Sebuah nasihat (7)

21 9 1
                                    

Hari semakin sore, dan pikiranku masih terarah pada perempuan yang kupeluk erat dalam anganku.

"Chris, kalo ternyata cewek itu beneran hidup.. Menurutmu aku bisa jatuh cinta dengan dia gak?" Tanyaku memecah keheningan.

"Bisa, Za. Asal kamu seutuhnya udah usai dan damai dengan masalalu kamu sendiri" Jawab Christian mantap.

"Kenapa jawaban kalian selalu terarah ke masalalu? Masanya sudah selesai sejak tahun lalu" Keluhku.

"Sebab kamu tidak akan bisa mendapat cinta yang tulus ketika kamu masih terjebak dalam rasa sakit masalalu" Jawab Ario enteng.

Setelah apa yang Ario katakan, aku menyadari sesuatu, atas pahitnya masalaluku aku harus memaafkan hal itu, terkait kebohongan dan perselingkuhan yang terjadi disana, sebab aku harus tetap melanjutkan hidupku dengan cinta yang baru.

Aku mengangguk mengerti mendapat jawaban dari Ario.

***

Kami berempat menikmati suasana sore ini sambil menunggu sunset dengan merebahkan diri di tepi pantai, ditemani suara-suara candu deburan ombak yang tenang, serta ditemani suara-suara merdu burung diatas pohon.

"Kapan ya kita bisa kesini bawa pasangan?" Tanya Joshua yang dibalas kekehan dari kami semua.

"Halah, kayak punya pacar aja" Jawab Ario menyepelekan.

Suasana kembali hening, mungkin mereka sedang membayangkan perempuan mana yang akan mereka pilih untuk diajak kemari beberapa tahun mendatang.

"Kita sebentar lagi lulus" Ucapku membuka suara.

Semua menoleh ke arahku dan memalingkannya begitu saja.

"Benar" Jawab Ario singkat.

"Nanti kita akan sulit seperti ini lagi ya" Jawab Christian sambil melipat tangan.

"Aku akan pindah ke Jakarta" Ucap Joshua.

"Kamu mau lanjut kuliah, Jo?" Tanya Ario.

"Enggak, Bapak pindah tugas ke Jakarta, jadi aku dan keluarga harus ikut Bapak" Jawab Joshua setengah berkaca-kaca.

Aku tersenyum pahit mendengarnya, sebab kalau tidak ada Joshua, mungkin Christian tidak akan seceria dan bertingkah sebodoh ini.

Tapi mau bagaimanapun, pada akhirnya kita harus tetap bersahabat dengan perpisahan.

Aku bangun dan duduk tepat di hadapan mereka, hingga mereka ikut bangun dan duduk bersamaku menatap laut.

"Kenapa, Za?" Tanya Christian dan Ario bersamaan.

"Hanya duduk" Jawabku dengan tatapan kosong.

Mereka seolah tahu kalau aku adalah orang yang selalu takut akan kehilangan, mereka mendekat dan duduk melingkar.

"Za, Joshua akan pindah ke ibu kota, tapi bukan berarti ia akan lupa dengan rumahnya disini" Ucap Ario berusaha menenangkan riuhnya isi kepalaku.

Aku tersenyum menatap ke arahnya, kemudian kembali melihat ke arah lautan untuk menerawang kehilangan mana lagi yang harus aku terima dengan ikhlas.

Aku dengan pikiranku, mereka dengan pikirannya masing-masing, sama-sama menatap laut dengan tatapan kesunyian. Hingga hari semakin sore dan matahari akan tenggelam.

"Senja memang selalu indah ya?" Ucap Ario memecah keheningan.

"Perpisahan memang semenyakitkan itu Ar, tapi kalau perpisahan ini gak ada, kita gak akan pernah bertemu orang-orang baru yang akan kasih kita pelajaran baru" Ucap Joshua sambil tersenyum menatap laut.

"Hidup memang dikhususkan untuk belajar Jo, jangan pernah menyesal akan perpisahan dan kehilangan. Seperti matahari yang tenggelam, ia bahkan akan digantikan oleh bulan dan milyaran bintang. Berarti tidak akan ada kehilangan yang tidak digantikan dengan kebahagiaan" Tambah Christian bijak.

"Jam kerja otakmu memang jam segini ya, Chris?" Ucap Joshua sambil terbahak.

Dan seperti biasa, pukulan hangat melayang dan tiba pada tangan kekar milik Christian.

Christian yang sabar hanya mengelus lengannya yang terasa agak sakit akibat tangan besar milik Joshua.

***

Menjelang malam, suasana disisi pantai nampak sangat indah, gradasi warna yang memadu kasih dan menampakkan banyaknya kebahagiaan. Di sisi pantai kami melihat banyak pasang mata yang menatap indahnya senja sore ini, semua orang nampak bahagia menatap matahari yang berpamit dan kedatangan bulan dengan dayangnya.

Benar apa kata Christian sebelumnya. "Seperti matahari yang tenggelam, ia bahkan akan digantikan oleh bulan dan milyaran bintang. Berarti tidak akan ada kehilangan yang tidak digantikan dengan kebahagiaan".

***
"Za, mau pulang kapan?" Tanya Ario sambil memegangi perutnya.

"Sekarang" Jawabku sambil menoleh ke arahnya.
"Kenapa pegang perut seperti itu?" Tanyaku heran.

"Sakit perut, aku boleh pulang duluan?" Ucap Ario sambil terus memegangi perutnya.

"Tahanlah bodoh" Jawab Christian dengan lengan yang bergerak ke arah leher Ario seolah ingin mencekiknya.

"Ya ayo sekarang berangkat" Timpal Ario yang sudah tidak kuat menahan kotoran dan dosa di perutnya.

Kami semua pun beranjak pulang dengan cukup tergesa karena Ario yang merasakan kontraksi di perutnya, ia banyak makan hari ini sehingga makanan-makanan kemarin meminta untuk dikeluarkan.
***

Halo, terima kasih sudah memelukku dan jangan lupa tinggalkan jejak!

REGANZZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang