Amran sedang tidak ingin melibatkan diri dalam perdebatan. Anggukan sudah cukup melegakan ibunya.
"Tapi, Bu, nanti kalau ...." Mei masih berusaha mengelak.
"Nggak akan terjadi apa-apa sama Ibu. Pokoknya kamu pulang diantar Amran. Ibu nggak mau kamu pulang sendiri. Titik."
Nah, Ibu mulai merajuk. Dalam hati Amran menyesalkan sikap ibunya yang merajuk pada Mei padahal mereka belum lama saling kenal. "Saya antar pulang, Mei." Akhirnya Amran memutuskan untuk memotong perdebatan dua perempuan itu. Ia capek dan malas melihat adu kata Ratih dan Mei.
"Ta-tapi, Prof."
Amran mengerjap, memberi isyarat pada Mei agar menurut. "Mau pulang sekarang?"
"I-iya, Prof."
"Nah, gitu, dong, Cah Ayu. Kalau kamu pulang sendiri, malah Ibu nggak tenang. Nanti tensinya naik."
Bibir Ratih melengkung.
Amran berdeham. Kalau sudah ngadi-adi, ibunya bisa sangat hiperbolis.
Mei tersenyum gugup. Ia memasukkan Al Qur'an ke dalam tas lalu mencangklongnya di pundak kanan. Dalam hati Mei berharap Prof Amran tidak benar-benar akan mengantar. Ia hanya berpura-pura di depan ibunya.
"Nduk, besok-besok, tetep temani Ibu, ya. Ibu seneng denger cerita kamu "
"Iya,, Bu. Insyaallah." Mei tidak punya ide sama sekali dengan cara apa menemani Ratih setelah ada Amran. Hanya demi sopan santun ia menyetujui permintaan Ratih.
Ratih tersenyum lalu mengedipkan mata pada Amran.
Amran menatap ibunya seolah ingin berkata, apaan, sih, Ibu ini. Amran yakin, setelah ini Mei akan jadi bahan obrolan ibunya tujuh purnama sampai Mei mengumumkan kalau dirinya sudah punya pacar, mau menikah, atau malah sudah punya suami. Amran tidak tahu banyak tentang Mei.
"Tolong jangan tolak keinginan Ibu."
Belum sempat Mei meminta Amran mengurungkan niat untuk mengantar pulang, pria itu sudah membuka obrolan lebih dulu.
Sembari terus mengayunkan kaki, Mei menoleh. Matanya bertemu sisi wajah Amran karena lelaki itu menatap lurus ke depan.
"Ibu hanya ingin berterima kasih padamu. Kuharap kamu tidak menolak."
"Baik, Prof." Mei berujar pelan. Ia tahu, jika Amran bicara dengan wajah dan nada datar, itu artinya dia tidak ingin dibantah. Jadi Mei memilih diam. Dia bisa mengambil motor nanti sore atau besok pagi.
Sesampainya di parkiran, Amran menekan kunci otomatis lalu membukakan pintu untuk Mei. Tak lama kemudian, Honda Jazz miliknya keluar dari rumah sakit menuju utara kota Yogyakarta.
Mei memilih diam karena Amran pun tidak memulai obrolan. Ia terkejut ketika mobil berbelok ke kedai bebek goreng cukup terkenal di Yogyakarta.
"Kamu pasti belum makan. Kita makan dulu." Lagi-lagi sebelum Mei bertanya, Amran sudah menjelaskan, seolah ia tahu jalan pikiran Mei.
Dengan sikap dan nada bicara yang sama, Mei memilih mengikuti keinginan Amran. Dadanya berdebar, tidak bisa membayangkan bagaimana satu meja makan dengan Amran, hanya berdua. Mungkin ia tidak akan bisa menghabiskan makan karena gugup.
Mei pernah beberapa kali makan satu meja, tetapi dengan dua asisten lain yang semuanya laki-laki. Ia menjadi makhluk paling cantik dan lebih banyak diam mendengar obrol Amran dan dua asistennya. Ia merasa segan harus ikut masuk dalam pusaran pembicaraan jika tidak diminta.
"Maaf, Prof, apa saya bisa dibungkus? Saya makan di rumah saja."
"Oke." Amran menuliskan pesanan dan memberikan pada pelayan.
Mei tersenyum lega karena tidak perlu bersilang kata dengan Amran.
"Maaf, Prof, kenapa ada tiga kotak? Saya bisa kekenyangan." Mei menatap heran Amran ketika menerima satu kantung berisi tiga kotak makanan.
"Kalau nggak salah kamu serumah sama dua orang, kan?"
"Kok, tahu, Prof?"
"Saya pernah lihat kamu bungkusin dua paket makanan waktu kita makan di luar."
"Oh " Mei tidak punya kata lagi untuk berkomentar. "Terima kasih, Prof, sudah traktir teman saya juga." Mei tidak menduga jika Amran cukup detail memperhatikannya. Ia jadi overthinking. Godaan-godaan Aina dan Najma berkelebatan di kepala. Astagfirullah, Prof. Amran baik karena aku sudah jagain ibunya, bukan karena ada rasa. Jangan mimpi, Mei. Kamu cuma bekas orang lain, tidak pantas dapat Prof. Amran.
Amran tersenyum kemudian mengayunkan kaki menuju parkiran. Jalanan siang itu sangat padat sehingga waktu tempuh cukup lama.
Debar di dada Mei tak kunjung hilang sehingga ia memilih diam sambil mengamati keadaan di luar lewat kaca mobil.
"Kita berhenti di sini, Prof. Mobil tidak bisa masuk gang ." Mei menunjuk gang sempit di dekat halte trans Jogja.
"Makasih banyak sudah nungguin Ibu. Tolong maafkan kalau Ibu cerewet dan merepotkan."
"Tidak, Prof. Beliau sama sekali tidak cerewet dan merepotkan. Saya pamit dulu. Terima kasih sudah diantar."
Mei mengangguk sopan lalu turun dari mobil.
Sekembalinya dari mengantar Mei, Amran membuka catatan dan menghubungi BlueMoon. Ibunya sedang tidur. Jadi dia ada waktu untuk membuat janji.
Amran berbasa-basi dan setelah mengobrol intens, mereka berjanji akan ketemu malam Minggu pekan depan di salah satu kafe dekat Malioboro.
Jika kondisi stabil, ibunya bisa pulang Selasa atau Rabu depan. Jadi dia masih ada waktu bersiap sebelum kencan.
Atas permintaan Ratih, Amran meminta Mei datang membantu ketika hari kepulangan tiba.
Sebenarnya Amran tidak enak harus melibatkan Mei lagi dalam urusan pribadinya, tetapi seperti biasa, ibunya merajuk dan hanya bisa diluluhkan dengan mendatangkan Mei.
"Besok Minggu jadi buat tiramisu, Cah Ayu?"
Ratih bertanya ketika Mei akan pamit. Mereka sudah sampai rumah. Ratih masih harus menggunakan kursi roda, tetapi kondisinya stabil sehingga boleh pulang.
"Insyaallah, Bu. Saya beli bahannya dulu baru ke sini. Jadi mungkin agak siangan."
"Kamu ke sini saja dulu. Beli bahan biar diantar Amran."
Amran tersedak. Sejak kapan ia harus terlibat dalam perjanjian antar dua perempuan itu?
"Tidak usah, Bu. Nanti malah jadi tambah siang bikin kuenya karena harus bolak-balik."
"Eh, Deket sini ada kok toko bahan roti. Pokoknya kamu harus ke sini dulu."
Mei menoleh pada Amran sekilas. Pria itu meletakkan nampan dengan tiga cangkir teh di meja lalu mengerjapkan mata.
Mei menghela napas. Ia melengkungkan bibir. "Baik, Bu. Besok saya ke sini lagi. Saya pamit ya, Bu."
Mei mencium tangan Ratih kemudian meninggalkan ruang tengah.
"Diminum dulu tehnya, Fan."
"Mei, Prof. Bukan Fanny."
"Ah, iya. Sorry."
Sambil menahan senyum geli, Mei mengambil cangkir lalu mengabiskan isinya dan pergi cepat-cepat. Jantungnya tidak aman terus berada di dekat Amran. Ia mulai oleng setiap kali melihat senyum Amran
"Mau pergi ke mana, Ran?" Malam Minggu. Ratih menelisik tubuh Amran. Putranya mengenakan kemeja biru laut dengan sweeter maroon dan jeans biru langit. Ia bisa menghidu aroma sampoo dan wangi parfum dari tubuh Amran.
"Kamu mau apel ke kosan Mei?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Bujang Karatan (Tamat di Karyakarsa dan KBM App)
RomanceLima tahun setelah bercerai, Mei memutuskan melanjutkan kuliah. Di kampus, ia berkenalan dengan Amran, dosen berumur 45 tahun yang masih jomlo. Karena menjadi asisten Amran , keduanya menjadi dekat dan saling jatuh cinta. Sayang, Amran justru mengin...