PM 1

467 30 9
                                    

Hari ini malam sungguh sangat sunyi, langit pun tak berpenghuni tak ada BINTANG tak ada BULAN. Hanya hembusan angin yang berhembus masuk ke kamarku melalui pentilasi jendela kamarku.

Kesunyian malam ini mewakili seluruh kesunyian kehidupanku yang begitu kelam. Hidupku bagaikan sekotak cokelat yang manis namun tak selamanya manis. Tetesan hujan bagaikan tetesan luka yang aku alami selama 15 tahun ini.

Aku Sasas anak kedua dari keluarga yang begitu sederhana. Hidupku begitu banyak rintangan maka dari itu aku selalu menganggap kalau hidup itu seperti kincir angin yang kencang saat angin berhembus kencang dan lambat saat angin tak berhembus kencang. Umurku baru menginjak usia 15 tahun, ya aku masih berstatus pelajar dan masih mengandalkan orangtuaku.

"Sasas!!!" Teriak bundaku yang merawatku dari usiaku 12 tahun. Dulu aku tinggal dengan nenekku dikampung halamanku Bogor. Semenjak nenekku meninggalkan aku ke surga, aku ikut dengan bundaku.

Flashback !!!!
"Nek kalau aku sudah besar nanti Sasas ingin menjadi dokter dan mengobati penyakit nenek."

"Kalau Sasas sudah besar Sasas harus nurut sama bunda jangan buat bunda marah sama Sasas !"

"Tapi nek apakah bunda Sayang Sasas seperti nenek sayang sama Sasas ?."

" Setiap perkataan jangan pernah dia awali dengan kata TAPI,BAGAIMANA,JIKA, APAKAH pasti hasilnya tak akan baik."

"Hmm, baik nek."

"Semua orangtua itu sayang pada anaknya, lihat kakakmu dia tak pernah mengeluh, selalu nurut, dan rajin, kamu harus ikuti dia."

"Pokoknya Sasas sayang nenek sampai kapan pun, oh ya nek Sasas punya celengan Sasas mau buka celengan untuk nenek berobat selama Sasas pergi berlibur kerumah bunda"

Aku pun pergi dan memecahkan celengan itu didekat nenekku, menghitung banyaknya uang yang aku dapatkan dari hasil menabungku. Memang cukup sedikit dan aku memberikan separuh uang yang aku dapatkan pada nenek, agar ia bisa membeli obat itu yang ada dipikiranku. Walau sebenarnya aku tahu uang itu tak cukup untuk membeli obatnya.

Setelah semuanya selesai aku dan bundaku berangkat untuk menuju kota jakarta, kota dimana bundaku bekerja untuk mencari sesuap nasi yang selama ini masuk ke dalam perutku. Selama diperjalanan hatiku mulai terasa sakit entah karena apa ada apa? Yang jelas itu sangat menyakitkan. Tiba-tiba saja buliran air mata jatuh ke pipiku, entah ada apa mengapa aku menangis pun aku tak tahu. Bunda memelukku dengan sangat erat, mencoba meredakan isak tangisku. Tak sadar aku tertidur di pangkuan bunda, aku terbangun ketika bunda membangunkanku dan mengucapkan kata.

"Sudah sampai"

Kringgg,,,kringgggg!!!! Handphone bunda berbunyi, bunda mengangkat telepon dan berbicara dengan orang yang ada di telepon yaitu bibiku. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi bunda langsung memeluk tubuhku dengan deraian air mata yang mengalir di pipinya.

"Nenek sudah pergi sas."
Aku diam membisu, tanpa sepatah kata pun terucap aku baru meninggalkannya tapi kenapa tuhan mengambilnya? Dengan sigap bunda membeli tiket pulang ke Bogor dan kami segera pergi sebelum nenek dimakamkan.

Di sepanjang jalan aku hanya bisa menangis akan bayangan masa-masaku dengan nenek, aku menggantarnya ke toilet, aku menyuapinya, aku memijati kakinya, aku bercerita dengannya, dia lah malaikatku. Nenek hanya lupa membawa sayapnya dan sekarang dia pergi mengambil sayapnya di surga, mungkin tanpa nenek aku takkan pernah merasakan kasih sayang.

Semua orang menangis di rumah ini, aku hanya diam melihat nenekku terbaring kaku dihadapanku. Benarkah ini dia? Jika aku tau dia akan meninggalkanku aku tidak akan pergi ke jakarta dan aku akan menunggunya. Seorang anak berusia 11 tahun yang dirawat dibesarkan oleh neneknya dari dia berumur 4 tahun, aku hanya duduk diam meneteskan air mata. Hidupku sudah hancur lagi kini karena orang yang menyayangiku pergi untuk kedua kalinya, ayah, dan kini engkau akan membawa nenekku pergi juga? Apakah aku tak pantas memiliki seseorang didunia ini.

Putri Malu (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang