Aku Mau Dipanggil Makan

2.3K 162 14
                                    

"Nada, makan dulu. Mama udah masakin makanan kesukaan kamu, nih."

Teriakkan mamanya di ruang makan dapat Zana dengar di kamarnya. Ah, lebih tepatnya gudang yang Zana gunakan sebagai kamar sejak kecil. Semua anggota keluarga di rumah ini tahu kalau Zana tidur di kamar itu, tetapi mereka tetap saja meletakkan semua barang tak dipakai di kamar Zana.

Untuk pindah ke kamar lain pun, Zana tak bisa karena semuanya dikunci. Tak ada yang mengizinkan dia tidur di kamar lain kecuali gudang.

Sementara untuk makan, Zana jarang makan bersama keluarganya. Sejak kecil hingga Zana berusia enam belas tahun, makan semeja dengan kedua orang tuanya dan adiknya bisa dihitung dengan jari. Gadis itu jarang diajak untuk makan bersama. Seperti saat ini, yang dipanggil orang tuanya selalu adiknya.

Zana kadang bertanya-tanya, apa bedanya dia dan Nada? Namun, Zana sama sekali tak mendapatkan jawabannya. Mamanya malah marah saat dia bertanya.

Perut gadis itu berbunyi, meronta-ronta minta diisi dengan makanan. Sejak siang, dia tak makan karena seharian di sekolah dan pulang sekolah langsung ke tempat kerjanya. Dia jarang mendapatkan uang jajan, kalau pun dapat, uang jajannya hanya sepuluh ribu. Di kantin sekolah pun tak cukup untuk membeli makanan yang kini serba mahal.

Maka dari itu Zana selalu mengambil kerja part time di toko baju anak dekat sekolahnya.

Gadis itu memberanikan dirinya untuk keluar kamar, menghampiri keluarganya yang akan makan malam bersama malam ini. Zana meneguk ludahnya susah payah saat melihat ada udah goreng di meja, itu juga makanan kesukaan dia.

Namun, baru saja Zana menampakkan wajahnya di ruang makan, mamanya langsung menatap dia sinis, sedangkan papanya menatap dia tajam.

"Ngapain kamu ke mari? Gak ada yang panggil juga," kata Gita—mama Zana.

"Aku lapar, Ma. Boleh gabung makan juga, gak?"

"Ck, ini makanannya gak cukup kalau kamu gabung. Cukupnya cuma untuk kami bertiga aja."

"Biar nasi sama sayur aja, Ma," bujuk Zana. Dia sungguh lapar saat ini.

"Gak, kamu mending puasa dulu malam ini. Makan besok pagi aja, ini cuma cukup buat kami bertiga."

"Ma—"

"Zana!" bentak Yoga sukses membuat Dana terdiam.

Kalau papanya sudah mengeluarkan suara, itu berarti harus didengar dan tak boleh untuk dibantah.

"Aku lapar," lirih Zana.

"Ke kamar sekarang, jangan ganggu kami. Jangan sampai Nada gak selera makan karena kamu," pungkas Yoga mengusir Zana.

Nada, selalu adiknya yang diperhatikan. Apa-apa selalu Nada. Zana capek. Apa dia tak bisa merasakan hal yang sama dengan Nada? Kenapa Nada terus yang ada dipikiran kedua orang tuanya?

"Pa, tapi aku lapar. Biar hanya sesuap. Dari siang belum makan, tadi pagi juga cuma sarapan roti," bujuk Zana, berharap papanya mau memberikan dia makan malam ini.

"Emang makan roti gak cukup bikin kamu kenyang? Kamu juga tubuhnya kecil kayak gitu, gimana bisa makan banyak?"

Tubuh Zana memang kecil, dia kurus bahkan pendek. Mungkin ini karena dia yang jarang makan.

"Tapi aku lapar, Pa."

"Udah, gak usah makan. Kamu mending ke kamar aja, belajar yang bener."

Mau tak mau dan dengan keadaan lapar, Zana kembali ke kamarnya. Malam ini sepertinya Zana hanya bisa menahan laparnya. Seandainya dia sudah menerima gaji, pasti dia sudah akan keluar untuk mencari makanan.

***

Tengah malam Zana terbangun lantaran perutnya Terus berbunyi, tadi untuk mengganjal perutnya, Zana memilih untuk minum hingga perutnya terasa penuh dengan air. Namun ternyata dia kembali merasakan lapar.

Zana bangkit dari tidurnya dan langsung menuju dapur. Barangkali ada sisa makanan mereka makan tadi, walau hanya sesuap. Zana sangat lapar.

Bersyukur semua orang rumah sudah tidur, jadi Zana bisa melihat makanan sisa mereka makan tadi. Gadis itu sebenarnya bisa saja memasak untuk dirinya, tetapi dia tak diizinkan untuk mengambil apa pun yang ada di dalam kulkas, kata mamanya semua yang di kulkas adalah milik Nada.

Hal pertama yang Zana lihat saat di dapur adalah lemari-lemari kecil yang ada di atas kitchen set. Namun dia sama sekali tak menemukan makanan, biasanya mamanya menyimpan makanan di lemari kecil ini.

Saat sibuk mencari makanan, kakinya tak sengaja menyenggol tong sampah, membuat Zana langsung saja menghentikan gerakan tangannya membuka lemari. Dia harus secepatnya membereskan itu sebelum mamanya atau papanya bangun dan memarahinya.

Zana tadinya ingin secepat mungkin membereskan tong sampah itu, tetapi urung saat melihat isi dari tong sampah yang tak lain adalah sisa makanan. Mungkin saja itu sisa makanan di piring mereka tadi yang tak habis, kemudian mereka buang.

Gadis itu tak menyangka kalau ketiga anggota keluarganya tak menghabiskan makanannya, kemudian mereka membuangnya setelah makan. Kenapa tak diberikan saja padanya? Sisa makanan siapa pun itu, akan Zana makan. Dia lapar.

Mau tak mau, Zana mengumpulkan udang goreng yang mencapai sepuluh ekor. Biarkan saja kotor, asal dia bisa makan. Toh isi tong sampahnya hanya sisa makanan mereka, belum lagi tong sampahnya di pakaikan kresek hitam, jadi tak begitu kotor.

"Hari ini makan ini dulu, semoga besok bisa makan yang lebih bagus," monolog Zana.

Gadis itu berdoa, semoga saja besok pagi dia bisa makan makanan yang lebih layak lagi. Ah, harusnya dia berdoa semoga besok mamanya memanggil dia makan bersama.

Namun, apakah mamanya akan memanggil dia makan? Tiap hari, yang selalu dipanggil makan selalu adiknya, Zana semakin tak pernah dipanggil makan oleh mamanya. Sehabis mereka makan, biasanya sudah tak ada sisa makanan yang bisa Zana makan. Semuanya ludes tak tersisa.

***

Haloooo

Akhirnya aku bisa update setelah sekian lama sibuk sama kerjaan.

Gimana sama part ini?

Mau mengingat buat pembaca untuk siapin tisu dari sekarang.🤭

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Btw, KALILA extra part sebenarnya udah ada, cuma aku kurang sreg, jadi mau aku ubah dulu baru aku update. Sambil nungguin update KALILA extra part, yuk baca ini dan tinggal jejak yah.

Spam next jangan lupa

Bye bye

Maaf, Aku Menyerah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang