“Heh! Itu masih ada pakaian kotor di keranjang.”
Namaku Anjani. Bukan Heh. Tapi perempuan yang melahirkanku ini lebih suka memanggilku heh, hei, atau semacamnya. Memanggil namaku mungkin bisa membuatnya merinding sehingga tak bersedia melakukannya.
Aku mengunci kamarku, memperbaiki posisi tas ranselku, lalu mengangguk. “Nanti malam aku lanjutin, Ma.”
Jika orang lain bisa bersantai sebelum berangkat kuliah, itu tidak berlaku untukku. Di pagi buta, aku harus bangun memasak sarapan untuk Papa tiri dan adikku, sekaligus makan siang yang bisa dipanaskan nanti. Lanjut membersihkan seisi rumah dan terakhir mencuci pakaian. Bukan hanya pakaianku, tapi seluruh anggota keluarga.
Bagaimana dengan perempuan yang kupanggil Mama?
Dia adalah Nyonya di rumah ini. Walau tak bekerja dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, Mama tidak akan menyentuh segala hal yang membuat tangannya kotor.
Kenapa?
Karena ada aku. Aku adalah orang yang paling pas dijadikannya pesuruh.
“Ya udah, jangan sampe lupa. Baju kotor kalau enggak langsung dicuci, bisa jadi sarang kuman.”
“Iya, Ma.”
Tidak ada salam, tidak ada kata ‘hati-hati di jalan’, dan tidak ada uang jajan. Mama langsung melenggang meninggalkanku. Sakit hati? Tidak sama sekali. Dulu, memang iya. Tapi sekarang, aku sudah lebih dari kata kebal.
Entah sejak kapan, aku tidak lagi berharap kasih sayang datang dari mamaku. Saat ini, aku hanya berharap waktu cepat berlalu, lulus, mencari pekerjaan, dan keluar dari rumah ini.
Aku berhasil sampai di kelas sebelum dosennya masuk. Padahal aku terlambat sekitar 20 menitan. Olivia yang duduk di bangku pojok kanan melambaikan tangannya padaku dengan senyum lebar.
“Bu Risma kenapa belum dateng?” tanyaku saat duduk di sebelah Olivia.
Masih dengan senyum di wajahnya menjawab, “Nunggu lo kali.”
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
Olivia menarik beberapa lembar tisu yang ada di mejanya lalu menyerahkannya padaku. “Jan, keringat lo banyak banget.”
“Thanks.” Aku menerimanya dan menyeka bulir-bulir keringat di wajah dan leherku. Ini efek saat aku berlari tadi.
“Banyak kerjaan ya di rumah?” Olivia bertanya dengan suara pelan.
Aku tersenyum lagi lalu mengangguk.
Olivia satu-satunya yang tahu bagaimana kehidupanku di rumah. Karena itu, selama saling mengenal Olivia banyak membantuku. Tapi segala bantuannya, tidak pernah membuatku merasa terhina atau rendah diri.
Salah satu yang paling membantuku adalah memberiku pekerjaan. Aku bekerja di kafe milik kakak perempuan Olivia dan itulah yang membuatku bisa bertahan hingga saat ini.
Gajiku selama bekerja di sana kugunakan untuk keperluan sehari-hari, makan, transportasi, dan keperluan belajar. Sementara uang kuliah, untungnya Mama masih sudi membiayaiku. Tapi itu pun dengan catatan, setelah mendapatkan pekerjaan tetap, aku harus mengganti semua biaya yang dia keluarkan untuk kuliahku.
Miris, kan?
Ajaibnya, aku tidak pernah terpikir bunuh diri karena lelah menjalani hidup. Aku masih sanggup.
Jika dilihat dari sudut pandang Mama, mungkin akan ada yang memaklumi perlakuannya padaku dan bahkan prihatin. Karena ketidakpeduliannya padaku, ada sebab di baliknya.
Aku adalah anak yang lahir dari sebuah kesalahan satu malam. Saat Mama mengaku hamil, laki-laki itu bertanggung jawab dan menikahi Mama. Tapi nyatanya, dia tak sepenuhnya bertanggung jawab.
Setelah aku cukup setahun, tiba-tiba dia menghilang tanpa kabar. Bahkan keluarganya pergi entah ke mana. Seakan memang merencakan pelariannya sejak awal.
Sebenarnya, kehadiranku memang tak terlalu diinginkan Mama dan semakin menjadi ketika laki-laki itu meninggalkannya. Aku yang bahkan belum bisa bicara dengan jelas, berubah jadi wadah tempat meluapkan kekesalan dan kekecewaannya.
Karena kehadiranku, hidup Mama hancur. Begitulah aku di matanya.
Emosinya baru mulai membaik ketika Mama menikah lagi. Hidupnya jadi lebih baik, ditambah dengan kehadiran buah hati yang memang diinginkan. Tidak sepertiku. Perbedaan kasih sayang antara aku dan adikku terlalu kentara.
Di rumah, dia bak putri kerajaan yang dimanja dan terus dilimpahkan cinta. Sedangkan aku? Upik abu yang hanya bisa melihat pemandangan keluarga bahagia dari tumpukan cucian kotor.
“Jan, gue bawa apel. Satu buat gue, satu buat lo.” Aku menerima apel dari Olivia dan langsung menggigitnya. Olivia tahu aku tidak pernah sarapan, karena itu sesekali dia membawa bekal atau buah dan membaginya denganku.
Sambil mengunyah apelnya, Olivia berkata, “Gue doain, lo bisa cepat-cepat keluar dari rumah itu.”
Aku mengangguk. Itu adalal doaku selama ini.
Tinggal lebih lama di rumah itu hanya akan menghancurkanku perlahan dari dalam. Salah sedikit, bisa-bisa aku gila atau berakhir menjatuhkan diri dari gedung tinggi.
Aku bukannya tidak pernah memikirkan cara agar bisa keluar dari rumah. Tapi tidak ada yang berhasil.
Tinggal di kosan dan hidup dari gaji 2.5juta perbulan? Mustahil. Kemungkinan Mama akan berhenti membiayai kuliahku dan berakhir aku yang harus banting tulang. Terlalu berisiko.
Kabur dari rumah, berhenti kuliah, dan mencari pekerjaan baru di tempat lain? Itu hanya akan menyulitkanku di kemudian hari. Awalnya aku memang tenang dan merasa bebas, tapi siapa yang tahu ke depannya?
Bahkan, aku pernah terpikir untuk menikah agar bisa keluar dari rumah. Namun lagi-lagi kuurungkan. Bukan karena aku, tapi seniorku di kampus itu yang tidak mau.
Dia mengaku menyukaiku dan ingin menjalin hubungan, tapi aku menawarkannya untuk langsung menikahiku. Jawabannya? Dia belum siap dan akhirnya berhenti mendekatiku.
Kuakui, aku memang gila kala itu.
Tapi jujur, aku rela melakukannya demi bisa keluar dari rumah yang mirip neraka itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiba-tiba Menikah (Preview)
Romance[Novelet] Dua manusia yang tidak percaya akan cinta, terikat pada sebuah kontrak pernikahan. Yang satu menawarkan kontrak demi keluar dari rumah yang mirip neraka. Sedangkan yang satunya lagi, menerima tawaran agar mamanya berhenti mengenalkannya pa...