Lalu? (2)

45 14 4
                                    

"Gak perlu dijawab, digenggam saja ya? Kalau aku ingkar, kamu boleh hilang dari hidupku selamanya" Lanjutnya sambil mengacak rambutku.

"Tuhan.. Apa ini? Bukan sebuah kutukan lagi, kan?.." Gumamku dihadapan pria itu.

Pikiranku melanglang buana bersama dengan angin yang turut menyentuh rambut panjangku, ketakutan-ketakutan akan cinta terus menghantuiku bahkan tega membunuhku secara perlahan.

Pelukan hangatnya seolah pulang paling indah yang aku terima, "Beginikah istirahat? Beginikah rasa tenang?" Nyaman yang tidak pernah aku dapatkan justru kutemui lewat hangatnya pria ini menyapaku, tapi siapa? Siapa kamu?

"REIHANA"

"REIHANA"

"JAM BERAPA INI?! BISA BISANYA KAMU TIDUR JAM SEGINI, PIRING KOTOR GAK DICUCI. MAKANYA! KALO MALEM GAK USAH BEGADANG! KETETERAN KERJAAN RUMAH" Caci Ibu tiriku.

Ibuku ini berasal dari sebuah desa yang memang menganut budaya patriarki, beliau bahkan sampai saat ini masih memegang teguh budaya-budaya yang beliau percayai. Bahkan segala pamali pamali masih beliau panuti sampai dengan detik ini, maka tak heran kalau aku telat terbangun atau aku tidak sengaja tertidur di jam jam tertentu Ibu akan marah bahkan tak segan memukulku dengan apapun yang ada di tangannya.

Aku bangkit dari tidurku dan duduk sesegera mungkin dengan tanganku yang mengepal erat agar kuku jariku setidaknya mengenai telapak tanganku agar aku tidak menangis. Benar , ini adalah caraku untuk menahan air mataku. Kebetulan aku ini seorang anak yang memang sudah terbiasa dengan suara keras, entah itu nada bicara yang tinggi, suara pecahan barang, suara barang yang jatuh, dan lain lain. Tapi sialnya hal ini justru bukan membuatku terbiasa dengan suara-suara sialan itu, tapi justru membuatku semakin takut dengan dunia. Sebab aku berpikir kalau..

"Di rumah saja orang sejahat ini, lalu bagaimana jahatnya orang diluar sana, ya?" Gumamku dengan senyum miris yang menghiasi wajahku.

Orang itu, seketika aku mengingat orang itu disertai dengan hangat peluknya. Tapi tidak, aku tidak boleh ingat orang itu lagi, toh dia hanya orang asing, bahkan tadi hanya datang lewat mimpi.

"Huft Reganzza.. Reganzza. Kalo aja kamu ini bukan sekedar mimpi, pasti aku gak bakal semenderita ini, mungkin kalaupun capek, aku bisa ngerasain gimana hangatnya pelukan dari kamu, Za" Gumamku disertai hembusan nafas.

"maybe, just maybe.. in another universe, aku bisa ngerasain gimana rasanya dicintai dan disayang setulus itu, dipeluk sekuat itu dan ditenangkan dengan sesabar itu" Ucapku penuh harap.

"Za, kalo aku minta kamu jadi nyata, aku egois gak sih?" Aku menghela napas panjang dan.. menangis.

Kemudian aku menyadari sesuatu dan bergegas mengikat rambut panjangku yang basah akibat keringatku yang menyebalkan. Aku segera pergi ke dapur untuk mencuci piring kotor dan memasak makan malam untuk orang rumah malam ini, karena katanya akan ada tamu yang datang.

Pikiranku terus mengarah pada pria itu, membuatku kesal sendiri sebab bahkan aku saja tidak tahu dia siapa dan dari mana asalnya. Hanya saja tiba-tiba aku mengenalnya sebagai Reganzza, yang entah apa maknanya. Tapi dia terlihat seperti sosok yang tenang, kuat dan sabar. Sebab aku seperti melihat batu karang disana, tidak hancur bahkan karena badai sekalipun.

Sosok itu terus menghantui kepalaku, ia dengan tenangnya mendominasi pikiranku.

"Argh, apa apaan ini. tiba-tiba kaya orang jatuh cinta aja" Kesalku

"Please otak please, stop pikirin Reganzza Reganzza itu. Lagian kenapa coba dateng ke mimpi, gantle dikit lah dateng ke dunia nyata gitu" Ucapku pada diriku sendiri. Dan melanjutkan pekerjaanku.

REGANZZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang