Siapa yang malam mingguannya di rumah cunggg!!!Aku sama bini😂😂😂😂 diluaran lagi ada acara Halloween ruameee bangett.
Tapi aku masih pengen update. Jadi mayanlah ya buat hibur yg jombloo😂😂😌😌🤭🤭
Happy reading! Met malem minggu!
Si bapak mukanya celius amat Pakkk
Tapi tentu saja Freen tidak bisa dibully.
Orang sebelum Becky datang hampiri, yang dicari selalu pergi, hilang, atau mengunci diri dalam studio sakral ala gue semedi.
Tidak ada yang bisa menebak sikap Freen. Bahkan yang serumahnya sekalipun. Buktinya, selama dua bulan ini saja.
Yang Becky rasakan hidup dengannya, hanyalah seperti seorang roommate dengan kata Sah di atas selebaran surat resmi.
Karena pada kenyataan, Freen betulan menganggap dirinya bayi baru lahir. Yang kalau merengek dikasih cemilan atau susu biar diam.
Atau cuman mengangguk dan bicara seadanya saat ia bertanya.
Ck. Dia memang kaku sekaliii! Kayak orang yang tidak pernah merasakan hidup. Bahkan siklus harinya seperti robot yang telah disetting untuk melakukan hal yang sama setiap harinya.
Meskipun disetiap harinya bakal berbeda mood. Contohnya saja seperti hari ini;
“Kamu kelihatan menganggur.” Freen baru saja balik dari studio lantai satu. Dan kembali ke lantai atas—menemukan Becky di tempat yang sama persis dimana ia terakhir memandangi. Seolah tidak bergerak dan mungkin telah menempel pada ayunan—mainan baru yang dibelinya minggu lalu itu—tentu saja bermerk Ikea yang mahal itu.
“Hah?” Becky yang sejak tadi baca buku Novel, tidak fokus dengan apa yang baru saja dikatakan oleh orang yang paling sibuk di rumah ini—sibuk sendiri.
“Kamu tidak ada kerjaan?” Freen mengulangi. Menatap Becky yang seperti gumpalan kucing berselimut dalam nyaman ayunannya.
“Iya, memang. Makanya aku cuman baca buku. Memang kenapa? Kakak lapar?” jam berapa ini? Becky melirik pada jam dinding yang tunjukkan pukul empat sore. Tidak terasa, pantas saja bokongnya jadi kebas.
Ia perlu keluar dari nyaman duduknya. Itu kenapa ia mencoba berdiri tapi malah jatuh terjungkal hingga dahi mencium lantai kayu, yang buat Freen—sontak teriak dan kaget.
“Hei!” Freen dengan cepat menggapai tubuh lemah Becky yang kini merengek kesakitan. Biasanya sih, dia bakal nangis. Tapi karena hidup dengannya selalu menangis dan ia makin mengomeli. Becky jadi tidak begitu cengeng.
“Kenapa kamu tidak hati-hati?!” ia tidak bermaksud keluarkan nada keras. Namun panik dan khawatir jelas membuat reflek demikian. Meskipun ia tahu, mungkin orang lain bakal salah paham dengan kelakuan seperti ini.
“Heh, sakit.” Becky memegangi dahinya yang terasa memar, kakinya terlilit diantara selimut dan entah terlempar kemana buku yang belum selesai dibacanya itu.
“Kenapa kau sangat ceroboh.” Kalau boleh Freen akan terus mengomel tanpa henti. Tapi melihat titik air mata dan bibir turun ke bawah. Ia jadi tidak tega.
Melainkan memilih diam lalu bantu si bayi melepaskan diri dari selimut yang melilit hampir setengah tubuh mungilnya ini.
“Bisa berdiri tidak?”
“Bisa.” Bilangnya sih, bisa. Tapi pada akhirnya menggapai kedua lengan Freen untuk tegakkan badannya.
“Kamu itu terlalu lama diposisi yang sama. Makannya sampai bisa jatuh.”
“Iya, Pak. Aku yang salah.” Aku memang selalu salah. Daripada berdebat sama yang tua, Becky mending membenarkan saja.
“Lagipula tidak ada kerjaan sekali kamu ini. Sepanjang hari baca buku di tempat yang sama. Apa kuliahmu tidak sibuk?” sudah berapa hari Becky mulai tidak sibuk? Freen bahkan jarang mengantarnya berangkat kuliah karena dia bilang akan ada di rumah. Untuk apa? Ia tidak bertanya dan pilih langsung pergi kerja.
“Aku akan wisuda dua bulan lagi. Kalau aku masih sibuk berarti aku akan pergi ke Inggris untuk S2-ku.” Kakinya masih kesemutan dan dahinya terasa berdenyut. Becky ingin duduk lagi tapi Freen kembali bicara yang buat ia memegang lengan baju panjang si lebih tua.
“Kau akan keluar negeri?” dia akan pergi?
Sorot mata datarnya sedikit turun. Alisnya bertaut dengan mata bergerak-gerak tampak kebingungan. Dia mau pergi?
“Iya, itu kalau. Masih menjadi rencana.” Kedua orang tuanya setuju kalau Becky masih bisa bepergian kemanapun ia suka walaupun sudah menikah. Jelas mendukung keputusan sang anak untuk tetap lanjutkan sekolah dan menikmati umur mudanya.
Menikah hanyalah dalih agar si anak bayi mereka terikat dengan yang ‘punya’ alias Freen, untuk tetap hidup dan sehat demi ketenangan hidup kedua orang tua.
Freen tiba-tiba merengut dengan perasaan tidak suka. Tapi ia berdeham kecil untuk bicara, “kau takkan bisa survive hidup sendirian di luar negeri. Menghangatkan ayam dalam microwave saja sampai meletus.”
“Dibahas lagi!” karena entah untuk yang keberapa kali. Insiden aneh dan konyol plus memalukan bagi martabat keperempuanannya. Freen selalu menyelipkan kata hina, yaitu dengan ingatkan kesalahan yang ia buat.
“Itu fakta. Kamu jangan menyangkal. Lagipula kau memang ceroboh dan belum mampu untuk hidup sendiri. Apalagi di negeri orang.” Freen ingin menimpali dengan banyak hal, seperti semua kesalahan yang Becky lakukan untuk diingat bahwa dia memang tak bisa hidup sendiri.
Entah karena ia memang memberi fakta, ataukah kesal yang kini bergemuruh di dada dengan tidak jelas pada pikirannya.
“Kakak, nantangin, ya! Awas saja kalau aku betulan bisa survive. Aku lempar topi togaku ke mukamu.” Ini manusia memang bisanya memojokkan dengan hal tidak baik dan meremehkan dirinya. Becky merasa tidak suka sekaligus tertantang oleh omongannya. Awas saja!
“Silakan.” Freen mengeratkan rahang sebelum balik badan. Lalu masuk kamarnya dengan langkah menggedor-gedor lantai. Galak dan kasar.
Beserta, brag! Suara pintu yang ditutup dengan keras.
Melupakan tujuan pertama ia ingin bertanya tentang makan malam. Malah jadi mengurung diri tanpa ingin keluar, bahkan sampai esok pagi menghilang.
Freen bagai manusia yang terbawa angin. Tak ada jejak. Hanya motornya yang tidak berada di parkiran.
Yang buat Becky tahu, kalau si Tua itu pergi tanpa pamit ataupun bertanya ia bakal ke kampus tidak pagi ini.
“Kebiasaan.” Kebiasaan suka menghilang tanpa bilang. Paling tidak, Freen kadangkala menempel sticky note di atas kulkas kalau dia pergi bekerja sampai malam atau keluar kota. Namun hari ini tanpa catatan.
Si yang lebih tua itu bertindak sesuka hati lagi.
Oh, iya. Mungkin dia kesal karena tiap kali Becky ingin buktikan kalau ia mampu, Freen tiba-tiba mundur dari hadapannya lalu turun ke bawah.
Tidak tahu saja. Kalau yang Freen rasakan saat Becky mampu melakukan sendiri. Itu artinya ia sudah menaruh kepercayaan.
Tapi kali ini, bukan seperti biasanya, Freen malah merasa tak suka, lebih dari tak senang akan bagaimana pikiran Becky, kalau gadis itu mampu hidup sendiri—tanpa dirinya.