Ruangan yang didominasi berwarna biru itu begitu tegang. Nyaringnya EKG tidak beraturan mengiringi kekalutan, tubuh yang menghentak-hentak, memacu setiap detik tindakan menyelamatkan pasien. Ditambah mulut terbuka lebar mengeluarkan suara mengik menyakitkan dengan mata menampilkan putihnya saja.
"KHRRRRRR ... KHHRRRRR ... KHRRRRR."
Napas tercekat dengan aliran kekuningan keluar dari mulut kering Juan, membuat perawat kalang kabut menyedot cairan kekuningan itu menggunakan selang kecil yang dimasukkan ke dalam selang ventilator.
Sementara Reza menyuntikkan anti kejang bersama suntikan lain penopang hidup Juan.
Belum siap tindakan selanjutnya, Juan henti jantung bersama mata menutup sempurna dengan aliran kekuningan keruh terus keluar.
Reza langsung naik ke atas brangkar, menekan dada kurus itu berulang kali. Tekanan oksigen ditambahkan karena bibir kecil itu mulai membiru.Setengah jam Reza melakukan pemijatan jantung, belum menunjukan peningkatan signifikan.
"Defibilator!"
Suster bergerak cepat mengambil alat yang diminta Reza, memberikan jel khusus ke dua alat yang berbentuk setrika itu.
Reza yang diberikan alat itu, langsung menjauhkan tubuhnya, menempelkannya ke dada Juan.
"200 Joule!"
Seketika Juan tersentak ke atas, dan lunglai ketika benda itu diangkat. Reza menatap gelisah, masih menunjukkan kemajuan.
"300 Joule!"
Reza kembali menempelkan kedua alat itu, hingga membuat brangkar bergerak saking kuat tegangan.
"Tit . tit .tit."
Jantung Juan kembali berdetak dengan keadaannya mulai meningkat. Tidak itu saja, tangan Juan bergerak lemah, matanya yang tertutup bergerak gelisah.
Reza dengan cepat mengambil senter kecil, membuka mata Juan yang menunjukkan kehidupan. Pupil matanya merespon terhadap cahaya. Menggeram lemah merasakan ketidaknyamanan.
Reza dan suster di dalam menghela napas lelah. Juan kembali kepada mereka.
Reza menutup kelopak mata Juan, mendekatkan mulut ke telinga si kecil. "Juan dengar Papi?"
Hanya erangan dan napas tersedak yang Juan lakukan. Matanya sungguh berat untuk dibuka, dan setiap menarik napas sungguh menyakitkan.
Reza dengan sabar menuntun Juan membuka mata, mengusap dada Juan yang bergerak cepat. "Hey ... jangan panik sayang ... pelan-pelan ... Papi ada disini. Bernapaslah dengan tenang, jangan lawan oksigen yang masuk."
Juan berusaha mengikuti udara yang masuk ke paru-parunya, mengerjap perlahan, menyesuaikan cahaya menyilaukan matanya.
Reza tersenyum bahagia melihat mata itu terbuka sayu dengan tanda-tanda kehidupan. "Bagus sayang. Pelan-pelan."
Pandangan Juan mulai jelas, berusaha mengenali orang-orang yang mengelilinginya. Mulutnya berusaha mengucapkan kata. Namun sesuatu benda membungkam mulutnya, sungguh sangat mengganjal dan tidak nyaman.
Reza mengusap pipi tirus Juan, membuat mata yang bergerak gelisah itu memfokuskan kepadanya. "Hey ... ini Papi, sayang. Adek dengar Papi?"
Mata Juan berkaca-kaca melihat Reza-papinya di depan matanya. Ia begitu merindukan adik mamanya itu. Hanya dia tempatnya bersandar sebelum ia diasingkan.
Reza yang melihat Juan menangis tanpa suara, menenangkannya, karena tidak baik untuk pernapasannya. "Jangan menangis, sayang, tambah sesak nanti." Mengusap dada Juan kembang kempis.
Namun Juan tak mampu menghentikan tangisannya, membuat EKG kembali tidak normal.
"Sekarang Juan istirahat dulu, ya?"
Juan semakin mengencangkan tangisannya, namun suara mengik yang keluar, membuat napas Juan tidak beraturan.Mau tidak mau, Reza menyuntikkan obat penenang. Tak lama kemudian Juan mulai tenang dengan mata sayu nya, dan jatuh ke bawah alam sadarnya. Juan memang sedari kecil tidur dengan mata sedikit terbuka, tidak ada yang perlu Reza khawatirkan.
Reza menempelkan ke stetoskop ke dada dan perut Juan, lalu meraba perut Juan yang tegang. "Buka popoknya, Sus." Pinta Reza kepada suster yang berada di bagian bawah Juan.
Suster membuka popok yang menutupi area pribadi Juan, terpampang jelaslah cairan feses yang hampir memenuhi penampungan.
"Tampaknya pasien tidak dapat menahan sakitnya sampai mengeluarkan banyak tinja, Dok." Suster beralih memegang urine bag yang hampir penuh. "Urine pasien lebih banyak dari sebelumnya."
Reza mengangguk, menatap sendu wajah yang terlelap damai. "Sakit banget, ya, Dek?" Reza mencium seluruh wajah Juan tanpa mengganggu selang yang masuk ke dalam tubuh Juan.
Reza menatap para suster yang menjadi partnernya. "Tolong bersihkan tinja dan urine bag pasien. Saya akan menemui keluarga pasien."
"Baik, Dokter," ucap suster serempak. Bergerak membersihkan area pribadi Juan.
Reza melangkah keluar, menemui anggota keluarganya yang menunggu cemas. Hatinya menghangat melihat kacaunya mereka menunggu kabar kondisi Juan.
"Bagaiman, Za, keadaan Adek? Adek tidak meninggalkan kita kan?" Citra menatap Reza dengan mata sembabnya. Memegang snelli kedokteran adik kandungnya dengan putus asa.
Reza tersenyum memegang tangan Citra. "Adek kembali. Adek telah melewati masa kritisnya."
Isakan penuh kesesakan digantikan tangis harus bahagia, mereka bernapas lega mendengar perkataan Reza.
"Adek sudah sadarkan diri, tapi saya baru menyuntikkan obat penenang karena sempat syok dengan kondisinya sekarang. Kemungkinan besok Adek sadarnya. Untuk hari ini biarkan Adek beristirahat," sambung Reza.
Citra memeluk adiknya, menggumamkan terimakasih. Akhirnya kesabarannya menunggu putra bungsunya sadar membuahkan hasil.
Fahri sampai sujud bersyukur kepada Tuhan, matanya terus mengeluarkan air mata saking bahagianya.
Bagas dan Cantika saling berpelukan, mereka begitu bahagia sampai meneteskan air mata.
Tak berbeda jauh dengan Tama, pria tua itu sangat bahagia. Air matanya berjatuhan menatap ruang rawat Juan tanpa berkedip.
Satu persatu mereka masuk ke dalam. Melihat kesayangan mereka terlelap dengan tenang. Namun kekhwatiran mereka kembali menyerang melihat mata Juan tidak tertutup sempurna.
"Kenapa mata Adek tidak tertutup sempurna? Bukannya kondisi Adek sudah melewati masa kritisnya?" tanya Tama mewakili mereka.
Reza tersenyum. "Itu sudah menjadi kebiasaan Juan sedari kecil, tidur dengan mata sedikit terbuka. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Mereka tersentil mendengar penjelasan Reza. Untuk hal sekecil itu mereka tidak ketahui.
Memang sedari kecil, kebiasaan tidur Juan dengan mata sedikit terbuka. Hanya Reza yang mengetahuinya karena ia yang mau mengurus Juan. Namun karena ancaman Tama akan membunuh Juan kalau mereka mendekatinya, Reza memilih menjaga jarak, hingga kabar Juan dipindahkan keluar negeri, membuat komunikasi mereka terputus.
Selama ini, Juan dikurung oleh Fahri dan Citra, membuat penderitaan Juan semakin bertambah dengan penyakit yang terus berkembang tanpa mereka ketahui.
Sekarang, mereka akan memanfaatkan waktu sebaik-baik mungkin, demi membuat Juan bahagia dengan hak yang seharusnya mereka berikan.
TBC
Doubel up
KAMU SEDANG MEMBACA
Batasan Luka
Teen FictionDinding-dinding putih menjadi saksi ratapan orang terkasih, meratapi penyesalan menyakiti, hingga membuat malaikat kecil lelah mengemis kasih sayang berarti. Dimana mata itu terpejam, deru napas berantakan, dada bergerak lambat, dan tubuh bergetar...