03

90 11 2
                                    


Pagi-pagi sekali aku di bangunkan, para dayang berkutat di dapur memasak untuk sarapan sang pangeran. Aku hanya membantu sedikit, jujur saja aku tak pernah memasak.

Jika aku yang turun tangan, aku yakin yang ada nanti malah pangeran keracunan makanan. Selain itu juga ada Nyi Darmi yang sedari tadi sibuk mencicipi serta memastikan makanan yang akan di hidangkan untuk pangeran rasanya enak dan bebas dari racun. Menurut informasi yang ku dapat dari Ayu, Nyi Darmi sudah bekerja di istana sedari pangeran masih anak-anak. Ia di tunjuk langsung oleh pangeran sebagai kepala dayang.

"Arum kamu bantu menghidangkan makanan ini untuk pangeran"

Aku mengangguk, segera membantu Ayu membawa nampan-nampan berisi makanan. Ini kali pertama aku akan melihat pangeran, aku penasaran seperti apa rupanya.

Berbeda dengan Ayu, aku kebanyakan melakukan pekerjaan di belakang. Mengantar makanan ataupun mencuci baju bukanlah tugasku, ini hanya sementara. Selama Ningsih pulang kampung.

Berjalan memasuki area pendopo utama, tempat yang sering di kunjungi pangeran. Aku berjalan tepat di belakang Ayu. Di sana pangeran sudah duduk manis di depan meja, aku tak bisa melihat rupanya dengan jelas karena tertutup Ayu di depanku.

Satu persatu mulai meletakkan makanan di meja, sekarang giliranku. Aku meletakkannya dengan hati-hati, selesai.
Aku mengangkat sedikit kepalaku. Tersentak kecil kala melihat sepasang mata menatapku tajam seolah olah bisa melubangi kepalaku.

Aku tercekat. Sebenarnya aku sudah menduganya, tapi mengetahuinya secara langsung begini tetap saja mengagetkan. Yaa... laki-laki yang ku temui kemarin malam adalah pangeran Jayanegara.

Aku mengabaikan tatapan tajamnya, berjalan mundur dan berdiri tepat di samping Ayu.

Memang sudah menjadi etika dasar, pelayan atau dayang akan menunggu tuan mereka selesai makan lalu membereskannya.

Pangeran Jayanegara sudah tak menatapku lagi, ia mulai makan dengan tenang. Raut wajahnya datar, tipe-tipe orang yang sulit di tebak jalan pikirannya.

"Tuangkan aku segelas air"

Ku lihat dayang di sebelahku maju, tangannya terlihat gemetar, ia memang dayang baru sama sepertiku. Mungkin karena gugup, tangannya tak sengaja menyenggol mangkuk berisi sup berkuah, airnya terciprat sedikit dan mengenai pakaian pangeran.

"Ma-maafkan hamba pangeran, hamba tidak sengaja"

Dayang tadi langsung berlutut meminta pengampuan, tangannya yang gemetar semakin jadi-jadi. Tremor.

"Sudahlah, tidak apa"

"Kesalahanmu tidak ada apa-apanya di banding seorang dayang cabul yang kemarin mengendap-endap masuk ke tempat pemandianku"

Dia melirik sekilas ke arahku, seraya tersenyum mengejek.

Uhuk.

Jayanegara: Discovering the untoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang