Meski giliran shift-ku masih beberapa jam lagi, biasanya aku tetap ke kafe setelah kuliah. Karena aku tidak punya tujuan lain. Ke tempat lain pun untuk apa jika menghambur-hamburkan uang?
Kebetulan, hari ini Olivia memilih ikut denganku. Katanya, dia bosan jika langsung pulang ke rumah dan sekalian ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengan kakaknya.
Saat aku masuk, kedua mataku secara otomatis memindai seisi kafe. Hanya ada dua kursi yang terisi dan itu pun saling berjauhan. Olivia berlari kecil menuju salah satu meja, tak jauh dari meja yang di tempati oleh seorang perempuan dan laki-laki.
Aku mengikutinya dan duduk di sana. Olivia menaruh tasnya lalu pamit padaku untuk mengambil minuman yang sebelumnya telah dia titip pada kakaknya saat di perjalanan.
Aku mengeluarkan ponselku dan berpura-pura sibuk karena samar-samar aku mendengar percakapan dua orang yang duduk di belakangku. Untungnya, Olivia kembali tidak lama kemudian.
“Jan, gue yang traktir.” Olivia menaruh minuman rasa matcha di hadapanku.
“Gue enggak mesen, Liv.”
“Yang namanya traktir emang enggak minta, Jan. Udah minum aja.” Olivia menyeruput minumannya, namun masih berdiri di hadapanku. Sepertinya masih ada yang ingin dia katakan.
“Jan, enggak apa-apa kan gue tinggal bentar? Ada yang mau gue omongin sama kakak gue.”
Aku mengangguk lalu mengangkat minumanku. “Lagian lo udah nyogok gue.”
Olivia mencibir. “Bentar doang, Jan. Tunggu, ya,” pamitnya lalu buru-buru melesat meninggalkanku.
Sepeninggal Olivia, telingaku kembali terfokus pada suara dua orang di belakangku. Kurasa suara mereka juga meninggi. Makanya yang kudengar bukan lagi samar-samar, namun jadi cukup jelas.
“Saya juga bukannya terima-terima aja dikenalin sama kamu, tapi saya nganggap pilihan orangtua saya yang terbaik. Jadi mau enggak mau, suka enggak suka, senggaknya kita coba untuk saling kenal.” Suara perempuan itu tetap tenang.
“Coba?” Laki-laki itu mendengus. “Kamu pikir orangtua kita berpikiran sama? Sekali kamu melangkah lebih dari ini, orangtua kamu ataupun saya akan anggap kita siap ke jenjang yang lebih serius.”
“Dan saya enggak mau itu,” tambah laki-laki itu.
“Kenapa? Saya kurang apa?”
Ada jeda sebelum suara laki-laki itu kembali terdengar. “Kamu percaya cinta?”
Aku mengangkat pandangan dari layar ponsel. Menatap ke depan dan menunggu kelanjutan percakapan mereka.
“Itu enggak menjawab pertanyaan sa—”
“Saya ulangi. Kamu percaya cinta?” potong laki-laki itu.
“Enggak,” ucapku teramat pelan. Bahkan orang yang seandainya duduk di depanku, tidak akan mendengarnya.
“Percaya,” jawab perempuan itu.
“Saya enggak,” kata laki-laki itu. “Saya enggak percaya sama yang namanya cinta apalagi sampai punya keinginan menikah. Bukan karena saya melihat ada yang kurang dari kamu.”
Dia … laki-laki itu, mewakili perasaanku. Bagiku, cinta itu omong kosong.
Cinta yang selama ini kulihat adalah halusinasi. Kedua orangtuaku yang katanya dibutakan oleh cinta, berakhir tragis dengan aku menjadi korbannya. Cinta antara Mama dan papa tiriku … entahlah, apa aku bisa menyebut itu cinta. Karena alasan mendasar Mama mau menikah, karena dia mapan.
Mama bahkan tidak malu haha-hihi dengan laki-laki lain melalui telepon ketika papa tiriku sedang bekerja. Kalaupun memang ada cinta di antara mereka, itu hanya sebatas pernah.
“Sendiri bikin saya jauh lebih bahagia. Jadi, cukup sampai di sini,” lanjut laki-laki itu.
Tiba-tiba terdengar derit kursi yang didorong kasar. Lalu perempuan itu berjalan cepat melewati mejaku. Tanpa sadar, aku menatap punggungnya hingga ia menghilang dari balik pintu.
Tidak berselang lama, seorang wanita paruh baya masuk ke kafe. Pandangannya langsung terarah pada seseorang di belakangku. Tepatnya, mungkin laki-laki itu. Dan benar. Dengan heels putih tulangnya, wanita paruh baya itu menghampiri laki-laki itu.
“Emir, sekarang apa lagi alasan kamu?” desis wanita paruh baya itu.
“Ma, dari awal kan aku bilang enggak suka sama dia.”
Jawaban yang berbanding terbalik dengan apa yang dikatakannya pada perempuan sebelumnya. Aku mengernyit lalu memejamkan mata. Apa yang aku lakukan? Tanpa sadar aku terus menguping percakapan mereka yang ada di belakangku.
“Butuh berapa banyak lagi hati perempuan yang kamu sakitin?” Suaranya pelan, namun tegas.
“Aku enggak mau, Ma. Aku enggak suka sama dia. Kalaupun aku ada di sini sekarang, curi-curi waktu keluar dari kantor, itu karena aku terpaksa, Ma. Bukan karena aku bersedia punya hubungan serius sama dia.”
“Emir, kamu tau kan tahun depan adik kamu mau nikah?”
“Jangan jadiin pernikahan Mily alasan untuk desak aku ikut-ikutan nikah, Ma.”
Perlahan, kedua mataku terbuka. Kurasa, bukan tanpa alasan Olivia memilih posisi meja hari ini. Ada takdir yang sepertinya telah menungguku.
“Kamu pikir kenapa Mama enggak khawatir sama kamu? Sekali pun, kamu enggak pernah kenalin sama perempuan yang kamu panggil pacar.”
Sedikit banyak, aku mulai mengerti apa yang terjadi antara ketiga orang itu. Jantungku memompa lebih cepat setelah berbagai pemikiran muncul di kepalaku.
“Mama tenang aja. Aku masih normal, bukan gay.”
“Emir!”
“Aku serius, Ma.”
Hening panjang sebelum wanita paruh baya itu menghela napas. “Kita lanjutin nanti malam. Mama tunggu kamu di rumah.” Itu kalimat terakhir dan wanita paruh baya itu meninggalkan kafe.
Di balik pertengkaran ibu dan anak itu, aku melihat sebuah kesempatan.
Aku berdiri dari dudukku dan berbalik. Laki-laki ikut mendongak, menatapku. Dalam lima langkah, aku sudah berdiri di hadapannya. Namun mata kami tidak terputus. Aku tahu dan aku sadar tindakanku kali ini terlalu impulsif, tapi aku tidak bisa diam atau mundur.
“Ada apa, ya?” tanya laki-laki itu.
“Saya … saya mau nawarin pernikahan tanpa cinta,” kataku dalam satu tarikan napas.
Sebuah kesempatan agar aku bisa keluar dari rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiba-tiba Menikah (Preview)
Romansa[Novelet] Dua manusia yang tidak percaya akan cinta, terikat pada sebuah kontrak pernikahan. Yang satu menawarkan kontrak demi keluar dari rumah yang mirip neraka. Sedangkan yang satunya lagi, menerima tawaran agar mamanya berhenti mengenalkannya pa...