BAB II

4.6K 219 19
                                    

"Ada apa dengan wajahmu itu? Kau terlihat seperti habis bercinta dengan macbookmu semalaman. Mengerikan."

Kata-kata yang meluncur dari belah bibir Huang Renjun tanpa diduga berhasil menyentak lamunan si cantik berkulit tan, Lee Haechan. Masih pagi tapi suasana hati wanita itu kelihatan buruk sekali. Segera Renjun mengambil posisi di depan Lee Haechan, berniat menggali lebih jauh permasalahan yang sedang menimpa teman anehnya itu.

"Tumben sarapan di kafetaria kantor? Kau dan Bibi Eunbi tidak bertengkar lagi, kan?" Renjun memulai aksi interogasinya. Matanya memicing ke arah toast di atas meja, masih utuh dan nampak belum disentuh.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" Sahut Haechan mengabaikan pertanyaan Renjun.

"Kenapa harus minta izin, biasanya juga langsung bertanya."

Haechan mengangguk setuju. Setelah di pikir-pikir lagi ketakutan yang ia rasakan saat ini sungguh tidak berdasar. Meski pertanyaan yang hendak ia ajukan agak sensitif namun tidak masalah selama orang yang ia tanyai adalah Renjun. Mereka sudah cukup akrab untuk berbagi hal-hal yang tabu, bukan?

"Apa... Penis adikmu sudah tumbuh lebih besar dari terakhir kali aku melihatnya?"

Sekonyong-konyong Renjun tersedak ludahnya sendiri dan terbatuk-batuk sampai harus memukul dadanya berkali-kali. "Kau! Apa yang salah dengan otakmu?" Erangnya di sela-sela upaya dalam menetralkan pernapasannya.

Beruntung kafetaria pagi itu lumayan sepi pengunjung. Mungkin karena menjelang akhir tahun lantas para korporat mulai menerapkan konsep hidup berhemat— sarapan seadanya di rumah kemudian membawa bekal untuk di makan waktu siang. Setidaknya uang hasil berhemat bisa dipakai pergi berlibur atau membeli barang mewah untuk dipamerkan di awal tahun.

"Aku serius, bodoh. Jawab dulu pertanyaanku." Tidak ada kesan bercanda di wajah Lee Haechan. Ia benar-benar serius dengan pertanyaannya.

"Persetan. Sebenarnya apa tujuanmu menanyakan hal itu." Renjun bersikeras bersikap defensif. Mana sudi ia menjawab pertanyaan tak berbobot Lee Haechan?

"Kewanitaanku gatal ingin dimasuki penis." Sekali lagi Renjun dibuat terbatuk-batuk mendengar penuturan Lee Haechan. Seakan-akan kepala Lee Haechan baru saja membentur benda keras dan secara tak terduga berhasil mengubah pola pikirnya menjadi selayaknya jalang yang menyedihkan.

"Jadi, akhirnya kau menyerah dengan dildo-dildomu?" Haechan mencebik frustasi tapi tak urung mengangguk lemah mengiyakan pertanyaan Renjun.

Bukannya Renjun tidak tahu-menahu tentang sisi kinky Lee Haechan. Mereka sudah lama berteman, rasanya tidak mungkin bila masih ada yang bertahan menyimpan sejumput saja rahasia kelam. Dan lagi, ketika keduanya masih bekerja di departemen yang sama, Haechan acapkali bercerita tentang masalah pribadinya, termasuk keinginannya untuk memiliki pasangan yang bisa diajak bercinta, pun Renjun selalu dengan bangga menceritakan aktivitas ranjangnya dengan sang kekasih. Mereka memang se-terbuka itu asal tahu saja.

"Aku bilang juga apa, tidak ada salahnya berkunjung ke klub sesekali. Aku jamin kau tidak akan menyesal."

"Masalahnya aku tidak mau menampung penis random. Aku ingin pacar, dan para pengunjung klub terlalu beresiko untuk kujadikan pacar."

"Excuse me? Kau tidak mungkin lupa di mana aku dan kekasihku bertemu pertama kali, bukan?" Renjun sontak menangkis praduga Lee Haechan. Well, bukan saatnya untuk adu nasib. Belum tentu juga orang lain seberuntung wanita China itu.

"Entahlah, Renjun. Sebenarnya aku selalu takut mempermalukan diriku sendiri. Kau tahu aku, sangat sulit untukku menjalin hubungan dengan pria yang berhasil mencuri perhatianku."

Get Panties In A Twist (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang