Zana memasuki rumah dengan mengucapkan salam, tetapi penghuni di rumah mereka sama sekali tak menggubris Zana. Mamanya malah sibuk dengan adiknya, bahkan Zana dapat mendengar saat mamanya beberapa kali membanggakan adiknya.
"Kamu jangan kayak anak sialan itu, gak bisa apa-apa, bisanya cuma bikin orang tua susah," ucap Gita membuat Zana terdiam.
Gadis itu harusnya tak perlu izin untuk tak masuk bekerja, dia tak menyangka disambut dengan perkataan pedas dari mamanya. Zana menunduk, matanya memanas menahan tangis. Sejak kecil, dia selalu dibandingkan dengan adiknya, disalahkan, disiksa baik fisik maupun batin, kadang tak diizinkan makan. Semua penderita ada di rumah ini.
Dulu, Zana kira dia mendapatkan siksaan dari kedua orang tuanya karena dia nakal, atau karena dia suka sekali mencuri cupcake kesukaan adiknya di kulkas. Namun, lambat laun Zana sadar, kedua orang tuanya membencinya, tanpa sebab. Apa memang dia dilahirkan hanya untuk dibenci? Kenapa ada orang tua yang membenci anaknya? Kenapa saat dia di kandungan mamanya tak menggugurkan dia saja?
"Ngapain kamu masih di situ? Sana! Merusak penglihatan mata," teriak Gita seraya melemparkan vas bunga yang di meja pada Zana.
Gadis itu sama sekali tak menghindar, membuat vas bunga itu mengenai perutnya dan jatuh di lantai, pecah berserakan di mana-mana. Yang seperti ini sudah sering terjadi, sudah sering Zana dilempari vas bunga seperti ini, paling parah pernah dilempari pakai gunting yang mengenai kepalanya hingga berdarah dan butuh jahitan.
Saat itu, Zana pergi sendiri ke puskesmas, meminta untuk diobati lukanya karena darahnya sama sekali tak berhenti, tetapi kata dokter itu perlu dijahit. Zana mandiri, dia tak mau merepotkan siapa pun. Siapa pun? Gadis itu lupa, dia tak punya siapa pun yang bisa membuat dia berbagi cerita. Papa membencinya lebih dari mamanya, adiknya tak suka melihatnya, teman-teman di sekolah banyak menjauhinya, membuat Zana tersadar, dia hanya seorang diri tanpa ada yang menguatkan dia.
Walau begitu, Zana menyayangi kedua orang tuanya, menyayangi adiknya.
"Awas kalau pecahannya gak kamu kumpulin," ancam Gita membuat Zana mengangguk kemudian mengumpulkan pecahan vas bunga tadi.
Gadis itu tak banyak protes, dia langsung menyimpan tas lusuhnya secara asal, kemudian mengumpulkan pecahan vas bunga dengan telaten. Hal seperti ini sudah biasa, kalau pun tangannya luka, dia sama sekali tak merasakan. Luka di hatinya lebih sakit di bandingkan dengan luka di tubuhnya.
Kapan mamanya bisa bahagia melihatnya? Kapan mamanya bisa tertawa melihatnya? Kapan dia disambut hangat bila pulang sekolah? Kapan dia diberikan kasih sayang? Zana tak mengenal apa itu kasih sayang, tak mengenal cinta kedua orang tua, yang dia kenal hanyalah amarah dari kedua orang tuanya dan segala rasa sakit yang dia dapatkan.
Gadis itu mendongak, menatap mamanya yang memeluk Nada dengan bangga. Dia tak pernah dipeluk seperti itu.
"Ma," panggil Zana membuat Gita mendelik tajam.
"Zana kapan dipeluk kayak Nada?" tanya Zana.
Entah kenapa, pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontarkan, membuat Gita yang tadi memeluk anak kesayangannya kini melepaskan pelukannya dan menghampiri Zana.
Gadis itu tersenyum kecil, berharap mamanya memeluknya, tetapi harapannya sama sekali tak terwujudkan. Gita malah menginjak tangannya yang sedang mengumpulkan pecahan vas bunga, membuat beberapa serpihan pecahan itu menancap di telapak tangannya.
"Ah! Mama sakit, tangan Zana sakit, Ma. Jangan diinjak," mohon Zana.
"Jangan terlalu berharap, Zana. Kamu itu gak lebih dari kotoran di rumah ini, kami masih mau nampung kamu di sini," ucap Gita penuh penekanan. Tangan wanita itu menarik rambut Zana, sementara kakinya masih menginjak sebelah tangan Zana.
"Sakit, Ma," lirih Zana.
Harusnya tadi dia tak perlu bertanya, alhasil mendapatkan luka lagi. Luka di tangan dan luka di hati.
***
Zana meringis pelan seraya mencabut pecahan vas bunga yang tertancap di telapak tangannya. Rasanya begitu perih, apalagi saat pecahan kaca itu keluar dari kulitnya. Seragam sekolahnya juga dipenuhi oleh banyak darah, membuat Zana yakin noda darah ini pasti sulit untuk dibersihkan, belum lagi tangannya sangat sakit untuk mencuci baju.
Gadis itu kemudian membersihkan tangannya, dengan kapas dan juga rivanol, cairan pembersih luka. Zana mendapatkan cairan itu saat dulu pernah berobat di Puskesmas.
Setelah membersihkan tangannya dan mengobatinya dengan Betadine, Zana langsung membaringkan tubuhnya. Rasanya begitu lelah setelah pulang sekolah langsung disuruh membersihkan vas bunga, padahal dia pulang ke rumah berjalan kaki. Belum lagi tadi dia kembali dipukul tepat di punggungnya dengan kemoceng.
Mata Zana menatap langit-langit gudang yang sudah menjadi kamarnya sejak dulu, membayangkan hal yang sangat dia inginkan sejak dulu, yaitu mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Zana mengingat dulu dia pernah bertanya pada mamanya, perihal surga yang berada di telapak kaki ibu.
"Ma, katanya surga ada di telapak kaki ibu, kira-kira gimana cara aku supaya bisa dapat surga itu?"
Gita yang mendengar pertanyaan Zana pun menoleh, dia mendelik tajam pada anak yang sama sekali tak pernah mendapatkan kasih sayang darinya.
"Gak akan ada surga untuk anak pembawa sial kayak kamu."
Itulah jawaban mamanya, membuat Zana tersadar, mungkin saja mamanya tak sudi dia bisa memperoleh surga. Mungkin saja mamanya ingin dia berada dalam neraka.
"Kenapa?"
Gadis itu seharusnya sudah tahu jawabannya, tetapi dia tetap nekat untuk bertanya.
"Karena saya sama sekali gak anggap kamu anak saya, Sialan!" teriak Gita.
"Terus kenapa aku dirawat dan dibesarkan?" tanya Zana membuat Gita menyeringai.
"Untuk ajang balas dendam, Zana. Kamu itu gak ada harganya, begitu juga dengan hidupmu."
"Kalau Zana pergi, Mama sedih?"
"Banyak tanya. Saya malah bahagia kalau kamu pergi, untuk selamanya," balas Gita membuat Zana tersenyum kecil.
Sampai kapan dia menderita? Sampai kapan dia harus merasakan penyiksaan batin dan fisik dari kedua orang tuanya? Sampai kapan rumah ini menjadi neraka baginya?
***
Yahoooo
Akhirnya aku bisa update setelah menyiapkan mental buat nulis ini. Jujur aja, mentalku kurang kuat buat nulis ini, aku menempatkan diriku sebagai Zana. Membayangkan apa yang akan terjadi padaku kalau aku sebagai Zana?
Aku gak kuat. Kalian juga pasti gak kuat, kan? Coba jawab di kolom komentar.
And last, jangan lupa ikutan PO Kalila di Shopee atau Tiktok yah. Dijamin murah meriah guys.
Jangan lupa tinggalkan jejak yah
Bye bye
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf, Aku Menyerah
Teen FictionHanya Nada satu-satunya anak yang dianggap kedua orang tuanya, tidak dengan Zana. Dia disalahkan tanpa sebab, dimarahi tanpa berbuat salah, dipukul tanpa ampun. Namun, Zana sama sekali tak marah, dia masih saja menyayangi kedua orang tuanya. Orang y...