Bab 2 : Elvis?

418 65 2
                                    

Happy reading!!
-
-
-
-
-

Cahaya matahari lembut menembus melalui kaca jendela, merayap ke dalam ruangan. Warna jingga yang hangat menyinari sebagian dinding kamar, kontras dengan dominasi warna putih ruangan, bahkan tempat tidur pun memiliki warna serupa.

Di bawah selimut, terdapat pergerakan samar yang mengisyaratkan keberadaan sebuah kehidupan. Sebuah tangan terkulai lemah di atas selimut, warnanya senada dengan sekitarnya, hampir pucat.

Bagi yang melihatnya, mereka akan meragukan apakah ia masih hidup.

Namun segala keraguan mereka akan terpatahkan saat melihat mata yang perlahan terbuka, menampakkan sepasang mata indah yang jarang ditemui oleh siapapun.

Mata indah itu mengedip beberapa kali, seolah membiasakan diri dengan cahaya terang di sekitarnya. Barulah setelah lima kali kedipan, ia mendapatkan kembali fokusnya.

Kepala bersurai hitam itu mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan bingung, mempertanyakan keberadaannya sendiri. Ketika tatapannya jatuh ke tangan pucat yang diinfus, ia tersentak kaget.

Gumaman pelan keluar dari bibir kecilnya, "Aku masih hidup?"

Tepat setelah gumamannya, ketukan pintu terdengar. Tanpa menunggu jawaban dari pemilik ruangan, pintu didorong terbuka dan seorang perawat bertubuh gemuk memasuki ruangan dengan langkah besar.

Saat mata perawat itu jatuh pada pasien yang kini tersadar, langkahnya mendekat tanpa ragu. Ia menyelidiki keadaannya dengan cepat sebelum akhirnya berbalik untuk memanggil dokter.

Dalam waktu singkat, dokter segera tiba. Setelah melakukan pemeriksaan singkat, dokter berjas putih itu mengajukan beberapa pertanyaan, "Anggukkan atau gelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan saya. Apakah Anda mengingat nama Anda?"

Pasien yang terbaring di tempat tidur, menggangguk lemah. Tentu saja ia sangat ingat dengan namanya sendiri.

"Lalu, apa Anda ingat insiden yang menimpa Anda?"

Sekali lagi sang pasien mengangguk. Tidak mungkin ia melupakan kejadian yang hampir merenggut nyawanya itu.

Setelah cukup bertanya dan memastikan pasien tidak mengalami amnesia, dokter berjas putih itu memberikan pesan terakhir sebelum beranjak pergi, "Jika Anda memerlukan sesuatu, tekan tombol yang ada di samping tempat tidur. Selamat beristirahat, Tuan Elvis."

Mata pasien yang baru saja akan tertutup, membelalak kaget. Dia menatap kepergian sang dokter dengan kosong dan bergumam pelan, "Elvis? Itu bukan namaku-"

Seakan mendapat firasat, tubuh pasien yang lemah tiba-tiba meloncat berdiri dan berlari ke kamar mandi. Infus yang ditarik paksa dari tangannya, meninggalkan jejak berdarah di setiap langkahnya.

Tujuannya adalah cermin.

Dengan terhuyung, ia berhasil tiba di depan cermin dan mendongak. Wajah muda menuju kedewasaan segera terpampang jelas di hadapannya.

Itu adalah wajah lembut dan polos yang belum tersentuh oleh kekejaman dunia. Bibirnya yang mungil, seolah terus mengukir senyum tipis. Pipi-pipinya sedikit tembam, menambahkan sentuhan kekanak-kanakan yang belum hilang.

Hanya dengan melihatnya sekilas, bisa langsung diketahui jika wajah di depannya adalah wajah yang sangat asing. Jelas bukan miliknya.

Namun, yang membuatnya semakin tertegun adalah mata indah yang saat ini balas menatapnya melalui cermin. Itu adalah warna mata yang sangat jarang ditemui oleh siapapun. Cantik namun misterius.

"Ternyata bocah ini juga punya mata berwarna ungu. Sangat kebetulan."

Ketenangan perlahan menguasai dirinya ketika mendapati mata familiar yang telah menemaninya selama dua puluh tahun kehidupan.

Dengan langkah mantap, ia kembali ke tempat tidur dan duduk, menyusun pikirannya seiring dengan irama napasnya.

Ingatannya jelas ketika pistol diarahkan tepat di dahinya. Dan setelahnya suara dengungan keras hampir membelah kepalanya, memecah ketegangan malam itu. Tidak ingat apa yang terjadi selanjutnya, tapi yang pasti ia kehilangan kesadaran.

Dan sekarang, ia menemukan dirinya bukan berada di surga ataupun neraka. Namun di tubuh seorang remaja yang diperkirakan berusia lima belas atau enam belas tahun.

Tentu saja ia pernah menonton sebuah film yang persis sama dengan kejadiannya saat ini. Berpindah ke raga orang lain. Tapi tidak pernah terpikirkan jika kejadian dalam film itu menjadi nyata. Bahkan menimpa dirinya.

"Siapa nama bocah ini tadi? Elvis?"

Terdiam sejenak sebelum mulutnya mengucapkan nama lengkap tanpa keraguan, "Alcesario Elviser Jourell."

Bukannya ia tahu atau mengenali nama bocah ini. Namun, sebuah nama melintas di otaknya secara tiba-tiba.

Sepertinya ingatan milik tubuh yang ditempatinya.

Baru saja ia akan membaringkan tubuhnya, pintu didorong terbuka tanpa peringatan. Mengetahui jika itu bukanlah dokter ataupun perawat, mata ungunya menyipit waspada.

Sosok pria tegap bersetelan formal segera muncul dalam pandangannya. Wajah tampan dengan fitur tajam dan penuh ketegasan terarah langsung pada sosok di tempat tidur. Matanya berhenti di sana beberapa detik sebelum beralih ke infus yang terlepas dan darah berceceran di lantai.

Keningnya berkerut dalam saat ia menekan tombol di samping tempat tidur.

Sembari menunggu kedatangan dokter, pria itu bersedekap dada dan dengan tajam mengajukan pertanyaan yang tidak dimengerti, "Kayanya sekarang Lo kecanduan masuk rumah sakit."

Gaya bahasa yang terasa asing membuat Cesario tertegun untuk beberapa saat. Sudah sangat lama sejak seseorang berbicara secara informal padanya.

Tentu saja, pria itu juga tidak berniat mendapat jawaban. Kata-katanya jelas dimaksudkan untuk mengejek.

Kaki panjangnya melangkah menuju sofa di ujung ruangan dan menjatuhkan tubuh atletisnya di sana. Dia mengambil hp-nya dan memainkannya tanpa memedulikan apapun, sepenuhnya mengabaikan tatapan tajam yang berasal dari mata ungu indah di atas tempat tidur.

Tidak lama, dokter berjas putih datang dengan langkah santainya. Hanya dalam sekali lihat, dokter ini berbeda dari dokter yang dilihat saat pertama kali bangun.

Santai namun berwibawa. Dua kata yang menggambarkan penampilan dokter itu.

"Dokter Richard udah meriksa Lo kan tadi? Terus ngapain Lo manggil lagi? Jangan pikir karena Lo ada di ruangan VVIP, Lo bisa seenaknya manggil dokter buat jadi suruhan," sapa dokter muda itu dengan nada malas dan sarkas.

Namun, reaksinya segera berubah saat melihat darah berceceran di lantai dan infus yang terlepas dari pasien. Dia mengumpat dan segera menangani semuanya dalam sepuluh menit, tanpa menyadari keberadaan orang lain di ruangan itu.

Setelah menyelesaikan tugasnya, dia mengusap keringat di dahinya dan memarahi, "Sial, kalau Lo pengen buat drama, lakuin itu di tempat lain. Jangan ngotorin tempat gue!"

Mata ungu Cesario melirik tajam, membalas dengan dingin, "Drama apa?"

Biasanya, mata ungu itu tidak berpengaruh apapun. Tapi kali ini, alam bawah sadarnya memberi peringatan. Namun, sebelum dia bisa merespons, suara ejekan lain datang, "Ga usah peduliin drama anehnya."

"Khanz, Lo ngapain di sini?" Dokter muda itu terkejut dan menoleh.

Pria bernama Khanz itu hanya mengangkat bahunya tak acuh. Dia kemudian bangkit berdiri, berjalan ke arah pintu sambil berkata, "Gue cuma mau mastiin kalau bocah ini masih hidup."

Setelah itu tanpa berucap apapun dia meninggalkan ruangan, menyisakan Cesario dan dokter muda itu sendirian.

"Dasar si muka datar," gumaman dokter muda itu secara tidak sengaja tertangkap oleh Cesario.

Cesario menebak jika hubungan kedua orang itu lebih dari orang asing atau bahkan kenalan. Tepat saat dokter itu hampir meninggalkan ruangan, suara yang menusuk ke tulang menghentikannya, "Kau, kemarilah! Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu."

_________________________

Vote & komennya ya!!!!

Have a good day!

Destiny And RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang