Dinding-dinding putih menjadi saksi ratapan orang terkasih, meratapi penyesalan menyakiti, hingga membuat malaikat kecil lelah mengemis kasih sayang berarti.
Dimana mata itu terpejam, deru napas berantakan, dada bergerak lambat, dan tubuh bergetar...
Tak ada yang paling membahagiakan mendapatkan kabar yang dinantikan, melegakan semua beban yang menyesakkan, melepaskan semua kekalutan yang dari kekhawatiran.
Tama, berjalan cepat keluar kantornya, masuk ke dalam mobil yang telah disiapkan. Wajah yang selalu menampilkan datar, mengendur membentuk senyuman setelah mengetahui cucu kesayangannya bangun dari tidur panjangnya.
Tapi di lain sisi, Tama sedikit kesal lambat mendapat kabar dari Fahri mengenai kondisi cucu bungsunya, yang sudah sadarkan diri satu hari yang lalu. Salahkan dirinya baru mengecek handphonenya, bukan tanpa sebab, beberapa hari belakangan, ia kembali sibuk mengurus perusahaannya, dan memberantas tikus-tikus yang bermain-main dengannya.
Banyak yang harus Tama selesaikan, agar bisa menemani cucu bungsunya kembali, dan menjadi orang pertama kali menyambut mata tertutup itu terbuka. Namun semesta enggan membiarkannya, ia disibukkan, hingga tak tahu cucu bungsunya sudah siuman. Walaupun begitu, Tama bersyukur, Juan telah melewati masa kritisnya.
Hatinya menghangat melihat foto Juan berada diantara Fahri dan Cantika di tengah brangkar. Senyum itu sudah lama tak melihatnya. Jika dulu ia benci memperhatikannya, sekarang ia sangat candu untuk tidak mengalihkan pandangannya.
Butuh satu jam Tama menuju rumah sakit, tidak bisa ia pungkiri ingin cepat-cepat bertemu dengan cucu bungsunya.
Sesampainya area rumah sakit, Tama buru-buru masuk lift, menuju lantai paling atas tempat Juan berada.
Ketika ia menginjak kakinya di depan ruang Juan, hanya keheningan menyapa, berdiam diri sebentar, menyiapkan diri masuk ke dalam.
Knop pintu di tekan, tungkai panjangnya ia langkahkan ke dalam, mengedarkan pandangan di mana Juan berada. Tama mengerutkan keningnya, Juan berbaring telentang dengan mata terpejam tanpa ditemani anak dan menantunya.
Dengan langkah lebar, Tama mendekati brangkar. Menyapu pandangannya keseluruhan ruangan. Hanya Juan sendirian, membuatnya marah karena tidak ada penjagaan. Musuhnya banyak, akan sangat berbahaya jika Juan ditinggal sendirian, akan menjadi kelemahan bagi keluarganya.
Dengan gerakan pelan, Tama duduk di tepi brangkar, mengusap sayang rambut Juan yang lepek karena dibanjiri keringat. Dapat Tama saksikan, cucunya kesayangannya tidak benar-benar tenang dalam pejamnya, bibir pucat dibalik masker oksigen selalu merintih kesakitan, dan sesekali tubuh ringkih itu tersentak kecil.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tama yang tak tega, mengusap seluruh tubuh Juan yang terbuka, terutama perut Juan yang mengembung dan keras.
Juan yang merasakan usapan lembut, membuka matanya perlahan, menyesuaikan cahaya memburamkan penglihatannya.
Tama tersenyum lebar melihat Juan membuka mata, berdiri, mencondongkan wajahnya ke Juan, mencium kedua kelopak mata yang berkedip lemah. “Pelan-pelan sayang.”
Juan yang belum jelas penglihatannya, merasa familiar dengan suara berat itu. Itu bukan suara papanya, tapi siapa? Pikirnya.
Hingga jantungnya berdetak kencang melihat orang di hadapannya, tubuhnya bergetar berada di dekat orang yang mengusap tubuhnya, napasnya semakin memberat mengingat kilasan masa lalu menyakitkan.