Aku sempat bercerita sedikit pada Aysha lewat chat, tentang perdebatan yang terjadi di antara aku dan Radit sebelum Teh Ranti menelepon. Itulah mengapa, ketika sambungan nomorku kembali tersedia, enggak lama nama Aysha muncul menghiasi layar ponselku. Dan di detik pertama mengangkatnya, aku langsung terisak seperti anak kecil yang baru saja melakukan kesalahan besar.
Rasa bersalah dan malu menghimpit dada. Terasa sesak dan memuakkan, seperti ada yang ingin meledak dari dalam. Aku menangis tersengguk-sengguk dan enggak bisa mengucapkan apa-apa. Aysha jadi panik. Dia mencoba menenangkan, tapi selalu gagal. Tampaknya rasa bersalah yang mengendap sudah terlampau besar. Hingga membuatku enggak berani menghadapi Radit sampai detik ini.
"Sebetulnya kamu kenapa, Mia? Sejak kemarin kamu berubah banget," tanya Radit yang tengah menyetir pelan. Dia menyempatkan diri untuk menggenggam tanganku.
Lalu lintas yang sedang cukup padat, membuat Radit enggak bisa berlama-lama mengalihkan pandangan. Aku menoleh. Memaksa ujung bibirku terangkat meski sedikit, ketika tatapan kami bertemu. Dia menarik napas dalam. Kerutan di keningnya seolah bertambah akibat ulahku yang tiba-tiba mendiamkannya.
"Kalau memang begitu susah untuk mengiakan, aku enggak akan memaksa lagi. Aku enggak mau kita jadi menjauh, seperti sekarang. Diamnya kamu kali ini beda, Mia. Beda dari sebelum-sebelumnya," tegasnya lagi, menyertakan kesimpulan di akhir kalimat.
Ucapan Radit membuatku kembali merenung. Menatap kosong ke jalanan yang ada di hadapan. Sementara Radit masih terus berbicara. Mengungkapkan isi hati dan emosi yang dia pendam sendiri. Aku mendengar, tapi enggak punya tenaga untuk merespons. Namun, lain halnya dengan lamunanku. Dia mampu berlarian ke mana-mana, hingga akhirnya berhenti di percakapanku dengan Aysha kemarin.
"Tindakan Radit itu make sense banget sih, Mi. Kalau gue jadi dia, pasti gue juga akan ngelakuin hal yang sama. Siapa sih, yang enggak mau membahagiakan orang tua? Mana posisinya terdesak begitu. Cuma dia satu-satunya harapan yang keluarganya punya. Tapi, gue enggak akan nge-judge lo terlalu egois atau gimana. Wajar kalau lo merasa kayak dijebak. Menurut gue ya, tetehnya Radit memang ada salahnya juga. Seharusnya doi bilang dari awal kalau memang mengharapkan lo langsung beranak setelah nikah sama adeknya. Hm... Gue cuma bisa bilang, apapun keputusan lo, gue bakal selalu dukung seratus persen, Mi. Cuma lo yang tahu, apa yang bisa bikin lo bahagia. Maybe, dengan mengorbankan ego dan berusaha membahagiakan semua orang, atau mungkin, dengan jujur ke Radit, keluarganya, juga keluarga lo. Kasih tahu mereka apa yang lo mau, juga alasannya. Kalau misalnya setelah diobrolin, masih belum ada jalan keluar, ya ... mungkin lo dan Radit memang nggak ditakdirkan untuk satu sama lain, Mi."
Kata pisah enggak pernah tebersit di kepalaku sebelumnya, kalau bukan Aysha yang memaparkan kemungkinan terburuk itu. Berpisah sama Radit? Apa egoku begitu tinggi sampai membuatku rela melepas lelaki sebaik ini?
"Enggak! Enggak mau!"
Teriakan kencang lolos dari mulutku yang semula mengatup rapat. Bersamaan dengan mengalirnya cairan bening dari setiap sudut mata. Aku menangkup wajah dengan kedua tangan. Ingin menyembunyikan bukti dari ketakutanku akan perpisahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mia as a Wife (TAMAT)
General FictionBegitu selesai diwisuda, Mia dijodohkan kakaknya dengan Radit, lelaki mapan dan cukup tampan yang sedang bekerja sebagai auditor di York, Inggris. Mia yang belum punya rencana setelah lulus kuliah, akhirnya terbujuk menerima perjodohan karena dukung...