Bab 3: Ojek Payung Dadakan

133 7 3
                                    

"Sudah saya katakan, saya yang pesen. Kamu tinggal makan. Saya nggak mau asisten saya sakit karena kelaparan saat lembur." Prof. Amran tertawa. "Sudah, ya. Selamat makan. Semoga kamu suka."

Ketika pintu perpustakaan didorong dari luar dan abang ojol masuk, refleks Mei mendongak dan ia menepuk jidat karena lupa untuk menunggu pesanan makanan itu di luar ruangan. Sebelum pria berjaket hijau itu bertanya pada penjaga perpustakaan, Mei sudah bangkit dan bergerak menyongsongnya.

"Dengan Mbak Mei?" Abang gojek itu menyapa lebih dulu ketika Mei sudah berada di depannya.

"Iya, Mas. Mau anter pesenan, ya?" Mei membalas senyum abang ojol.

Abang ojol mengiyakan pertanyaan Mei. "Tadi ada pesanan ayam geprek dan jus mangga dari Pak Amran. Katanya buat Mbak." Ia mengulurkan kantung kresek di tangan. Wangi ayam goreng menyelip di antara aroma woody dari pengharum ruangan di perpustakaan.

"Makasih banyak, Mas." Kantung kresek berpindah tempat dalam hitungan detik. Mei memberi tip yang disambut semringah. Ia kembali ke tempat semula setelah transaksi selesai.

Merasa belum yakin dengan pemberian Prof. Arman, Mei menelepon pria itu. "Maaf, Prof, ini beneran buat saya? Halal buat saya makan?"

"Halal." Amran berujar santai.

"Makasih, Prof." Hening sejenak. Sepotong pertanyaan mampir di benak Mei. Mengabaikan perasaan tidak enak, Mei nekat bertanya. "Tapi Prof makan apa?"

"Saya juga sudah mesen makan."

"Baik, Prof. Sekali lagi terima kasih."

"Sama-sama. Oh, iya, jangan pulang terlalu malam. Udara malam sangat dingin."

"Ya, Prof. Saya cuma sampai jam delapan, kok." Mei segera menyudahi basa-basi lalu meneruskan pekerjaan.

Tumpukan kertas jawaban melupakan Mei dari makan malam. Ia harus segera menyelesaikan koreksian dan makan akan mengurangi banyak waktunya. Mei memilih mengganjal perut dengan jus mangga dan sepotong roti cokelat kacang yang sempat dibelinya tadi siang.

Jam dinding sudah menunjuk angka delapan ketika Mei membereskan kertas-kertas ujian Mahasiswa semester lima. Semua sudah selesai dikoreksi. Ia tinggal merekap nilai dan menyerahkan pada Prof Amran besok.

Mei menggeliat, merenggangkan otot-otot tubuh yang penat lalu berkemas. Dua penghuni lain melakukan hal serupa. Setelah saling menyapa dan berpamitan, keduanya pergi lebih dulu. Mei masih harus merapikan memasukkan kertas-kertas jawaban ke dalam map plastik dan menyimpannya ke dalam tas jinjing bersama sekotak ayam geprek.

"Mau nginep, Mbak?" Penjaga perpustakaan tersenyum jenaka. Ia mengambil buku-buku dari meja dan memasukkannya ke dalam troli. Mungkin dia baru akan mengembalikan ke rak besok pagi. Tidak ada yang ingin tertinggal sendirian di gedung ini saat malam.

"Eh, tungguin bentar, Mbak. Saya sudah selesai, kok." Mei mempercepat gerakan tangannya membereskan alat tulis. Ia turun ke lantai satu bersama petugas perpustakaan. Perempuan itu sudah ditunggu suaminya ketika mereka sampai di selasar gedung fakultas. Tinggallah Mei sendirian.

Mei membuka ransel, mencari payung lipatnya. Tidak ada. Mei menepuk jidat. Dia pasti lupa memasukkan payung kuning itu tadi pagi.

Segera, Mei melepas jaket, bersiap menutupi kepalanya. Walaupun tinggal gerimis tersisa, jarak selasar sampai parkiran cukup jauh. Ia bisa basah jika nekat menerobos hujan tanpa pelindung.

Namun, belum sempat kakinya melangkah menuruni tangga selasar, bayangan payung menaungi tubuhnya tercetak di lantai selasar.

Mei menoleh. Di sampingnya berdiri Amran. Payung di tangan pria itu terkembang, menaungi tubuh Mei. "Butuh payung sampai ke parkiran?" Amran bertanya dengan suara renyah.

Menikahi Bujang Karatan (Tamat di Karyakarsa dan KBM App)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang