Part 3

60 2 0
                                    

𝙆𝙄𝙏𝘼 𝙄𝙉𝙄 𝘼𝙋𝘼?
.
.
.

Saat ini, Kalaya tengah berada di ruang tamu apartement miliknya seraya berbincang dengan sang ayah di seberang sana. Gadis itu nampaknya tak berhenti mengerutu akibat sikap sang adik kepada ayahnya.

Sementara pria yang sedang menjadi topik pembicaraan itu, sedang asik-asikan tertidur di sofa bed samping sofa yang Kalaya duduki.

"Ngeselin banget pokoknya, masa teteh disuruh naik taksi sementara dia enak-enakan di apartemen. Mana mau hujan tadi, untung dapet taksi," Gerutu gadis itu pada sang ayah.

Faris—ayah Kalaya dan Rafael nampak terkekeh gemas mendengar suara putri sulungnya itu, "Iya sayang, kamu tenang aja ya. Nanti sampai rumah Papi sita motornya, biar si adek kapok."

"Iya, Pi! Sita aja, sekalian ATM sama hapenya. Biar tau rasa, masa ya sekarang dia enak-enakan tidur padahal udah janji mau beliin Ayam penyet buat makan malam. Ael mah sekarang tukang boong Pi," Adunya lagi.

Faris disebrang sana menggeleng pelan, kelakuan kedua anaknya itu seperti bertukar peran. Seperti Kalaya lah yang menjadi seorang adik yang suka merengek dan mengadu atas sikap Rafael.

"Kamu belum makan malam, nak?" Tanya Faris.

"Ya belum, Ael aja tidur tuh Pi. Mana nyenyak banget sampe aku teriak-teriak dia gak keganggu."

"Mau papi pesenin makan malamnya?"

"Gausah lah Pi, nanti biar teteh aja yang beli di depan, kasian juga Ael belum makan," Ujar Kalaya mulai jinak.

"Yaudah, kalau gitu teteh pesen sekarang gih, keburu malam. Nanti Papi tf uangnya, Papi tutup dulu ya."

"Iya Pi, makasii Papi. Good night," Ujar Kalaya seraya tersenyum lebar.

"Night sayang, titip adekmu ya."

"Siap Papi."

Setelah itu, panggilan pun terputus. Dan selang beberapa menit kemudian, terdapat sebuah notif dari dompet digitalnya mengenai uang yang Papinya janjikan itu. Kalaya semakin melebarkan senyumnya.

"Yuhuuu gas Sociolla," Seru Kalaya seraya bersenandung pelan. Melupakan pesan sang Papi untuk segera membeli makanan, bahkan rasa laparnya itupun menghilang saat mengingat nominal uang yang di kirim Papinya.

Tak lama ponsel Kalaya kembali berdering, dengan berdecak pelan gadis itu kembali menatap ponselnya, nama sang ibu terpampang dilayar kaca.

"Halo, Mi?" Sapa Kalaya.

"Malam teh, teteh lagi apa?" Tanya Wina, Ibundanya.

"Hmm?" Bahkan Kalaya sampai lupa dirinya mau apa gegara uang dari Papinya itu, "Ini mau beli makan Mi."

"Loh belum makan? Yaudah mending teteh cepet beli deh, daripada kemaleman. Lagian kenapa teteh gak masak sendiri aja sih? Kan lebih hemat dan higenis, sebagai perempuan kita itu diwajibkan bisa masak sayang. Kan nanti kita yang bertugas didapur." Kalaya mulai mendengus malas saat sang Mami mulai berbicara panjang lebar. Bukannya tidak sopan, tapi Maminya itu tidak sadar kalau dirinya butuh bimbingan bukan sekedar ceramahan.

"Ya, nanti masak."

"Yaudah, gitu dulu ya teh. Ini Mami di panggil Yulia," Setelah mengatakan itu, Maminya langsung menutup sambungan telepon itu.

Kalaya kembali mendengus malas, Yulia itu anak dari ayah tirinya. Gadis itu masih kelas 6 SD yang berarti ia adalah adik tiri Kalaya. Namun tak dapat dipungkiri ia kerap sekali kesal dengan adik tirinya itu yang selalu saja mengalihkan perhatian Maminya, sehingga ia merasa kurang diperhatikan oleh sang Mami.

"Minimal kalau gak ngasih kasih sayang ya, tranfer uang!" Gumamnya pada ponsel miliknya, lalu kembali mendengus malas.

"Mami ya teh?" Tanya Ael yang masih merem di sofa bed.

"Iya, sebel banget sama adikmu itu. Tiap Mami telpon ada aja caranya biar mami udahin telponan nya. Keliatan banget cari perhatian," Gerutu Kalaya. "Mana Mami itu ya udah jarang banget kirim uang, dikira teteh hidup gak butuh makan kali ya? Minimal itu loh buat beli makan malam, ini boro-boro kasih uang. Yang ada malah kasih siraman Rohani."

"Istighfar teh, Dosa banget sama Mami sendiri."

"Sebel, Ael. Mami udah beda banget sekarang sama kita. Kamu tau gak? Kenaikan kelas kemarin rapot aku aja engga di ambilin sama Mami, untung ada Tante Tania."

Rafael seketika bangun dari tidurnya lalu menatap Kakaknya, "Serius teh?" Kalaya mengangguk.

"Parah kan? Padahal Mami yang minta aku dari Papi, tapi ujungnya di telantarin gini," Bibir gadis itu mengerucut sedih.

Rafael pun segera maju dan memeluk kakaknya penuh kasih sayang, "Gausah sedih teh, lain kali minta Papi aja kalau ada acara disekolah. Sesibuk-sibuknya Papi, pasti bakal diusahain." Rafael mengusal rambut kakaknya berusaha menenangkan.

"Lain kali, kita cari Mami baru yang lebih Rich ya Ael?"

Rafael langsung mendatarkan wajahnya seketika.

***

Setelah berdrama dengan adiknya. Kini Kalaya harus keluar dari apartement untuk membelikan kunyuk itu makan malam, sesuai perintah Papinya. Namun, baru saja membuka pintu apartement dirinya dikejutkan oleh seorang pria berhoodie cream dan celana jeans hitam tengah berdiri didepan pintu unitnya seraya menenteng sebuah paper bag.

"Hai," Sapanya seraya tersenyum simpul. Kalaya tertegun sejenak menatap senyum pria itu.

"Heii," Ujarnya lagi seraya mencubit pipi Kalaya yang masih melamun, "Kok ngelamun sih?"

"Kamu... Ngapain?"

Pria itu tersenyum tipis, "Mau ajak makan malam, nih." Tangan pria itu terangkat menaikkan paper bag yang dibawanya.

"Tapi, adikku ada didalam," Ujar Kalaya santai berusaha tidak terpengaruh dengan sikap pria itu yang tiba-tiba perduli dengannya.

"Ini 3 porsi."

Kalaya mendengus malas saat hatinya mulai goyah lagi, "Masuk."

Akhirnya mereka berdua pun masuk dan berjalan kearah meja makan. Sebelum memanggil Rafael, Kalaya lebih dulu menyuruh pria itu duduk di sana lalu ia menyiapkan piring untuk makan mereka bertiga.

Saat sedang menghadap rak piring yang ada di kitchen set-nya ia membelakangi pria itu. Dan disaat dirinya sedang sibuk mengambil alat makan dirinya dikejutkan oleh sebuah tangan yang melingkar di pinggangnya dan beban di pundaknya.

Ia menoleh sekilas terkejut, "Ar... Jangan gini."

Pria itu tak bergeming dan semakin mengeratkan pelukannya pada Kalaya, kepalanya pun dia biarkan tetap bertumpu pada pundak gadis itu.

"Maaf, ay... Jangan cuek, maaf." Gumam pria itu lirih.

Kalaya menahan napas saat pria itu berucap, sungguh untuk pertama kalinya ia melihat sisi lain dari kekasihnya itu.

Ardan.

To be continued...
Thanks for reading💅

KITA INI APA?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang