13. Hurricane

126 13 5
                                    

Jika diibaratkan, Mars adalah badai. Badai yang akan menghancurkan apa pun yang dilewatinya. Ya, Mars adalah badai sesungguhnya. Dia itu keras dan suka sekali membuat masalah. Sejak hari pertama kedatangannya ke sekolah, lelaki itu sudah berlagak seperti bos yang berkuasa. Ia juga senang berkelahi dengan tujuan menunjukkan bahwa dirinya kuat.

Tidak heran jika banyak orang, baik teman ataupun musuh yang pernah dikalahkan oleh Mars bergaul dengannya. Menganggap Mars sebagai pemimpin mereka. Mars adalah badai dan ia tidak hanya menjadi badai di sekolahnya saja, tetapi di luaran sana, Mars bahkan adalah badai kuat yang meremukkan apa pun yang dilewatinya. Entah karena rasa cintanya atau apa, Mars sangat senang berkelahi. Seakan rasa sakit tidak berarti apa-apa untuknya.

"Maaf, Bu, tapi saya gak bisa membantu Mars belajar. Ibu bisa cari orang lain."

"Tapi Karang, cuma kamu yang bisa membantu Mars. Ibu percaya kamu bisa melakukannya," ucap wanita yang tidak lain adalah wali kelas Mars dan Karang. Wanita itu meminta Karang menjadi mentor yang membantu Mars belajar.

"Percuma jika orangnya aja gak mau belajar, Bu," sahut Karang sambil melirik Karang yang duduk di sebelahnya.

"Kau pikir aku begitu bodoh?" Mars tidak terima dengan ucapan Karang.

"Tentu saja. Apa yang bisa kau lakukan selain berkelahi, hah?" balas Karang seadanya. Sekali pun ia tidak pernah melihat Mars serius dalam belajar.

"Aku cuma malas melakukannya. Bukan berarti aku gak bisa."

"Sudah. Kalian jangan bertengkar." Sang wali kelas menyela kedua lelaki itu agar perdebatan mereka tidak pergi terlalu jauh. "Mars, Ibu peduli padamu. Belajarlah dengan giat agar nilaimu semakin bagus dan kamu akan mendapatkan kesempatan untuk tetap berada di sekolah ini."

"Saya gak keberatan, Bu, jika harus dikeluarkan dari sekolah." Mars menjawab dengan santainya. Seakan dikeluarkan dari sekolah bukanlah perkara yang besar untuknya.

"Jangan bicara seperti itu, Mars. Pendidikan itu penting dan Ibu sama sekali gak berharap kamu putus sekolah."

"Tapi saya gak masalah dengan itu, Bu. Saya bahkan berpikir untuk apa saya belajar dan mendapatkan nilai bagus di saat gak ada seorang pun yang akan tersenyum untuk saya. Semuanya gak ada artinya untuk saya, Bu."

"Mungkin emang gak ada yang akan tersenyum untukmu, tapi seenggaknya, kau bisa tersenyum untuk dirimu sendiri. Merasa bangga atas pencapaian yang kau dapat."

Ucapan Karang membuat Mars menoleh pada lelaki itu. Namun, Karang hanya berbicara tanpa menatapnya.

"Karang benar. Sejujurnya Ibu mendapatkan peringatan dari kepala sekolah karena Mars. Itulah mengapa Ibu meminta bantuan Karang, karena Ibu gak mungkin mengajari Mars di luar jam pelajaran. Ibu harap kita saling membantu. Kamu juga akan mendapat nilai tambah, Karang. Ibu akan bantu kamu mendapatkan beasiswa yang kamu inginkan itu. Ibu tahu kamu bisa, tapi alangkah lebih baiknya jika kamu menyebarkan ilmu yang kamu miliki untuk membantu orang lain."

Ucapan wali kelas membuat Mars dan Karang kompak terdiam. Karang masih tidak ingin membantu Mars, tetapi di lain sisi, wanita itu telah banyak membantunya.

"Baiklah, Bu. Saya akan membantu Mars semampu saya," ucap Karang akhirnya.

Dari sanalah semuanya berawal. Hubungan Mars dan Karang yang pada awalnya tidak baik, semakin hari semakin membaik. Mereka menjadi lebih saling mengenal satu sama lain. Pandangan keduanya terhadap pribadi masing-masing pun mulai berubah. Bagi Karang, Mars itu tetap badai, tetapi badai tidak selamanya datang dengan kecepatan tinggi dan bersifat menghancurkan. Badai itu terkadang rapuh dan menginginkan pelukan singkat yang sejenak menenangkan amarahnya.

Sunshine HurricaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang