"Karang, tanganmu hangat." Mars bergumam dengan kelopak mata tertutup. Menikmati kehangatan yang disalurkan telapak tangan yang menempel di pipinya.
Karang berusaha menarik tangannya, tetapi Mars dengan cepat mencegahnya. Ia ingin menikmati hangatnya tangan Karang lebih lama.
"Karang, tinggal bersamaku, ya," ucap Mars sembari menggenggam erat tangan Karang.
[Aku gak bisa. Udahlah, Mars, lupakan saja keinginanmu itu. Mau sampai kapan kau begini?]
"Sampai kau mau ikut pulang bersamaku."
Karang menarik tangannya. [Sesuai janji, kau boleh pulang atau pergi ke mana pun yang kau mau. Jangan tunjukkan wajahmu lagi di depanku.] Ia lalu beranjak dari tempat duduknya dan melangkah masuk kembali ke rumah.
[Kenapa kau mengikutiku?] Karang berbalik ketika menyadari bahwa Mars mengikutinya memasuki rumah.
"Kau menyuruhku untuk pulang dan aku menganggap rumah ini sebagai rumahku juga. Jadi, aku pulang ke tempat yang tepat." Mars menjawab dengan entengnya.
[Rumah ini bukan rumahmu. Silakan pergi.] Karang mendorong Mars keras. Seharusnya ia tahu jika Mars tidak akan semudah itu untuk pergi.
"Kau itu kenapa, sih? Kenapa kau harus membohongi perasaanmu sendiri?"
[Seharusnya aku yang bertanya. Kenapa kau bisa menyukaiku? Kita mungkin berteman dekat, tapi hanya sebatas itu saja. Aku tahu kau seperti apa dan gak mungkin bagimu untuk menyukaiku.]
Mars berdecih sebal. "Apanya yang gak mungkin? Ya, awalnya aku memang berpikir begitu, tapi lama-kelamaan, aku gak bisa membendung rasa itu. Kau bertanya mengapa aku menyukaimu? Itu karena kau adalah cahaya matahariku. Kau adalah satu-satunya orang yang selalu mendukungku di saat orang lain bahkan gak pernah melirikku sama sekali. Aku menyukaimu karena cuma kau yang mengganggapku sebagai manusia. Apakah alasanku gak cukup untukmu?"
Sejak awal, Mars tidak pernah berencana menjatuhkan hati pada Karang. Ia hanya menganggap Karang sebagai teman dekat, bahkan saudaranya sendiri. Di mana setiap kali ia berada dekat dengan Karang, ia akan merasa senang. Hanya Karang satu-satunya orang yang bisa melakukan itu padanya.
"Kau merasa sok jagoan hanya karena kau memiliki kemampuan bertarung yang bagus!" Seorang remaja lelaki berambut ikal melayangkan tinju pada Mars.
Akibat tinjuan keras dari sang kawan, Mars tersungkur. Bibirnya mengeluarkan darah, tetapi Mars tidak peduli. Ia bangkit lalu membalas pukulan lelaki itu. Mereka terlihat perkelahian hebat sampai tanpa sadar Mars memukul wajah seseorang yang datang tanpa aba-aba.
"Karang! Kau ngapain, hah?" Mars berlari menghampiri Karang yang jatuh terjerembab ke aspal.
"Hari ini kita ada jadwal belajar dan kau gak datang ke tempat pertemuan kita. Itu sebabnya aku mencarimu," ucap Karang mengutarakan maksud kedatangannya.
"Tindakanmu itu bodoh! Kau sampai terluka seperti ini karenaku." Mars berucap kesal. Ia marah pada Karang, tetapi ia lebih marah pada dirinya sendiri yang tanpa sengaja melukai Karang.
"Aku bodoh, tapi kau lebih bodoh. Kau bahkan gak tahu jika pacarmu itu udah punya pacar sebelum berpacaran denganmu. Kau bahkan gak mempercayai ucapanku."
Penuturan Karang sontak membuat Mars tertawa. "Iya, aku bodoh dan maaf karena aku gak percaya dengan ucapanmu." Mars memberikan jeda sejenak sebelum melanjutkan kembali kalimatnya. "Malam ini kau menginap saja di tempatku."
"Hah?" Karang begitu terkejut dengan ucapan Mars.
"Aku akan membantu mengobati luka di wajahmu. Jangan berpikir yang aneh-aneh. Kau tahu aku lebih menyukai perempuan." Mars berdiri sembari menyodorkan tangannya pada Karang.
***
"Fokus, Mars. Sejak tadi kau melamun terus. Sedang memikirkan apa?" Karang menoleh pada Mars yang bergeming di tempatnya.
"Ah, bukan apa-apa." Mars kembali memfokuskan dirinya contoh-contoh soal yang diberikan Karang.
Kurasa aku mulai gila. Mars membatin. Belakangan ini, pandangannya terhadap Karang mulai berubah. Di matanya, Karang terlihat lebih manis dibandingkan perempuan-perempuan yang pernah menjadi pacarnya.
"Saranku, kau berhentilah berpacaran dan mulai fokus pada sekolah. Nilai-nilaimu udah lebih baik dan aku yakin kau akan mendapatkan nilai yang bagus saat ujian nanti." Karang mulai membuka obrolan sembari memakan keripik kentang.
"Sejak awal, aku gak pernah berpikir untuk sekolah. Aku hanya dimasukkan ke sekolah oleh paman dan bibiku agar aku memiliki kegiatan dan gak membuat onar lagi. Pada akhirnya, mereka lelah juga dan membiarkanku sendiri. Beruntung aku memiliki rumah yang memang sejak awal ditinggalkan ibuku atas namaku. Meskipun begitu, aku gak berterima kasih pada mereka."
Karang menelan keripik kentangnya dengan susah payah. "Kau pasti udah melalui banyak hal yang berat. Bagaimanapun, kau hebat karena telah bertahan sejauh ini."
Penuturan Karang sontak membuat Mars tertawa. "Gak ada hebat-hebatnya. Aku cuma pembuat masalah yang sukanya bikin onar dan menyakiti orang lain. Kau tahu Karang, bibiku pernah bilang kalau sebaiknya aku menghilang dari bumi. Kupikir aku pun lelah dan meninggalkan bumi bukanlah hal yang berat." Ia lalu berucap dengan kepala yang ditundukkan. Entah mengapa segala kejadian buruk yang begitu ingin dilupakan berputar hebat di kepalanya.
Karang menarik wajah Mars agar melihat ke arahnya. "Kenapa kau bicara begitu? Kau udah bertahan sejauh ini dan ada aku yang akan membantumu di sini. Hilangkan pikiran buruk itu karena aku gak mau kehilangan seorang teman."
Senyuman Mars seketika terbit. "Boleh aku minta agar kau jangan pergi? Aku gak mau kehilangan lagi."
Karang mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan Mars.
"Makasih, Karang." Mars menjatuhkan kepalanya ke dada Karang lalu memeluknya erat.
"M-Mars ...." Karang tidak nyaman dengan perilaku Mars yang sangat mengejutkan itu.
"Biarkan aku memelukmu sebentar, Karang. Kau itu hangat," ucap Mars.
Karang berdehem pelan. Tangannya hendak membalas pelukan Mars, tetapi urung dilakukan.
"Bagiku, kau itu cahaya matahari, Karang."
"Hah, apa? Kau bicara apa, Mars?" Karang bertanya saat hanya mendengar ucapan samar-samar Mars.
"Bukan apa-apa," balas Mars cepat.
Karang menepuk pelan punggung sang kawan. "Sekarang saatnya belajar, Mars. Jangan kau pikir aku akan berbelas kasih padamu," katanya menyadarkan lamunan Mars.
"Kenapa kau begitu kejam? Aku baru saja dihajar habis-habisan oleh orang dan kau tetap memaksaku belajar tanpa henti." Mars melayangkan protes. Tidak adil rasanya jika Karang terus memaksanya untuk belajar.
"Siapa yang membuatku terluka seperti ini?" Karang menunjuk wajahnya sendiri.
"Iya, iya. Maaf gak sengaja." Mars berucap dengan kedua tangan yang dirapatkan. Ia sama sekali tidak tahu jika Karang akan datang dan menghampirinya.
"Sakit?" tanya Mars memasang wajah khawatir.
"Sakitlah! Kau pikir aku manusia super yang kebal akan rasa sakit?" Karang menjawab sembari menekan luka yang ada di wajah Mars yang seketika membuat lelaki itu meng-aduh kesakitan.
"Sakit, Karang. Kau kejam sekali."
"Balasan karena kau telah melukaiku. Lagipula, kau juga sering melukai orang lain. Seharusnya rasa sakit itu gak berarti apa-apa."
"Iya, aku tahu aku senang berkelahi, tapi itu sebagai bukti bahwa aku kuat."
"Kuat? Ya, kau kuat, tapi hanya luarnya aja. Sejatinya kau itu rapuh, Mars. Kau begini bukan karena kemauanmu, tapi karena keadaan. Kau itu udah terlalu sakit dan caramu menyembuhkan diri, ya cuma dengan sakit itu sendiri."
Mars terdiam. Ucapan Karang benar dan ia tidak bisa membantahnya. Mars hidup dengan rasa sakit yang sangat ingin dilupakannya.
Bersambung...

KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine Hurricane
DiversosPerayaan kemenangan Mars dalam olahraga tinju kelas Welter membuatnya tidak bisa pulang dengan selamat. Ia terbangun di sebuah ruangan asing dengan kondisi tubuh dipenuhi luka. Seorang wanita bernama Kinar menyelamatkan serta membantu proses penyem...