Ruangan putih disulap berbagai gambar langit yang mewarnai kesuraman ruangan. Di tengah ruangan, terdapat brangkar di kelilingi alat-alat medis, sebagai penopang malaikat kecil yang sedang berjuang.
Pria kepala 6 senantiasa menjaga cucu kesayangannya. Duduk di kursi di sebelah brangkar, mengelus penuh kehati-hatian tubuh yang rapuh itu.
Tama tanpa kenal lelah berjaga menjaga Juan, walaupun harus menunggu di luar. Banyak luka yang diciptakan tanpa perasaan, dan pada akhirnya penyesalan tak mampu dibayar dengan kata maaf.
Sekarang, Tama berusaha memperbaiki itu semua, menjadi kakek pada semestinya, menyayangi cucu bungsunya tanpa harus dipinta.
Semenjak Tama melakukan hal keji kepada cucu bungsunya itu, Juan dinyatakan koma, membuat rasa bersalah menjadi-jadi, hingga apa yang berusaha diperbaiki bukanlah hal pasti menjadi bahagia kembali.
Tama memerintahkan kepada staf rumah sakit agar Juan dipindahkan keruangan khusus pemilik rumah sakit, yang mana fasilitasnya tak kalah lengkap dengan ruang ICU. Ia begitu mempersiapkan ruangan itu senyaman mungkin, sampai-sampai terpikir mengubahnya dengan karakter menarik perhatian anak-anak.
Tama tidak tahu betul kesukaan cucu bungsunya itu, bahkan hal kecil tentangnya. Jika pun nanti Juan sadar dan merasa tidak nyaman, pasti ia akan dengan cepat menggantinya.
Tama hanya sendirian menjaga Juan, anggota yang lain sedang sibuk dengan kegiatan di luar, kecuali Citra yang ia minta beristirahat di mansion. Dengan begitu ia dengan leluasa menjaga cucu bungsunya.
Terhitung dua bulan berlalu. Namun Juan belum menunjukkan kesadarannya. Kondisinya perlahan mulai membaik walaupun sempat beberapa kali mengalami penurunan.
Untuk penyakit Juan, perlahan mulai menggerogoti jantungnya, membuat fungsi jantungnya menurun. Tak jarang Juan mengalami henti jantung, tapi bisa diatasi dengan cepat oleh Reza.
Tama mengelus perut Juan yang masih mengalami pembengkakan, tegang, dan keras ketika dirasakan. Membuat ia semakin menyesal menekan perut itu tanpa iba.
Bekas lebamnya sudah hilang, tapi bayangan darah yang keluar dari mulut dan tubuh bawah Juan tak kan pernah hilang dari pikiran.
Tama beralih menatap mata Juan yang terbuka, hanya kekosongan di sana. Mengecup kedua mata itu bergantian, tersenyum sendu tidak mendapatkan respon.
Tangan besarnya membelai pipi tirus Juan, meringis melihat selang ventilator itu masuk ke dalam mulut kecil cucu bungsunya, di tambah dengan selang NGT bertengger di hidung mancungnya.
Beralih ke bagian bawah, hanya popok menutupi area pribadi Juan, itu pun tidak direkatkan sempurna karena selang katater menyembul dari dalam.
Sebenarnya Juan tidak boleh terpapar dingin, apalagi tidak menggunakan pakaian. Namun untuk kondisi sekarang pengecualian, suhu ruangan disetel rendah, guna merangsang kesadaran pasien.
Dapat Tama lihat cairan feses Juan yang tidak dapat dicerna dengan baik, karena penyakit sialan itu semakin melemahkan sistem pencernaan Juan.
Bersyukur, tidak separah dulu, sampai mengeluarkan darah terus menerus. Tidak bisa ia bayangkan, bagaimana sakitnya Juan menahannya selama ini.
Tama mengusap rambut lepek Juan, menyeka keringat dingin di kening putih pucat itu. Tubuh ringkih itu begitu dingin bila disentuh, tidak hanya itu saja, mata Juan mulai memerah dan kering karena terus terbuka membuat Tama tidak tega melihatnya.
Tangan besarnya mengambil obat tetes mata dan menetaskannya kedua mata Juan.
Tama menyeka tetesan air yang jatuh dari mata Juan, lalu menciumnya kembali. Bau antiseptik begitu menusukya ketika menghirup tubuh Juan. Sudah terbiasa baginya.
“Adek … maafkan Kakek, ya? Kakek terlambat menyadarinya, Juan adalah kesayangan Kakek dan semua orang. Maaf karena Kakek begitu kejam kepadamu, tapi untuk pertama kalinya, Kakek mohon jangan menyerah, ya? Bangunlah sayang, tidak akan lagi yang marah kepadamu tidak ada yang lagi menghukummu, tidak ada lagi mengatakan Adek bukan keluarga. Adek adalah kesayangan semua orang. Percayalah kepada Kakek,” ucap Tama dengan tulus, mencium pipi tirus Juan, lalu menunduk menggenggam tangan si kecil.
Tanpa Tama sadari bola mata Juan ditarik ke atas, meninggalkan putihnya saja, disusul hentikan kecil bertambah besar, membuat Tama terperanjat akibat pergerakan Juan tanpa disangka.
Tama hilang akal melihat Juan kejang-kejang, belum lagi suara mengik menyakitkan.
“KHHHRRRRRR … KHHRRRRR … KHHRRRR.”
Tangan kiri Tama memencet brutal tombol di atas brangkar, memanggil suster maupun dokter. Sementara tangan kirinya menahan tubuh Juan yang masih kejang.
Tak lama kemudian, Reza berlarian masuk ke dalam, diikuti suster di belakang. Salah satu suster menuntun Tama ke sebalik ruangan, tangannya gemetaran, menatap nanar Juan yang masih kejang di kelilingi Reza dan perawat lainnya.
Tama memalingkan muka melihat jarum berdiameter besar silih berganti menusuk tubuh yang hanya tinggal tulangnya saja. Ia memilih duduk di sofa disediakan.
Rasanya begitu menyakitkan menyaksikan orang tersayang diambang kesakitan. Boleh kah Tama meminta kepada Tuhan, agar kesayangannya tetap berada di sisinya sampai akhir hayatnya?
Citra dan Fahri datang bersamaan bingung melihat Tama duduk gelisah di ruang santai. Kekhawatiran mereka langsung menjerit, melihat ke sebalik ruangan, Tubuh Juan kejang-kejang dengan mata yang hanya menampilkan putihnya saja.
Citra menjatuhkan rantang makanannya yang ia bawa, menyaksikan Reza melakukan tindakan yang bahkan tak sanggup ia lihat. Dada Juan ditekan kuat ketika dengungan panjang mendiamkan tubuh ringkihnya, bersamaan itu mata yang senantiasa terbuka menutup dengan damai.
Citra hampir jatuh terduduk, jika Fahri tidak menahan tubuhnya. Ia dibawa ke ruangan santai tempat Tama berada.Fahri hanya bisa memeluk Citra menangis histeris memanggil Juan, ia berusaha menguatkan walaupun hatinya sama dihancurkan.
Tak lama, Bagas dan Cantika datang dengan raut bingung melihat orang tuanya dan kakeknya tampak kacau.
“Kita doakan Adek baik-baik saja, ya?” ucap Fahri menjawab kebingungan anaknya.Cantika melemas, duduk di single sofa. Bagas menatap penuh harap ke arah kaca buram pembatas ruangan, bahwa adik bungsunya akan baik-baik saja.
Semuanya saling memanjatkan doa, mengiba kepada Tuhan. Malam penuh tangisan ini, Tuhan kembali menguji kesabaran mereka mempertahankan malaikat kecil yang lelah.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Batasan Luka
Teen FictionDinding-dinding putih menjadi saksi ratapan orang terkasih, meratapi penyesalan menyakiti, hingga membuat malaikat kecil lelah mengemis kasih sayang berarti. Dimana mata itu terpejam, deru napas berantakan, dada bergerak lambat, dan tubuh bergetar...