"Mama, Papa!" panggilku penuh semangat ketika melihat sosok dua orang terpenting dalam hidupku muncul dari balik pintu keluar stasiun. Untungnya, rasa gelisah dan stres yang beberapa hari lalu masih mengendap di hati sudah hampir hilang. Kehadiran Mama dan Papa membuatku lupa dengan apa yang tengah memenuhi kepala.
Aku dan Radit melambaikan tangan, sampai akhirnya mereka melihat keberadaan kami. Enggak terasa, sudah dua bulan aku enggak bertemu mereka berdua. Ini rekor terlama bagiku karena seumur hidup aku enggak pernah terpisah lama dan sejauh ini sama Mama dan Papa.
Aku berlari menyambut mereka dan langsung memeluk Mama. Setelah puas, baru aku memeluk Papa. Hal yang pertama Mama lakukan begitu melihat anak bungsunya ini adalah memperhatikanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mungkin diam-diam Mama waswas, takut anaknya kurang terawat karena tinggal sendiri di negeri orang. Tentunya enggak ada yang kurang atau berubah. Justru menjadi lebih baik karena Radit sudah menjadi suami yang berkualitas selama ini.
"Hei, Radit. Apa kabar? Makin kasep wae. Berisi, yah, sekarang? Udah ada yang ngurus mah beda." Mama mulai menyerbu Radit dengan pertanyaan basa-basi yang langsung dijawab dengan tawa cengengesan darinya.
"Alhamdulillah, Ma. Mia jagoan ngurus Raditnya," balas Radit dengan senyum semringah. Kami berdua kelihatan banget salah tingkah. Apalagi Mama sama Papa juga melihat kami sambil menaik-turunkan alis. Happy banget menggoda anak orang.
"Hayu Ma, Pa, langsung ke apartemen aja, ya? Jalan-jalannya nanti malam ke yang deket dulu. Pada capek, enggak? Atau mau sekalian besok aja? Tapi sama Mia doang, Radit enggak bisa cuti. Baru Jumat kemarin dia cuti," tanyaku sekaligus mengabarkan panjang lebar. Papa cuma mengangguk karena keputusannya terserah Mama. Seperti biasa.
Akhirnya kami berempat mulai berjalan ke arah mobil kantor yang Radit pinjam dari kemarin. Lama-lama aku mulai berpikiran buat beli mobil sendiri. Agak repot juga kalau misalnya butuh mendadak, tetapi enggak ada mobil kantor yang bisa dipinjam. Walaupun selama ini selalu ada mobil kantor yang enggak terpakai saat kami butuh kendaraan seperti sekarang.
"Malam boleh, sih. Kita keluar sekalian makan malam aja. Biar kamu enggak usah masak," sahut Mama. Aku langsung mengangguk bahagia. Jadi enggak harus masak malam ini. Asyik!
"Radit, Mia bisa masak enak, enggak? Mama tuh khawatir. Dia kan enggak bisa masak. Paling bikin telor ceplok sama mi instan doang. Teu sehat pisan."
Radit menoleh ketika namanya disebut. Dia mempercepat langkah kakinya supaya bisa berjalan sejajar denganku, Mama, dan Papa. Dari tadi Radit jalan di belakang kami bertiga sambil membawakan koper-koper. Kasihan juga suamiku ini. Berasa jadi porter.
"Alhamdulillah udah ada kemajuan, Ma. Mia ikut kelas masak soalnya," jawab Radit jujur.
Aku menghela napas lega. Padahal setelah ikut kursus masak, jumlah makanan proper yang aku masak buat dia masih bisa dihitung pakai jari. Harap maklum, jiwa malas gerakku kadang lebih mendominasi. Ujung-ujungnya aku cari gampang, masak pakai bumbu instan lagi. Akan tetapi, aku sudah bertekad, kok, akan semakin rajin memasak buat Radit. Semangat!
KAMU SEDANG MEMBACA
Mia as a Wife (TAMAT)
General FictionBegitu selesai diwisuda, Mia dijodohkan kakaknya dengan Radit, lelaki mapan dan cukup tampan yang sedang bekerja sebagai auditor di York, Inggris. Mia yang belum punya rencana setelah lulus kuliah, akhirnya terbujuk menerima perjodohan karena dukung...