Hunting street food bag II

352 45 10
                                        

•• ༻❁༺ ••

Ajeng dan Abimana baru saja keluar dari kios baso malang usai menghabiskan masing-masing satu mangkok ditambah sepiring nasi. Tetapi, Ajeng masih tampak bersemangat untuk berburu jajanan kesukaan dia. Seperti saat ini di mana dia menggeret pelan lengan Abimana menuju stand yang menyajikan kue-kue tradisional, ditata apik di etalase, beragam warna/bentuk juga yang pasti dengan cita rasa berbeda.

"Mereka jual klepon sama lupis enggak, ya?"

"Tanya aja, Dek."

"Adek kangen rasanya karena emang jarang beli. Kalau ngeliat ibu makan tuh kok jadi pengen juga, legit manis katanya."

"Coba ditanya dulu. Biasanya mereka sediakan apa-apa yang sesuai sama banner promosinya," sahut Abimana begitu mereka sudah berada di depan stand yang menjual kue-kue tradisional tadi.

"Pak, di sini ada lupis?"

"Ada, Neng! Ada." Ajeng praktis mengembangkan senyumnya gara-gara jawaban si bapak penjual. "Mau berapa?"

"Ehm, empat aja boleh?"

"Berapa aja pun bisa." Si Bapak menanggapinya sambil tangan membungkus lupis pesanan Ajeng.

"Klepon ada?"

"Habis, Neng. Diburu pembeli dari pagi, banyak yang suka soalnya."

"Yah, padahal saya juga rindu rasanya."

"Lain kali, Neng. Atau besok mampir lagi ke sini, festivalnya 'kan baru dimulai atuh. Hehehe." Satu kantung plastik diberikan kepada Ajeng. Tak lupa seringai bersahaja di wajah si bapak penjual, mencerminkan keramahan dan budi pekerti dari masyarakat Indonesia.

"Mas, ada kepingin apa? Masa cuma lihat-lihat doang." Bahu Abimana dicolek gemas, sedikit mengejutkan suaminya hingga seketika menengok dia.

"Ini loh, Dek. Bentuknya mirip ya sama kue yang dibawa ibu ke rumah?"

"Itu kue talam." Si bapak penjual merespons cepat.

"Iya, Mas benar. Ibu pernah bawa kue talam ke rumah. Setengahnya dimakan sama Mas." Abimana tersenyum sungkan, garuk-garuk kepala begitu mendapati si penjual tertawa kecil mendengar pengakuan istrinya ini. "Mau dibungkus, enggak?!"

"Pak, kue talam sepuluh dibungkus, ya." Abimana kontan menukas lugas. Dan si bapak penjual sekadar mengangguk, bergegas mengambil pesanan ini dengan tangannya yang gesit.

"Semuanya jadi berapa?" tanya Ajeng setelah menerima bungkusan kue yang diinginkan Abimana.

"Tiga puluh ribu, Neng."

"Ini, Pak." Lalu, Ajeng kembali tersenyum jangka si bapak penjual menghadiahinya sepotong kue dadar gulung. "Terima kasih, ya."

Keduanya pergi, bergandengan semula sambil melirik andai ada stand-stand makanan yang menarik minat mereka. "Oliv!" Serta merta Ajeng berteriak, melambaikan tangan pada Olivia. "Mas, ke sana, yuk!" Belum sempat Abimana menjawab, dia lebih dahulu menyeret tubuh besar suaminya seakan energi yang dia miliki sama sekali tidak berkurang.

-----

"Kok enggak bilang-bilang kamu ke sini, Liv? Kalau tau 'kan bisa barengan perginya."

"Aku juga tiba-tiba diajak Alvin, Jeng. Dia sengaja balik awal dari kantor terus kita berangkat. Aku bahkan enggak sempat ganti baju. Kamu lihat aku cuma pakai piyama? Kita beneran baru banget sampai di sini."

"Jadi, belum ada makan apa-apa, dong?!"

"Belum."

Formasi mereka berubah, para suami berjalan di belakang seumpama menjadi pengawal pribadi bagi dua wanita cantik. "Rencananya mau coba makan apa?"

Dek Ajeng & Mas AbimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang