Pevita duduk di pinggir kasur dengan satu kakinya yang bergerak-gerak, menunjukkan ia sedang berpikir.
"Ini gue lagi mimpi atau gimana sih?" Pevita sekali lagi memandang ke arah cermin.
Gadis yang ia lihat di depan cermin itu bukan wajah dan tubuh miliknya. Pevita memiliki tubuh tinggi semampai, berkulit kuning langsat natural, dengan rambut hitam yang lurus, serta warna netra mata yang coklat gelap. Meskipun begitu wajahnya terlihat manis dengan lesung pipi di sebelah kanan.
Tapi saat ini di pantulan cermin, yang ia lihat adalah gadis dengan tubuh yang tak terlalu tinggi kira-kira 157 cm, berkulit putih cerah dengan rambut coklat gelap yang sedikit bergelombang. Lalu wajahnya terlihat imut dan cantik, dengan warna netra mata hazel. Penampilan gadis ini jauh berbeda darinya.
"Oke fix gue lagi lucid dream." Ucapnya yang terlihat yakin, "Keknya gue harus baring sekali lagi terus nunggu sampe gue bangun lagi."
Pevita lalu kembali membaringkan tubuhnya di atas kasur, menyelimuti diri, lalu menutup matanya.
Lalu beberapa menit kemudian, saat Pevita membuka mata, ia masih berada di tempat yang sama.
"Haishh... Kok masih di sini sih?!" Kesal Pevita yang terdengar mulai sedikit panik, "Mana kelas hari ini kelasnya Bu Farida, gue ogah banget lagi kena omelannya."
Pevita lalu menggerakkan jarinya untuk mencubit dirinya sendiri, "Ssshhh... Sakit njirr." Keluhnya sambil mengelus pahanya yang ia cubit.
Kemudian muncul sebuah ide gila di kepalanya. Sepertinya ia harus melakukan hal ekstrem, yang menjadi pemicu agar dirinya terbangun dari lucid dream ini.
Pevita bangkit dari kasur, lalu perlahan menuju balkon kamar. Hembusan angin dari arah luar langsung menerpa kulit Pevita hingga membuat gadis itu kedingingan, terlebih ia memakai pakaian tidur yang tipis.
"Tinggi banget lagi." Ucapnya setelah menengok ke bawah, melihat jarak balkon kamarnya dengan lantai dasar. Rasa takut mulai menguasai dirinya dan hendak mengurungkan niat.
Tapi Pevita membulatkan tekad. Jika dia berdiam diri saja, bisa-bisa ia terlambat masuk kelas karena terlalu nyaman dengan lucid dream ini.
Perlahan gadis itu manjat ke sisi balkon, ia terdiam sejenak, mengambil napas berulang kali untuk menenangkan diri karena hormon adrenalinnya meningkat.
"Oke... satu...dua...ti--"
"GEMINI!"
"Eh monyet! monyet!" Gadis itu terkejut sambil berpegangan erat pada sisi balkon. Jantungnya berdegup kencang karena hampir saja terjatuh disaat dirinya belum siap.
"Kampret! Siapa sih yang ngagetin gua!" Teriak Pevita kesal sambil menoleh ke arah pintu kamar. Disana berdiri laki-laki menyebalkan tadi, lalu seorang pria dan wanita paruh baya, serta seorang yang berpenampilan seperti pembantu.
"Kamu ngapain di sana?! Sini kamu!" Perintah pria itu dengan wajah yang terlihat marah.
Pevita tersentak mendengar bentakan pria itu, tetapi ia sama sekali bergeming dari tempatnya.
"Arga. Tarik adik kamu ke sini." Perintah pria itu lagi.
Laki-laki yang disebut Arga itu bergerak cepat mendekat ke arah Pevita. Gadis itu ingin lari, lalu dengan segenap tekad yang belum kuat, Pevita melepas pegangannya dan melompat turun ke bawah.
Gadis itu menutup matanya kuat-kuat, hingga beberapa saat ia merasa tubuhnya tertarik ke atas. Lalu saat ia membuka mata, ia baru menyadari bahwa pergelangan tangannya di genggam erat oleh Arga dan sedang menariknya ke atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pevita
Science Fiction#Transmigrasi Story *** Pevita ingat betul kalau namanya adalah Pevita Lintang Pratiwi. Tapi... Kenapa orang memanggilnya Gemini Pevita Wilson? Pevita tidak habis pikir, hidupnya serba mendadak. Mendadak jadi orang kaya raya. Mendadak punya saudara...