Tungguin Damarez versi cetak ya!
Sudah satu bulan berlalu setelah pertama kali menjalakan les privat, Damarez mulai merasakan perubahan pada nilai-nilai ulangan hariannya maupun aktivitasnya di kelas. Menurutnya usahanya mengalah dan belajar selama ini tak sia-sia. Laki-laki itu memandang kertas ulangan harian ekonomi. Tertulis angka 80 di bagian atas kertas tersebut. Ini adalah capaian tertinggi selama ujian ekonomi. Damarez tersenyum tipis, rasanya sangat lega ketika mendapatkan hasil maksimal dari usaha yang maksimal. Ia melipat kertas itu menjadi lipatan kecil kemudian memasukkan ke dalam kantong celananya.
Teriakan seseorang mulai mengganggu konsnetrasi Damarez untuk memilih minuman yang akan dibelinya siang ini. Laki-laki itu menutup kulkas pendingin dengan tanaga lebih besar dari biasanya. Ia membuah seluruh perhatian kini tertuju pada dirinya. Rahang tegasnya kian mengerat ketika seseorang memanggil namanya dengan nada meremehkan dan mengejek.
Laki-laki itu menyugar rambutnya kebelakang. Langkah kakinya pelan namun lebar. Ia menyusul kea rah pojok belakang kantin dimana di tempat yang minim Cahaya itu dihuni oleh banyak pasukan anak kelas MIPA. Damarez menghampiri seseorang yang berdiri menghadap dirinya sambil tersenyum. Senyuman yang membuatnya sangat muak. Damarez membuang ludah, bermaksud menghina dan membalas apa yang disuguhkan Devara pada dirinya.
"Maksud lo apa manggil-manggil gue?"
Damarez mencekek leher laki-laki itu. Seringaian khasnya kembali terbit menghiasi wajahnya. Wajah Devara mulai memerah laki-laki itu masih berusaha membiarkan matanya terbuka agar tak terkesan kalah. Devara menahan tangan Damarez agar tak mengeratkan kekuatan tangannya. Seseorang mendorong bagian leher belakang hingga kepala Damarez dengan cepat hingga menimbulkan perlonjakan pergerakan. Damarez hampir tersungkur. Devara sempat terbatuk-batuk akibat ulah Damarez.
"Bangsat!"
Damarez kembali mencekek laki-laki yang mendorong dirinya tadi. Ia mencengkram bagian pipi laki-laki itu lalu melepaskannya ketika Devara kembali memanggilnya. "Bringas banget lo. Kami belum ada ngomong apa-apa udah main kasar," sindir Baladhika.
Damarez menatap satu persatu dari mereka dengan tatapan menyala bak bara api yang membara. "Sampah!" makinya, kemudian pergi meninggalkan kerumuman tersebut. Harusnya ia tahu bahwa Devara hanya ingin memancing emosinya agar pikiran Damarez menjadi gelap.
"Gue mau ajak lo tanding basker. Sore ini,." Suara Devara terdengar tegas dan mengancam. Damarez menghentikan langkahnya. Otaknya kembali memperoses, ia tak bisa memenuhi tantangan itu karena sudah memiliki agenda kegiatan sore ini.
"Kenapa diem? Takut kalah aja atau takut kalah telak?" tanya Baladhika diiringi suara gelak tawa seluruh anak MIPA yang berteman dengan Devara.
Damarez tak punya jawaban. Ia tak bisa menolak demi gengsi dan harga dirinya. "Gue bikin penawaran. Hari lain, jangan hari ini," ujar Damarez sambil memalingkan wajah.
"Takut bro?! HAHAH! Lo sama anak buah lo pada letoy! Lo boleh jago di lapangan tapi kalau Cuma lo yang jago, gak akan bisa ngalahin tim gue."
Damarez kembali mengcengkram kerah baju Devara. "Mau lo apa, bangsat?! Dapet apa gue kalau gue menang?!" tanya Damarez. Laki-laki itu menghempaskan tangan Damarez secara kasar. Devara menjentikkan jari, setelah itu, beberapa Perempuan berdatangan sambil mengarahkan kamera ponsel pada mereka. Semua hal tadi sudah terekam dan tersimpan. Damarez tersenyum miring sambil mengusap hidungnya. Tak habis pikir dengan kelakukan Devara yang terkesan haus perhatian.