Aku enggak bisa menjelaskan, tetapi yang jelas aku super kecewa sama Radit. Habis mau bagaimana lagi. Aku merasa dibohongi dan ditipu. Kupikir selama ini, dia benar-benar nyaman dengan aturan baru yang aku terapkan dalam tata cara berhubungan kami, tetapi ternyata aku salah.
Dia memang sudah meminta maaf terus-menerus sejak kemarin. Radit juga menjelaskan kekhilafannya yang terjadi akibat terbawa suasana. Katanya dia baru sadar setelah melewati puncak, sementara aku terbiasa langsung terlelap begitu selesai. Jadi aku enggak menyadari apa pun, karena begitu bangun, Radit sudah selesai mandi.
Dia juga sempat mendebat kekecewaanku. Berulang kali mengingatkan keputusan yang sudah aku ambil kemarin, dan mengatakan kalau seharusnya kami bersyukur kalau aku sudah hamil sekarang. Karena memang itu yang kami berdua harapkan. Namun, tetap saja. Aku sudah telanjur kesal dan kecewa.
Mama dan Papa yang enggak terbiasa dengan interaksiku dan Radit setelah menikah, keheranan melihat tingkah anak juga menantunya. Apalagi Radit mendadak berubah jadi budak sejak tadi pagi. Dia sengaja bangun subuh untuk membuat sarapan, cuci piring, memasukkan baju kotor ke mesin cuci, sampai menyapu lantai sebelum berangkat ke kantor. Sementara Mama dan Papa terkagum-kagum, aku malah mencebik dan enggak menghiraukan. Mama sampai menggetok kepalaku, karena katanya aku enggak menghargai suami.
Aku salah, sih. Radit pamit pergi ke kantor, malah aku diamkan. Dia menghampiriku untuk mencium, malah aku kasih tatapan galak. Biarin, deh. Untuk hari ini saja. Aku mau menghukum Radit, sebelum mengampuninya besok. Aku juga berhak marah, kan?
"Mia, kamu beli test pack aja atuh. Biar enggak penasaran terus. Mama kasihan sama Radit. Sampai segitunya sama kamu. Kayaknya dia berharap banget kamu hamil," celetuk Mama ketika kami sedang berjalan-jalan di York Museum Gardens yang tempo hari aku datangi sendiri.
"Sebenernya Radit memang berharap banget aku hamil, Ma. Tapi, akunya yang belum siap," jawabku jujur.
"Lho? Katanya kalian udah sepakat enggak menunda lagi?" tanya Mama.
"Jadi ini, perbedaan yang kamu bilang kemarin, Mia?" Papa ikutan melempar pertanyaan.
Aku mengangguk lemah. "Iya, Ma, Pa. Sekarang aku udah mau, kok. Tapi, baru beberapa hari yang lalu, maunya. Kemarin-kemarin, aku sama Radit sempat berantem dulu. Dia maksa, aku enggak mau. Jadi ya, gitu. Pusing."
Semangatku untuk berjalan-jalan mulai lenyap. Penyebabnya, ya, karena topik ini. Namun, sepertinya memang lebih baik aku jujur sama Mama dan Papa. Daripada memikirkan semuanya sendirian. Untuk masalah Teh Ranti, aku enggak berani bilang. Itu terlalu pribadi. Takut kenapa kenapa nantinya.
"Tuh, kan. Mama udah nebak kalo kamu sama Radit lagi ada masalah. Dari kemarin Mama lihat, kamu sering nyuekin Radit. Kebalikan sama Raditnya yang kelihatan banget ngejar-ngejar kamu. Kamu teh kenapa sih? Meni enggak mau pisan punya anak?" tanya Mama enggak habis pikir denganku. Papa juga sejak tadi enggak mengalihkan pandangan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mia as a Wife (TAMAT)
General FictionBegitu selesai diwisuda, Mia dijodohkan kakaknya dengan Radit, lelaki mapan dan cukup tampan yang sedang bekerja sebagai auditor di York, Inggris. Mia yang belum punya rencana setelah lulus kuliah, akhirnya terbujuk menerima perjodohan karena dukung...