Tama hanya bisa memandang sendu cucu bungsunya dibalik kaca ICU, memperhatikan grafik monitor yang menunjukkan belum ada peningkatan berarti.
Tubuh kurus itu dibiarkan terbuka begitu saja, dipasangi berbagai alat medis yang begitu kejam menusuk dan masuk ke dalam tubuh ringkih itu. Perut nan membuncit turut menambah derita raga yang tak berdaya. Bahkan popok yang hanya menutup area pribadi Juan, tak mampu menutupi rusaknya tubuh yang tergolek lemah.
Mulut terbuka dimasuki selang hingga menembus paru-paru yang seakan kehilangan fungsinya dipompa desingan ventilator mengaliri oksigen. Tubuh bergetar dan hentakan kecil tak pernah lelah menyakiti Juan. Bahkan tiga kantong cairan yang masuk ke dalam tubuh itu tak pernah lepas menusuk ke dua tangan Juan.
Siapapun yang melihatnya, tak akan kuasa menahan tangis, melihat betapa menderitanya Juan di dalam sana.
Berbagai upaya telah dilakukan agar melewati masa kritisnya, bahkan Tama meminta dokter terbaik luar negeri menangani kondisi Juan. Namun, satu minggu telah berlalu, belum ada kabar pasti, kapan cucu kesayangannya bangun.
Fahri dan Citra melihat situasi demikian, sama-sama terpukul dengan menurun drastisnya kondisi Juan. Orang tua mana yang tak sedih melihat anaknya diambang hidup dan mati. Setiap detik yang mereka lalui, begitu menyudutkan mereka melepaskan raga yang lelah. Rasanya, ingin melepas alat yang melekat di tubuh Juan, sungguh sangat menyesakkan melihat tubuh ringkih itu pasrah menerima kejamnya alat-alat yang berusaha mempertahankan nyawa kebahagiaan mereka.
Bagas dan Cantika bahkan memalingkan muka, tak sanggup melihat adek mereka dikendalikan mesin untuk mempertahankan tubuh yang sudah rusak.
Tak ada yang benar-benar kuat menyaksikannya, untuk masuk ke dalam pun, langkah mereka terseok-terseok menahan sesak. Tak pernah mereka bayangkan berada di situasi seperti ini.
Tibalah waktu mengunjungi pasien, hanya dua orang yang boleh masuk, dan Fahri bersama Citra memutuskan masuk terlebih dahulu.
Pijakan selalu berat setiap masuk ke dalam, tajamnya bau antiseptik menusuk hidung mereka walaupun tutupi masker, nyaringnya beside monitor memenuhi ruangan, seketika tubuh mereka meremang disapa dinginnya ruangan, sementara penghuni ruangan dibiarkan bertelanjang. Sungguh mereka yang terbilang sehat, tidak akan mampu mendekam di ruangan terkutuk ini, sangat menyiksa.
Perawat yang berjaga di dalam tersenyum menyambut ke datangan orang tua Juan, mempersilahkan Citra duduk di samping brangkar, sementara Fahri berdiri di belakangnya.
“Maaf, Tuan Nyonya, waktunya mengganti popok Tuan kecil,” ucap suster memberitahukan.
Memang Fahri dan Citra meminta perawat agar mereka saja yang menggantikan popok Juan selama Juan dirawat, para perawat mendapat permintaan tersebut, tentu tidak bisa menolak selama masih dalam batas tidak melanggar tindakan medis.
Fahri dan Citra menahan napas saat suster membuka popok Juan, menahan tangis melihat cairan putih kekuningan bercampur darah keluar dari dubur Juan, memperjelas betapa rusaknya raga yang mereka pertahankan.
Suster hanya menghela napas melihat respon mereka, ia tahu tidak mudah menerima kenyataan ini, tak bisa ia bayangkan bagaimana hancurnya hati mereka menyaksikan buah hati mereka sekarat tanpa bisa berbuat banyak.
Dengan tangan bergetar, Citra membersihkan selangkangan Juan yang dikotori cairan feses yang memburuk, dibantu Fahri yang sama menitikkan air mata memberikan tisu basah kepada istrinya. Mereka tahu betul, cairan itu adalah susu berprotein tinggi yang baru masuk satu jam yang lalu, dan sekarang keluar dengan bentuk yang sama bersama darah.
Setelah siap, suster memberikan popok yang berukuran lebih besar dari sebelumnya, membantu memasangkannya dengan hati-hati agar tidak menambah kesakitan tubuh yang bergetar.
Fahri dan Citra dengan cetakan memasangkan popok ke area kemaluan Juan, serasa dejavu dengan masa kecil Juan yang tak pernah mereka lakukan. Sekarang, Tuhan memberikan mereka kesempatan dengan kondisi memprihatinkan.
Dirasa terpasang sempurna, suster memilih menjauh, memberikan ruang kepada mereka yang jatuh dalam isak tangis.Fahri dan Citra mengusap-mengusap perut yang tegang, menampakan urat-urat biru mengerikan, semakin diperhatikan, pembengkakan perut Juan semakin melebar. Mereka masih ingat saat berliter asites beberapa jam yang lalu, tak mampu mengeluarkan sepenuhnya keluar dari perut Juan.
Bahkan banyaknya bekas jarum yang menusuk di perut Juan menjadi bukti kejamnya tindakan pengeluaran cairan yang menumpuk itu, dan semesta masih belum puas menyakiti kesayangan mereka sejauh ini.
Fahri mengecup kedua kelopak mata Juan yang cekung, sedikit terbuka dengan kekosongan di sana. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain jantung yang berdetak, dan paru-paru yang dipaksa mengembang.
“Sampai kapan Adek tidur seperti ini? Adek nggak kangen sama kami? Dini banyak loh tunggu Adek.” Fahri mengusap rambut yang dibasahi keringat, dan lepek dirasakan.
Citra mencium perut buncit Juan, membelai getaran yang sesekali menghentak. “Jangan sakiti Adek, Jangan … membuat anakku semakin kesakitan,” racau Citra tak tega menahan getaran di tubuh Juan.
Fahri dan Citra tak bisa menahan tangis, berusaha mengais sedikit harapan walaupun berulang ditampar kenyataan. Pemandangan menyayat hati itu tak pernah lepas dari keluarga yang berada di luar.
Mereka dihancurkan dalam satu hentakan, ditertawakan oleh keegoisan menyaksikan mereka diseret kenyataan menyakitkan.
Satu titik cahaya muncul ditengah gelapnya semesta, jari tangan Juan bergerak lemah digenggaman Citra, bersama mata tertutup dan terbuka.
Sontak saja membuat Fahri dan Citra bahagia menyaksikannya, walaupun kesadaran Juan timbul tenggelam.Suster meminta keluar bersamaan Reza masuk ke dalam.
Mereka yang menunggu di luar, semakin mengencangkan doa kepada Tuhan, menunggu kabar baik yang akan mereka dengar.
Sementara Reza bernapas lega melihat Juan merespon di sekitarnya, mengerang-erang dalam pejamya, bergerak gelisah seakan mencari seseorang.
Reza membuka mata Juan yang bergetar saat disinari, lalu menempelkan stetoskop ke dada yang menonjolkan tulang, bergerak turun ke perut membuncit Juan. “Anak hebat, terimakasih sudah mau bertahan, sayang.” Reza mengusap perut membuncit Juan yang bergetar.
Perlahan tapi pasti, Juan membuka matanya dengan sayu, membalas tatapan haru Reza dengan getar. Setiap kali menarik napas, dadanya serasa dihimpit batu, sangat sesak. Tubuhnya bergetar saking sakitnya,ditambah perutnya serasa ditusuk-tusuk pisau, membuatnya tak bisa mengendalikan hentakan tubuhnya.
“Tenang, sayang. Jangan lawan oksigen yang masuk. Rileks,” ucap Reza memberi pengarahan sambil mengusap dada dan perut Juan.
Perlahan Juan mulai tenang, membiarkan ventilator mengendalikan pernapasannya. Mata sayunya kesana kemari melihat ruangan yang ditempatinya. Sangat asing, tidak seperti sebelumnya. Bahkan ia merasakan kedinginan, bergerak pun ia tak bertenaga, pasrah mengetahui tubuhnya dipenuhi alat-alat medis.
Reza tersenyum melihat keponakannya menurut. Meminta suster menurunkan suhu ruangan karena melihat bibir Juan bergetar kedinginan, menyelimuti Juan sampai batas leher.
Juan mendapat perlakuan itu baru mulai nyaman, matanya kembali memberat saat Reza menyuntik di infusnya.
Reza mencium Juan yang sudah tertidur. Semua ketegangan beberapa hari belakangan digantikan dengan sedikit rasa lega. Melangkah keluar, menemui keluarganya yang sudah menanti.
Benar saja, saat baru menapaki luar, Reza langsung ditodong berbagai pertanyaan.
“Adek baik-baik aja kan, Za?”
“Adek udah sadar, kan?”
“Bolehkan masu ke dalam?”
Reza menarik napas dalam-dalam sebelum berucap. “Adek sudah melewati masa kritisnya, tinggal menunggu beberapa jam untuk observasi apakah bisa dipindahkan keruang biasa.”
Beban berat dipundak mereka seminggu belakangan seketika hilang mendengar penjelasan Reza.
TBC
Maaf baru bisa up 😄
KAMU SEDANG MEMBACA
Batasan Luka
Teen FictionDinding-dinding putih menjadi saksi ratapan orang terkasih, meratapi penyesalan menyakiti, hingga membuat malaikat kecil lelah mengemis kasih sayang berarti. Dimana mata itu terpejam, deru napas berantakan, dada bergerak lambat, dan tubuh bergetar...