Six

371 44 1
                                    


Sinar cahaya yang masuk melalui celah gorden membuat pemuda yang kala itu sedang tertidur  nyenyak pun terusik. Dia mengerang tidak suka lalu membawa selimut tebal miliknya sampai ke atas kepala.

Senyum puas terpatri di bibirnya ketika merasakan tidurnya kembali nyaman tapi ternyata itu tidak berlangsung lama sebab suara ketukan di pintu.

"Abang, bangun!" Teriak Bunda Park dari belakang pintu, berusaha membangunkan putra sulungnya.

Justin membuang selimutnya di sembarang tempat lalu melangkahkan kakinya menuju pintu, terlalu berisik untuk dirinya dapat kembali tidur.

"Justin di skors pun harus banget bangun pagi kah, Bun?" Protesnya dengan mata yang masih setengah tertutup.

"Kamu kan harus nganter Adek kamu ke sekolah, lupa?" Bunda Park berkacak pinggang, "Cepat sana cuci muka dan siap-siap!" Dia mendorong punggung Justin untuk kembali masuk ke dalam kamar.

Justin menghela nafas kasar lalu berjalan menuju kasar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi.

Walau tidak mandi pun ketampanan miliknya tetap tidak pernah luntur.

Dia membuka lemari baju miliknya dan mengambil kaos hitam polos berlengan pendek dengan celana kulot yang berwana senada.

"Kenapa gak bareng Ayah aja sih lo bocil?" Justin duduk lalu mengambil roti dan mengoleskan selai coklat kesukaannya.

"Ayah ada rapat mendadak di kantor jadi gak bisa nganter Adek ke sekolah." Bunda Park menuangkan susu putih hangat di gelas milik Junghwan dan susu coklat hangat pada gelas milik Justin.

"Maaf, Bang..." Ujar Junghwan tidak enak.

Justin membuang nafas, "Makan aja yang bener, gak usah mikir aneh-aneh." Bagaimanapun juga, semua adalah Salahnya.

Andai saja dia dulu dapat menjaga dirinya sendiri pasti sekarang Adiknya tidak perlu melompati kelas hanya untuk menjaga dan mengawasi dirinya dari dekat.

Benar, Adiknya itu adalah murid akselerasi, di usianya yang masih enam belas tahun dia sudah duduk di bangku SMA yang sama dengannya.

"Pegangan." Ujar Justin sebelum menarik gas miliknya.

Junghwan menurut dan memeluk pinggang sang kakak. Merasakan tubuh kakaknya yang menegang Junghwan pun melonggarkan tangannya, berniat untuk melepaskan pelukannya.

Justin yang menyadari hal itu pun menahan tangan Junghwan, "Gak papa." Ucapnya meyakinkan sang Adik dan dirinya sendiri bahwa semua baik-baik saja.

"Jangan di paksa kalo Abang gak nyaman." Junghwan menarik tangannya, "Buruan jalan,"

Tanpa banyak bicara Justin pun mulai menjalankan motor miliknya keluar gerbang rumah.

Selama perjalanan mereka berdua terdiam dengan pikiran masing-masing.

Junghwan tahu jika hal yang kakaknya lalui tiga tahun lalu memanglah tidak mudah tapi tidak dirinya sangka setelah lamanya waktu berlalu kakaknya masih belum melupakan kejadian yang membuatnya trauma tersebut.

Wajar saja jika trauma kakaknya masih belum hilang sepenuhnya, apalagi hal itu terjadi ketika dirinya berumur empat belas tahun, tentu saja kejadian traumatis tersebut akan membekas di pikirannya seumur hidup.

"Nanti gua pulang naik taksi, Abang gak usah jemput." Ujar Junghwan ketika turun dari motor dan menyerahkan helm miliknya pada Justin.

Justin hanya mengangguk singkat kemudian menutup kaca helm full face miliknya dan pergi.

Bukannya pulang ke rumah Justin justru malah berkunjung ke rumah sahabatnya, Doyoung.

Sahabatnya itu juga di skors, sama sepertinya, hanya saja masa skorsing miliknya lebih pendek darinya.

Alter Ego? [Hajeongwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang