa?" tanya El, sambil berusaha mengintip kertas milik Yesa.
"BUSET?! 90?!"
Yesa menutup mulut El dengan tergesa-gesa namun kuping Damarez sudah lebih dulu mendengarnya. Damarez menarik lengan Yesa menuju tembok. Yesa nampak kebingungan lantaran semua teman-temannya malah mengerumuni dirinya bagaikan gula dan semut. "A-anu...Pada kenapa sih?! Ini 60 bukan 90!" bentak Yesa dengan geram.