Andai ia memiliki kemampuan semacam menilik nujum, maka alasan mengapa Mark Lee sampai detik ini belum mengiriminya pesan tak akan berakhir menjadi teka-teki yang sukar untuk dipecahkan. Haechan merana, pertemuan pertamanya dengan Mark Lee, sekaligus momen di mana mereka saling bertukar nomor ponsel nyatanya sudah berlalu satu minggu lamanya. Apa pria itu hanya mempermainkannya? Jika benar, terkutuklah dia.
"Kau tampak mengenaskan beberapa hari terakhir. Apa tugas dari Mrs. Robert sebegitu berat untukmu?"
Giselle, rekan se-tim Lee Haechan tiba-tiba melayangkan tanya. Kepala wanita itu melongok dari balik sekat kaca yang memisahkan kubikel mereka. Haechan tak dapat menahan diri untuk merotasikan mata ketika dihadapkan dengan tatapan menyelidik Giselle. Perempuan berdarah Jepang itu memang selalu ingin tahu tentang kehidupan orang lain.
"Tidak juga." Balas Haechan sekenanya. Satu tangannya bergerak lincah di atas mouse wireless mengarahkan tanda panah pada sebuah artikel yang ingin ia baca.
"Aku sangat iri padamu. Aku juga ingin bertemu langsung dengan keluarga Kadarshian lalu mengulik kehidupan mereka dalam sebuah segmen wawancara." Giselle berucap tanpa mengalihkan pandangannya dari layar monitor yang sedang menampilkan artikel tentang keluarga selebritis favoritnya.
"Katakan kalau kau butuh seorang asisten, Haechan." Celotehnya mencoba mencari peruntungan.
"Tidak, terimakasih."
"Ck. Kau tega sekali. Aku yakin Mrs. Robert akan setuju kalau kau sendiri yang memintanya."
"Tapi sungguh, Giselle. Aku sama sekali tidak butuh asisten."
Siapa yang butuh asisten bila Haechan bisa dengan gampang merekam isi wawancaranya dengan alat khusus semacam pen recorder? Terkadang asisten yang bertugas mencatat wawancara tidak begitu diperlukan lagi dewasa ini. Bahkan eksistensi juru kamera tak jarang digantikan oleh temuan yang disebut tripod.
Hangat napas Giselle sayup-sayup menerpa pipi kanan Haechan. Bukannya Haechan ingin bersikap kejam, menurutnya pekerjaan yang dilakukan oleh 2 kepala hanya akan memakan waktu lebih banyak. Lebih baik mengerjakan sendiri daripada berdua, lagipula tidak ada jaminan mereka tidak berakhir dalam perdebatan sengit akibat perbedaan pendapat. Demi mempertahankan lingkungan kerja yang positif, sudah sepantasnya Haechan menjaga hubungan baiknya dengan rekan-rekan kerjanya, benar?
"Kalau begitu traktir aku makan siang."
"Aigoo... Sejak kapan mental pengemis bersarang di tubuhmu?" Sarkas Haechan.
Kembali Giselle mencebikkan bibirnya. Ia rasa permintaannya barusan tak cukup keterlaluan untuk disamakan dengan perilaku mengemis. Mereka berteman baik, kan? Lantas dari segi mananya Haechan bisa menyamakannya dengan pengemis?
"Aku hanya bercanda! Astaga... jangan melihatku seperti itu." Haechan terkekeh geli, merasa terhibur dengan wajah tertekuk Giselle.
"Bercandamu sama sekali tidak lucu. Aku tersinggung, tahu."
"Baiklah, baiklah, aku minta maaf. Dan aku akan mentraktirmu makan siang, katakan saja kau ingin makan di mana." Pasrah Haechan akhirnya.
"As expected, Lee Haechan. Kau yang terbaik." Senyum cerah Giselle kembali tersungging. 2 jempolnya mengacung di depan wajah Lee Haechan. Memberi 2 jempol saja rasanya masih kurang, haruskah ia tambahkan 2 jempol kaki juga?
"Hei, kalian."
Keduanya sontak menoleh pada wanita paruh baya yang berdiri sambil berkacak pinggang di tengah-tengah ruangan. Serta-merta Giselle menarik diri lalu duduk dengan tenang di kursi kerjanya— bertingkah seolah-olah obrolannya dengan Haechan tak pernah terjadi. Mrs. Robert bukan atasan yang bisa diajak bermain-main, sebagai sebatang kara yang hidup bergantung pada pekerjaannya sekarang, memantik api amarah Mrs. Robert jelas menjadi pilihan paling akhir yang akan Giselle lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Panties In A Twist (END)
FanfictionSHORT STORY 🔞🔞 CW // Markhyuck face claime, genderswitch, konten eksplisit, NSFW, bahasa baku