Dendam Pembawa Petaka

2.1K 95 3
                                    

Tuhan tidak pernah menjanjikan kebahagian manusia di dunia, banyak halangan dan rintangan menyertai kehidupan, menjadikan pengalaman sebagai pembelajaran.

Usaha menjadi acuan keinginan, dan doa melambung tinggi mengetuk pintu langit. Kedua elemen itu saling bekerja sama merayu Sang Pencipta, mengiba akan keputusasaan, menyerahkan diri kepada Tuhan.

Tak ada yang baik-baik saja setelah manusia dilahirkan, membawa luka menunggu giliran, berdamai dengan ketidakadilan.

Hidup Bagas dan Cantika benar-benar dijungkir balikkan tanpa diberi aba-aba, kembali disentak bahwa luka yang mereka berikan kepada malaikat kecil tak bersalah.

Sekarang, mereka mengiba minta dikembalikan ke masa lalu, memperbaiki hubungan dengan kasih sayang. Namun, roda kehidupan terus berputar, bergerak maju tanpa mundur mengingat yang lalu.

Bagas dan Cantika, tidak pernah meninggalkan rumah sakit, mengabaikan pekerjaan beberapa hari belakangan. Mereka tengah menguatkan, di tengah kehancuran karena keegoisan.

Bagas dan Cantika menangis pilu melihat lelahnya Juan dalam pejamnya, mengamati setiap jengkal tubuh yang dibiarkan terekspos, hanya popok penutup area pribadinya.

Rasanya begitu sakit menyaksikan Juan di dalam sana, dunia mereka serasa runtuh melihat dada bertulang itu bergerak lambat.

Juan permata mereka, adik kecil mereka, kesayangan mereka, dan semesta mereka. Tak bisa mereka bayangkan jika Juan memilih menyerah, meninggalkan mereka hidup dalam penyesalan.

Bagas dan Cantika hanya berdua berjaga di ruangan ICU.  Fahri dan Citra pulang ke mansion untuk beristirahat sejenak dan akan kembali nanti sore. Mereka belum pernah masuk ke dalam, karena jam kunjungan pasien belum masuk.

Tak lama setelah itu, Reza keluar dari ruangan ICU, masih dilengkapi pakaian steril, menghampiri kedua keponakannya.

Reza tersenyum melihat bagaimana tidak sabarnya  dua beradik itu menunggunya keluar, menghampirinya dengan runtutan pertanyaan.

“Adek baik-baik aja kan?"

“ Kenapa lama sekali di dalam?

“Kami boleh masuk kan?”

Reza ingin tersenyum sendu melihat muka kusut kedua keponakannya, mata sembab tidak lepas memandang ruang ICU.  “Juan masih dalam keadaan kritis. Kalian ingin masuk ke dalam, kan? Pasti Adek tunggu abang dan kakaknya menyemangatinya.”

Bagas dan Cantika mengangguk cepat, melangkah ke dalam ruangan ICU. Sebelum mereka benar-benar masuk ke dalam, suster membantu mereka memakai baju steril, sesuai prosedur masuk ruang ICU.

Langkah kaki Bagas dan Cantika terhenti pembatas ruang ICU, menguatkan hati sebelum masuk ke dalam.

Di saat handle pintu di tekan ke bawah, nyaringnya EKG menyambut kedatangan mereka, semakin masuk ke dalam bau antiseptik mengelilingi penciuman mereka.

Bukan itu fokus mereka, melainkan sosok malaikat kecil yang terbaring telentang di brangkar, ditemani alat medis mengerikan, bahkan selang-selang masuk ke mulut dan hidung kesayangan mereka.

Tubuh kurus itu juga terlilit kabel berwarna warni, bahkan tubuh polos itu hanya ditutupi popok yang selang katater menyembul keluar.

Dunia mereka begitu hancur melihat parahnya kondisi Juan, mereka ditampar kenyataan, kesayangan mereka begitu lelah dalam pejamnya, dibuktikan tubuh mungil itu gemetar dan tersentak beberapa saat.

Cantika hampir jatuh berkali-kali jika tidak ditahan Bagas, tidak sanggup mendekati kesayangannya di tengah alat medis mengerikan.

Bagas menempatkan Cantika di kursi yang telah disediakan, berusaha tegar di tengah kehancuran. Mengelus tubuh nan dingin itu perlahan, menyusuri kulit putih pucat tanpa rona.

Batasan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang