Chapter 2 : a Course

50.9K 3.8K 89
                                    

"Saya kira kamu nggak akan cari saya waktu itu," ujar Melisa sambil membawa dua cangkir teh manis dan salah satunya ia simpan di meja, di hadapan Prilly. "Diminum, Prill."

Prilly tersenyum simpul kemudian mengangguk. Ia mengambil salah satu cangkir, menyeruputnya sekali kemudian menatap langit-langit ruangan kantor milik Melisa. "Tante udah berapa lama terjun di Yayasan?"

"Kurang lebih sepuluh tahunan, awalnya dulu saya suka ikut gabung ke organisasi yang tekun di bidang sosial dan masyarakat. Dari jaman masih kuliah dulu emang suka aja jadi relawan setiap ada kesempatan selalu saya ambil buat bantu sesama, dan Alhamdulillah sampai sekarang udah bisa bangun yayasan sendiri." ungkapnya. Ditengah perbincangan ponsel yang ada di meja kerja wanita itu kemudian berdering, membuat Melisa menghela napas sebelum bangkit untuk menerima ponselnya. Siapa tahu penting. "Sebentar, ya. Ada telfon."

Prilly mengangguk dan memberi waktu untuk wanita itu mengangkat telpon. Prilly tadi sempat pesimis kalau ia tidak akan bertemu Melisa lagi hari ini, tapi untungnya wanita itu ada di kantor. Prilly memilih untuk langsung menghampiri wanita itu di kantor agar bisa lebih cepat bertemu.

"Haduh, bener-bener ini anak susah di atur. Kan udah saya bilang Pak, kalau Ali mau bawa motor sendiri jangan dikasih jalan. Dia bilang tadi mau pergi kemana?"

"..."

"Ya udah, deh kalau kaya gitu. Nanti biar saya telfon Ali. Makasih ya Pak,"

Setelah menutup telepon, ada gurat gelisah yang Prilly baca dari wanita itu. Melisa memijat kepalanya, seketika pening rasanya. Prilly dengan hati-hati bertanya. "Ada apa Tante, kalau boleh tau?"

Melisa menghela napas. Ia kemudian kembali duduk di hadapan Prilly sambil memainkan ponsel seperti sedang berusaha menghubungi seseorang. "Itu, Ali. Anak saya susah banget di atur. Udah mau masuk kuliah kalau kelakuannya gitu-gitu aja mau jadi apa coba dia, ntar? Heran saya,"

Jadi namanya Ali? Batin Prilly dalam hati. Prilly hanya tersenyum simpul dan memperhatikan Melisa yang berulang kali menempelkan ponselnya ke telinga namun berakhir dengan decakan kesal. "Tuh, kan. Durhaka banget masa nomor whatsapp Ibunya di blokir?"

Prilly mengerutkan dahinya, memang seperti dugaannya, Ali ini nakal. Ia berarti tidak salah memergoki anak itu hendak kabur dari rumah. Niat awal Prilly untuk mengadukan kelakuan Ali waktu itu gagal ketika Melisa kemudian menyimpan ponselnya dan menatap Prilly serius.

"Hmm, Prilly?" Melisa menyeruput teh manisnya sebentar sebelum melanjutkan. "Tadi kamu mau bilang mau daftar volunteer, kan?"

"Iya, tante. Gimana? Bisa? Buat asah skill saya juga, sih. Saya mau jadi volunteer buat ngajak anak-anak kecil di panti asuhan yang tante pegang."

Melisa mengangguk pelan. "Kalau bukan anak kecil yang kamu ajar, kira-kira gimana?"

Prilly menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga, berusaha memaknai kemana arah pembicaraan ini. "Kalo saya, sih nggak masalah tante. Lagipula bahasa inggris kan sifatnya umum, bisa dipelajari semua kalangan."

"Oh, No," Melisa menggeleng kemudian tersenyum. "Kamu nggak perlu mesti ngajar bahasa inggris, alias saya pengen kamu juga bisa bimbing di semua mata pelajaran. Dulu semasa SMA kamu ambil jurusan apa?"

"IPS tante,"

"Nah, bagus. Anak saya juga di jurusan IPS,"

Prilly berkedip. "Sebentar, maksudnya anak---"

"Oh iya, anak saya. Ali. Saya pengen kamu bantu saya bimbing dia. Semacam jadi guru les buat anak saya. Saya juga tentunya bakal ngasih bayaran, lumayan kan, bukannya kemarin juga kamu lagi cari kerja?"

PRIV[D]ATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang